Ramadan Terakhir Ludwig: Ibu Teladan, Ayah Petualang, Anak Istimewa

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #4

Bosan dengan Kekalahanku

SALAH SATU anak sungai Mahakam berwajah bening mengalirkan perahu kami ke arah utara. Kulihat wajah dua fotografer trainingku, Aday dan Maksi, terlihat seperti hantu, kosong, dan mungkin juga trauma. Dari semalam hingga pagi ini keduanya takbersuara. Edison mengingatkan kami agar jangan dulu mengganggu mereka, apalagi disuruh mengingat kejadian mencekap semalam. Biarlah mereka me-refresh-kan diri. Aday, anak Bali Muslim, yang salatnya sering tepat waktu saja subuh ini harus terlambat. Sujud subuh yang ‘tak khusyuknya ia laksanakan ketika hari telah banyak sinarnya. Sementara, Maksi, anak berjiwa pemberontak itu tetap melindungi diri di dalam kantong tidur, takpeduli hidup harus segera dilanjutkan. Dan, baru terbangun dan membantu Aldam meringkesi tenda ketika Edison mengingatkannya. Siap segera mencari tempat aman yang baru. Entah ke mana, hanya guide kami yang tahu. Pahlawan Aldam bukan tipikal wartawan, yang refleks melaporkan setiap perbuatannya, termasuk mendapatkan sampan ini.

Matahari sukses membuka kegelapan malam, tapi tidak untuk kegelapan hatiku, pandanganku yang sebenarnya, dan keyakinanku anakku segera kembali. Air segar pemberian Fiona pun masih belum sanggup. Fiona merasa bersalah oleh usahanya mengupayakan agar bisa menenangkan kegelisahan pasifku. Sepertinya aku telah menyerah hari ini. Menyerah untuk semua perbuatanku, yang kurasakan sekarang banyak melukai perasaan banyak orang—terlebih yang baik padaku.

Kenapa harus Alek yang mengingatkanku, semalam, menyadarkanku? Ia, bukan suamiku, seharusnya orang yang bertanggung jawab memimpinku dalam berumah tangga, menghadapi segala persoalannya. Tapi kenapa ia? Ia yang amat kubenci karena berpoligami, ia yang kucinta karena bisa rukun dengan kedua istrinya. Yang pasti, di Bekasi sana, kelima anaknya tidak ada yang menghilang.

Lihat selengkapnya