Road to Komodo Island, sembilan tahun sebelumnya
ISHAC Patruni adalah bosku. Lelaki 32 tahunan yang hebat menurutku. Secara kepribadian ataupun profesionalisme kerja. Aku banyak belajar oleh kesahajaan dan gaya berprinsipnya. Jika melihat acara infotainmen, orang berduit seperti ia bisa memacari perawan tercantik se-Jakarta atau menikahi siri artis-artis bayaran termahal mana pun. Tapi sepertinya ia masih setia memajang figura kecil foto keluarga bahagianya di meja kerjanya. Hah, sungguh bahagia hati memiliki suami sekelas bosku itu. Kadang aku bermimpi mempunyai duplikat suami semirip ia setiap kali—saat ini—kumembenci suamiku, di atas dipanku atau di kursi kerjaku.
Ketika itu, hampir 3 bulan menganggur. Bingung mau beraktivitas apa. Pulang ke Semarang itu sungguh malu. Aku belum bisa membawa apa-apa untuk dihadiahkan pada ibuku, keponakan-keponakan, orang-orang yang menumpang hidup di rumah mendiang ayahku, dan tetangga terdekatku. Apalagi calon suami. Jangankan menghadiahkan orang lain, bagiku sendiri saja masih susah—sanggup membahagiakan diri sendiri. Tiga tahun bekerja di pelbagai perusahaan, negeri ataupun swasta, belum membuatku kaya hidup di Jakarta. Malah banyak musuh. Rata-rata aku memutuskan resign dengan alasan memiliki atasan yang takpunya jiwa kepemimpinan atau rekan kerja yang kurang bersahabat. Pada intinya aku kurang suka sistem kerja yang serius, kaku, tidak waffle atau akrab, dan garing.
Rekening tabunganku semakin hari semakin berkurang jumlahnya. Ditarik mesin ATM. Memenuhi kebutuhan hidup seorang wanita di Ibu Kota. Untung dari sisa gajiku telah aku berdayakan untuk memiliki Nikon SLR yang kuincar selama ini. Karena kamera cantik itulah aku bisa bergabung di majalah bonafide milik Ishac, yang telah berjalan maju 2 tahun. Aku dikaryakan sebagai fotografer dan kadang bagian administrasi di kantor. Kadang menerima telepon. Menyambut dan atau menerima tamu. Pernah juga jadi sales. Semacam serabutan. Tapi aku suka. “Inilah tempat kerja yang kuidamkan!” begitu dulu aku beralasan mantap, dan bakal setia kerja di mana semua potensiku dicerahkan dan diberdayakan.
“Sibuk apa kamu sekarang, Rey?” tanya Edison ketika masa menganggur kelas beratku itu. Ia memang sahabat yang empati akan kesusahan orang lain.
“Biasa... motret-motret ‘gak jelas saja!” jawabku berusaha sejujur adanya. Memang begitu kenyataannya. Aku ‘tak pernah gengsi pada sahabat kuliahku itu.
“Objek nggak jelas kok difoto?!”
“Ah, kamu, Son. Aku kasih tahu juga. Eh, akhir-akhir ini aku lagi seneng motret kemiskinan kota. Aku masuk kampung-kampung kumuh; rumah-rumah kardus; masyarakat di pinggiran Ciliwung; terus ke tempat-tempat urbanisasi yang ndak jelas masa depan keluarga mereka di Ibu Kota. Tapi aku seneng banget, Son, banyak tahu, juga banyak ilmu di sana … dan aku sadar sekarang, Jakarta itu kayak mercusuar ya. Emm, besok aku lanjut ke kampung Betawi yang tersisa ….”
“Tapi kesenangan baru kamu ini menghasilkan uang nggak, Rey?”
Semangatku berkisah akan passion mantapku, tersentak sejenak. Dan tidak tersisa sebongkah saja, tapi aku dipaksa memikirkan sesuatu. “Ah, matre lu, Son!”
Dia hanya tersenyum. Tidak begitu manis. Karena lelaki asimilasi Medan dan Padang Panjang itu tidak berbakat sebagai lelaki yang manis, romantis, seksi, tampan, apalagi ganteng. Tapi kalau dibilang atletis, baik hati, dan berwibawa bisa kurekomendasikan. Lalu ia berterus terang, yang dari nada kalimat-kalimat menjurusnya kusenyalir ia sedang mengarah kepada suatu kesimpulan, aku harus mengikuti ajakan kata manisnya. “Nah, nah, kamu beli kamera bagus ini buat apa … kalo bukan untuk itu?! Mau sampai jadi perawan tua menghidupi iseng-mu?!”
“Maksudnya?” Sumpah. Aku tiada paham, juga belum menyadari apalah motivasi Edison menyentilku demikian. “Bener, aku ndak ngerti maksud kamu.”
“Ya, itu tadi, yang kamu bilang ‘matre’.” Hanya itu jawaban penjelasnya.
“Aku cuma hobi, Son.” Aku nampak terbawa plot wacananya. Ia yang selama kukenal amat cocok, lengket, kompak denganku, sungguh konsisten sikap dan gayanya. Apalagi ada maunya, aku sudah hapal gelagatnya. Aku taksetahun dua tahun mengenalnya. Kasarnya, kapan ia harus ganti kaus yang baru dari lemari serbagunanya saja aku tahu agendanya. Maklum, anak lelaki asli Andalas yang kurang pandai memperhatikan diri itu sahabat kentalku sejak kami berstatus mahasiswa Fakultas Hukum PTN di Semarang. Dilantik keanggotaan Himpunan Mahasiswa Hukum kami bersama; dikukuhkan anggota klub penggiat fotografi bersama; juga selalu satu tim ketika praktikum peradilan, tugas kuliah kelompok, magang kerja di kantor hukum, hingga menyelusuri hutan, pedesaan, sungai, bebatuan, dan daerah antah berantah yang disenyalir memiliki kandungan mineral, mengikuti aktivitas kampus teman-teman mapalanya. Penelitian skripsinya pun aku ikut. Tapi, kok ia jadi nyebelin. “Ngelanjuti hobi di kampus aja, Son,” belaku.
“Ngelanjuti hobi, apa frustrasi nggak ada aktivitas jelas?” tanyanya, sudah siap mengerucutkan maksudnya datang ke kamar kosku yang memang bebas peraturan dan kedisiplinan. Namanya juga rumah kos elite, serbaada, keamanan terjamin, milik mantan pejabat Pemda—yang katanya malah diwariskan kepada putra bungsunya yang masih kuliah Kedokteran di Rusia. Hingga satu tahun lebih mengekos di sana aku tidak pernah, sekali saja, melihat salah seorang anggota keluarga mereka. Hanya foto raksasa keluarga bahagia itu saja yang aku jumpai setiap melewati ruang tamu kos. Dan kabar-kabar wow mengagumkan mereka yang kudengar dari para penjaga koslah bahan referensi aku mengenal mereka, seperti: ‘Hm, Anak kedua Bapak baru saja ekspor kayu ke Jepang sama Cina dari pabriknya yang ada di Kalimantan’, ‘Anak Bapak yang pengais bungsu baru saja menggandeng artis sinetron yang lagi naik daun’, ‘Ibu baru pulang berobat dari Swiss’, ‘Anak sulung Bapak yang baru haji itu juragan perkebunan dan tambang’, dan sebagainya. Pusing sendiri jika iseng mengobrol dengan abdi dalem keluarga mereka, sewaktu aku menyeduh kopi atau merebus indomie di dapur, atau ketika kami menonton sinetron di ruang TV. Pusing dan bingung juga aku membalas pertanyaan atau malah pernyataan Edison. Ia memainkan alisnya genit dan juga mengejek. “Mungkin… dua-duanya, Bro!” Itu yang akhirnya keluar dari mulutku.
“Bisa kuterima,” serunya yang sedari dulu bahasa sehari-harinya cukup baku, aku dan kamu, padahal ia lahir dan dibesarkan di Jakarta. Lucunya, ketika kuliah di Semarang malah sempat Edison berlogat Jawa halus. Sempat juga kami menjulukinya dari Abang jadi Paklik karena muka boros dan gaya kekakakan di antara kami. “Dan buktinya, Rey, aku bisa gajian tiap bulan karena hobi fotoku.”
“Bener juga, Son…” ujarku membenarkannya, mungkin itu maksudnya. Aku pun dibuatnya hidup, berpikir cerdas, kreatif, dan produktif yang bernafkah.
“Itu disebut matre, Say?!” tanyanya lebih genit dan kumerasa diejeknya. Aku menggeleng saja sambil menggigit bibir yang tidak berdaya. Selanjutnya kubiarkan ia bebas merdeka mengumbar logika, kemenangan, dan apalah lagi terserah kehendaknya. Sekiranya ia cepat mengutarakan maksudnya. Aku malas jika harus diolok-olok, diremehkan, atau di-zero-kan untuk mendapatkan sesuatu yang disodorkan sebagai kebutuhanku. Aku benci basa-basi dan muluk-muluk.
“Saudaraku yang cantik, cerdas, dan penuh integritas ini tergolong juga generasi muda korban penjajahan!” lanjutnya belum mau mengupas tujuannya bertamu ke plat serbabiruku. “Masih belum sadar, masih setia kalo setelah lulus kuliah itu cari kerja, kerja kantoran yang masuk jam 8 pagi pulang jam 4 sore, 8 jam kerja, Sabtu - Minggu free, awal bulan gajian, akhir tahun gathering/team building ke Anyer, Puncak, Bandung, Bali, dan berdoa banyak long weekend-nya. Sementara sumber daya alamnya monggo buat Bapak-Ibu pengusaha besar dari Malaysia, Singapura, Jepang, Cina, Australia, Amerika yang kelola dengan baik … kita tahu jadi saja! Kayu gelondongan jadi meubel kinclong, besi mentah disulap jadi mobil canggih, minyak bumi, batu bara, ya, tahu beres juga, luas lahan berhektarean biarlah kita nikmati hasilnya saja di supermarket-super—”
“Sudah, sudah, Paklik, aku hampir tiap hari denger yang kayak beginian!” Aku memang bosan, apalagi ia sendiri tahu kita berdua atau dengan yang lain jika ada waktu kumpul di café kawasan Tebet, Semanggi, Kemang, Warung Buncit, sering membahasnya. “Iya, aku tahu, semua yang ada di sekitar bisa jadi duit!”
“Syukur, kalo begitu. Baru namanya anak bangsa yang merdeka.” Edison benar-benar menguji rasa terima kasihku kepada para pahlawan kemerdekaan bangsa dan negara ini, bersungguh-sungguh atau tidak. Aku sebenarnya senang jika ia membahas soal patriotis, tapi waktu itu, aku ingin segera mendengar misi ia mengunjungiku. “Nggak sadar apa, baru masuk kelas 1 SD saja otak merdeka kita sudah dicekoki ‘ini Budi’, ‘ini Bapak Budi’, ‘Bapak Budi pergi ke kantor’, ‘Ibu Budi pergi ke pasar’, terus yang ke sawah atau ke kebun itu Pak siapa … aku lupa, yang jelas, dan itu identiknya yang ekonominya lebih menengah ke bawah dari bapaknya Budi. Jadi nggak heran kalo kamu, aku, dan kawan-kawan kita itu bermental dikerjai orang—juga asing—dan senangnya belanja ke pasar ….”
“Bukannya menjual dagangan, sayuran atau buah-buahan, kerajinan, atau barang elektronik canggih terbaru di pasar! Atau membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya, menjadi bos di negeri sendiri!” Langsung saja kupotong kuliahnya karena kuhapal itulah ironis lanjutannya hingga titik menutupnya. Spontan aku nyanyi, “Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat dan kayu jadi tanaman.”
“Hahahaaaa! Lucu, Rey!”
“Hem, seneng kamu, ya?!”
“Nggak nyangka saja, Rey, hahaha! Tapi lucu. Eee, satu lagi, Rey, mental manusia sekarang ini, mental dengki, negative thinking. Susah melihat saudara sebangsa setanah airnya hidup bahagia. Coba saja, ustaz atau kiai punya mobil bagus, rumah besar, istri cantik dianggap berlebihan… padahal mereka hidupnya sederhana, banyak sedekah, dan kerja keras ketika berniaga. Pandangan para ahli dengki itu, ya, ulama itu biasa-biasa saja, nggak usah punya apa-apa, sebagai contoh keteladanan umat. Bagaimana mereka bisa berangkat haji atau umrah, kalo disuruh hidup susah. Dan, yang boleh hidup senang dan berlebihan hanya mereka yang punya jabatan, kekuasaan, dan tidak berstatus ulama. Sementara rakyat harus mengikuti jejak alim ulamanya. Jadi, wajarlah, kalo rakyat di sebuah negara ada yang susah sejahtera, meski sudah bergonta-ganti presiden dan wakil rakyat, demo ke jalan melawan tim pelindung rakyat, itu karena memiliki nasib dikuasai oleh pelayan rakyat yang berasas seperti tadi. Di mana letak merdeka dan dilayaninya? Dan, hanya orang kreatiflah yang bisa bertahan, berkarya di negeri ini!”
“Lagumu!” Hampir tertidur aku membandungi kicau mirisnya. “Oke! Aku dukung, tergugah bahasa kamu. Serius aku setuju. Sekarang langsung saja, Paklik ke sini mau apa, mau ngajak ke mana, atau kabar baik apa detik ini buat aku?!”
“Hahahaaaa!” Si lelaki yang berbakat berkepala ala profesor itu malah mengakak. “Hahaha, iya, iya, aku mau mengetes saja, Kawan! Ternyata kamu memang mitra yang kucari selama ini. Nggak bakal salah pilih! Hahahaha!!”
“Ketawa! Sudah to-do-point! Daripada aku teriak!”
“Eits, gila kamu, Rey. Entar orang-orang mengira yang macam-macam!”
“Hahaha, punya rasa takut juga anak laki satu ini!”
Sepertinya ia kehabisan bahan bicara untuk menuju kesasaran tujuan. Bisa kutebak, mengetes yang ia maksud adalah, biasa, menyamakan visi, menembak kelemahanku, sehingga ia tahu kebutuhanku apa, dan yang punya solusi ideal dan tepat adalah mengikuti keinginannya. Ia tengah membutuhkan sesuatu, dan ia yakini akulah yang bisa ia pilih kemudian mengiyakan, lalu menunjukkan kepada orang yang menyuruhnya: inilah mitra kerja saya yang tepat, Pak! Kirayla!
“Lama, Bang! Ya, sudah, aku yang to-do-point sekarang, aku butuh kerja sekarang.” Edison takmau menyela, saksama ia menatapku. “Aku capek hati kerja di ruang ber-AC, naik-turun lift, pakai blazer, berbedak, gaul sama para eksmud metroseksual, kerja jadi sekretaris, kerja jadi humas berkostum seronok, kerja jadi marketing yang loncat-loncat dari pub sini ke pub situ, kerja jadi pemikat nasabah buat berutang sama nanggung ribanya, terus kerja apalagi aku lupa, pokoknya 3 bulan sekali aku cabut. Yang baru sebulan kerja juga pernah. Tapi, kalo dipikir, Son, lebih capek jadi pengangguran. Bener katamu dulu, ah, aku emang ngesok kerja di luar ilmu dan hobi aku. Baiklah gini deh, Son, aku pengin kamera ini jadi sumber penghasilanku! Itu ‘kan yang aku mau, dari tadi muter-muter kalimat!”
“Mantap sudah!” dendangnya mengikuti gaya bahasa salah seorang teman akrab kami pada zaman kuliah yang asli Lombok Timur, Muthu Angilang. “Justru itu… aku datang ke sini, mau rekrut kamu di majalahku. Nggak KKN sih, karena dirimu dites dan diwawancara direksi dulu. Kalo lulus berarti rezekimu, dan kalo nggak, ya, kita cari yang lain. Itu juga kalo kamu mau. Tapi, harapanku, aku mau sekali kamu yang lulus. Soalnya, kita butuh cepat, dan nggak mau asal orang.”
“Kamu gimana sih, pengin aku, tapi, kamu ora ndak yakin begitu!”
Edison terdiam tapi masih setia menatapku, mungkin berpikir atau mencari alasan agar aku menuruti harapannya. “Kalo aku ndak mau, gimana, Son?!”
“Hem, mampus! Cari siapa lagi … aku yakin kamu bisa, Kirey!”