Ramadan Terakhir Ludwig: Ibu Teladan, Ayah Petualang, Anak Istimewa

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #6

"Ada Apa dengan Kaver Majalah Saya?"

SUDAH KUDUGA, aku jatuh cinta kepada pandangan pertama dengannya. Hm, jika mengingat usiaku, aku sepertinya sudah matang menyukai lawan jenis. Jika lelaki dicontohkan Sang nabi 25 tahun, apa musti aku mengikuti Siti Khadijah, 40 tahun. Beliau ‘kan janda? Logikanya jika lelaki 25 tahun, ada yang bilang maka perempuan harus lebih muda dari pasangannya. Ishac pernah bilang, ideal dan serasinya, beda lima-enam tahun, karena istrinya lima tahun di bawahnya. Jadi aku harus mencari calon suami yang lima tahun di atasku. Matang betul usianya. Sedangkan usiaku hampir genap 27 tahun. Jika wong lanang otomatis aku resmi melebihi dua tahun contoh Rasulullah Saw.. Celaka! Pantas ibuku di rumah rewel menanyakan kapan aku dilamar. Kudengar juga ia ke sana-ke mari menemui saudara, teman, sesepuh keluarga untuk meminta calon untukku. Ia yang selalu bentrok pendapat dan pemikiran denganku, amat takut, anak gadis tunggalnya jadi perawan tua di Jakarta. Mengingat pula, katanya, pergaulanku yang takseimbang.

Aku ini wanita. Seorang perempuan. Tapi, apa salahnya? Jika seandainya aku yang memiliki rasa. Aku takut juga ini hanya euforia sesaatku mengagumi seorang laki-laki. Apa mungkin juga ini pelarian perasaanku ketika banyak ikut menghadiri acara pernikahan teman seangkatan kuliahku, bahkan mendengar juga banyak di antara mereka yang memiliki putra? Sementara diriku, Kirayla Ayunda Hasnawati, S.H., masih bertahan menemukan pria petualang yang jago foto.

Tara! Kutemukan ia. Lelaki asing yang belum kutemukan sebelumnya di muka bumi ini. Ah, berlebihan. Maksudku, di negeriku sendiri. Lelaki pemberani, sedikit pemalu pada lawan jenis, takbanyak cakap dan sikap, tapi sekali berucap kalimatnya selalu berbobot, dan senang fotografi itu yang akusuka darinya.

“Hem… benar ‘kan?!” Seseorang mengejutkanku di meja kerjaku.

“Eh, kamu, Paklik!” Ternyata Edison yang wajahnya kelelahan, matanya sayu, dan suaranya kurang sekali bergairah. Seolah 180 derajat kebalikkanku.

“Kamu pulang nggak, Rey?” sahutnya lagi, “Yakin menginap di kantor?”

“Pulang aku! Sudah beres kok kerjaan,” jawabku penuh bunga-bungaan.

“Mau bareng abang-mu nggak .. kalo mau ya ayo sekarang, Cah Ayu.”

“Hahaaa… Wait for a minute. Tunggu bentar ya, aku cuci muka dulu!”

Kutinggalkan ia yang sedang malas bercanda atau diskusi kondisi bangsa, dan kuajak mampir minum kopi di café langganan kami pun yakinlah ia pasti menolak. Kamar kosnya di kawasan Menteng tentu lebih ia rindukan. Entahlah kurasa ia tengah memendam masalah, atau tengah digalaukan seseorang. Dan, sepertinya ia pun tahu kondisi hatiku akhir-akhir itu, tersenyum-senyum sendiri, semangat bekerja yang tinggi siap melebihi langit, dan penuh sapaan manis. Tapi aku merasakannya seperti yang biasa saja. Mungkin Fu Shi atau Albe yang cerita.

“Asal jangan mandi terus malah ketiduran saja, Neng!” teriaknya jahil. Sementara kantor hanya kami berdua, ditambah satpam, teknisi kantor, dan satu orang OB shift sore. Semua staf sudah pulang selepas magrib tadi, beberapa ada yang jam 5 pamitan. Pekerjaanku hari itu sebenarnya rampung dari isya tadi, tapi, tidak tahulah semakin betah saja aku di rumah keduaku akhir-akhir itu.

“Sudah..., muka kasmaran nggak perlu dicuci segala! Mubajir!“

Rese kamu, Son, ach!”

Ah, lupa! Aku belum mematikan komputer. Jelaslah di layarnya terpajang kaver majalah yang baru tiga hari diterbitkan. Itulah alasan utama mengapa aku semakin betah dan begitu semangat gila aku ingin berlama-lama bekerja di sana. Edison yang persis berdiri di ruang kerjaku, pasti, melihatnya. Em, kutebak ia takberpikir macam-macam. Ia berpikir, aku tengah menikmati karya perdana dan kebanggaanku. Hasil fotoku dijadikan kaver majalah yang lumayan dikenal dan diperhitungkan masyarakat senasional, meski belum sampai Maluku dan Papua, tapi ribuan kepala lainnya menyaksikannya. Bahkan di Bali dan Yogya, bule-bule dan turis Asia Timur tidak sedikit yang mengoleksi majalah bulanan kami yang cukup mahal juga harganya. Namun, jika ia iseng kelamaan menungguku dari toilet, terus duduk di kursi kerjaku, dan membuka satu folder foto khusus gambar-gambar seseorang yang masih terbuka di display, alamak! Mati aku!

Lihat selengkapnya