Kota Wina, Austria
SUHU UDARA di kotanya tengah bagus, tapi ia bodohnya malah memutuskan hendak mengasingkan diri. Ke negeri yang ramah, cerah, dan indah nemikat lainnya, mungkin lebih, adalah tujuannya berlari. Mencari kebahagiaan baru di tanah dan air yang baru. Negeri macam apa itu, Kawan? Lihatlah, ransel 100 liter Karrimornya telah sangat kembung, juga padat. Persiapan meninggalkan asih kota kelahirannya, dan negara asalnya, begitu matang ia rencanakan. Tinggal pamit kepada bibinya dan sepupu seperjuangannya, setelah itu, terbang menuju dunia yang segera ia taklukkan. Prinsipnya, petualang sejati itu harus jadi penakluk.
“Hai, schatzi Moza, harta paling berhargaku, direkthilfe? Ada apa ini? Tidakkah kaukesepian meninggalkan bibi tuamu, dan sepupumu yang tampan ini?!” Franz, Franz Justizpalast di diary-nya ia sebut nama sepupu yang amat ia cintai itu, menguji tekadnya untuk menyukseskan misi pribadinya. Ya, misi. Misi rahasianya yang begitu penting, baginya. Aku rasa, setelah aku tahu, bukanmain itu. Betapa harus rela tinggalkan kota cantik yang sama sekali tidak benci apalagi membuat hidupnya susah. “Kamu bosan dengan kebahagiaan di rumah ini?”
“Es ist nicht so, mein Bruder. Bukan itu, Saudaraku,” jawabnya sungguh berdosa jika ia berkata iya. “Rumah ini adalah surga bagiku. Tiada rumah di dunia yang seindah rumah ini. Hofburg, istana kekaisaran yang jadi tempat istimewa presiden kita, juga kamu tahu Rathaus, balai kota yang menyamankan masa tugas wali kota Wina, itu tidak bisa kalahkan kebahagiaanku makan, tidur, berkeluarga di sini. Tante Veltline dan kamu, anak bandelnya, kalian akan tahu setelah aku kembali ke rumah ini! Ich werde auf jeden fall zuruck, aku pasti kembali.”
“Wann? Kapan?” Tante Veltline, pemilik kedai kopi dan cake tradisional di pinggir jalan menuju Alte Donau, kawasan wisata air di timur laut Wina, dingin bertanya seolah ia siap kehilangan keponakan tunggal dari adik perempuannya. Ia memanggilnya Tante, bibi dalam bahasa Jerman, bahasa sehari-hari mereka.
Lelaki 28 tahun yang selanjutnya akan kukenal pandai menyembunyikan masalah, kegelisahan hati, keburukan orang lain, dan seorang petualang sejati itu terikat ekspresi sang bibi. Begitu pun sepupunya. Sahabat yang selama ini selalu menjadi partner in crime-nya. Mendaki gunung, menonton konser musik, bermain teater, berkeliling pedesaan dan pinggiran Eropa, menjelajahi panasnya Benua Hitam, atau sekadar mengunjungi sesuatu yang unik, ganjil, dan bisa dikoleksi sebagaimana diberitakan di TV atau di surat kabar. Ia sejujurnya bersedih sekali ditinggal sepupu yang sangat dicintainya itu, yang sejak ayah-ibunya bercerai, di rumahnyalah ia dibesarkan dan diajarkan hidup lebih bersemangat. Ingin rasanya ia menemani petualangan gilanya, namun ia memiliki pekerjaan. Bisnis kopi dan keik dengan ibu tuanya yang dibantu empat orang pelayan, dan bisnis laundry di bilangan Alte Donau bersama tunangannya. Lagi pula, ia sadar, lelaki ambisius dan suka berbuat misterius yang dijuluki mendiang ayahnya ‘Moza’ itu pasti takmau mengharapkannya. Ia benar-benar mau sendiri. Solo-traveler. Terserahlah.
“Ich weib nicht. Entahlah, Tante. Tapi aku butuh doa sucimu!” jawabnya.