DIA, SAYANGKU, tidak pernah bercerita pengalamannya. Kondisi keluarganya. Masa lalunya. Kebahagiaan atau malahan kesedihannya. Sebenarnya apa yang ia nikmati di dunia itu? Aku hanya tahu harapan-harapannya saja. Mimpi dan obsesi hidupnya mengapa ia dilahirkan ke dunia ini. Menjadi fotografer. Mengabadikan momen kehidupan. Dan, akhirnya aku tahu ini: ia lahir dari pasangan laki-laki dan perempuan yang tidak saling mencintai. Benar kata Franz, sepupunya, ia itu lelaki yang ambisius dan juga senang disebut misterius. Dan diary inilah yang berbicara semuanya. Mendongeng rahasianya padaku dengan begitu apiknya. Berdosakah aku membaca rahasia hidupnya, yang juga telah ditulis oleh Tuhan jauh sebelum ia lahir, tanpa seizinnya? Izin juga bingung ke siapa. Tapi aku ini, istrinya .…
“Semoga kepergianmu bukan karena kesalahanku,” Franz berterus terang di dalam diary-nya, di hari perpisahan mereka berdua, di terminal keberangkatan luar negeri. Bandar Udara Internasional Schwechat. “Dan… yang kusedihkan jika ibuku yang berbuat dosa kepadamu, kami minta maaf atas sikap dan perhatian kami berdua selama ini. Moza, aku harap kaubahagia selama perjalananmu!”
“Bruder, keputusanku ini tidak ada hubungannya dengan keluarga baikmu dan juga siapa pun entah siapa, aku tidak tahu.” Itu jawabanmu yang membuat saudaramu bertambah bersedih. Api dari perasaan bersalah atas kepergianmu. Pelarian panjangmu. “Kamu dan Tante Veltline jangan terlalu memikirkan aku!”
“Moza, kami mencintaimu. Kami sangat menyayangimu. Kami juga pasti merindukanmu! Kami takmau kamu merasakan kesedihan dan kesepian!”
“Aku juga begitu. Aku yang seharusnya minta maaf.”
“Kamu, kalau tidak sibuk nanti, pasti menghubungi kami ‘kan?”
Kalian berdua takbosan-bosannya berbagi senyum. Lelaki berambut merah yang mirip sekali ciri fisik ayahnya itu sungguh takingin kehilanganmu. Ia bakal kesepian, juga bingung akan berbagi kebahagiaan, takada lagi teman yang setia mengajaknya bertualang menghabiskan waktu libur, dan mendengarkan cerita kencan dengan tunangannya atau sesuatu yang baru ia dapatkan dari si pacar—hobi barunya, musik kesukaan, rahasia waktu muda orang tuanya, dan sebagainya.
“Bagaimana dengan hari pernikahanku?” seru Franz lagi, seolah-olah anak lelaki penghobi memotret keindahan alam dan kondisi lingkungan sekitar itu akan segera pergi untuk selamanya. Takpernah kembali untuknya. “Kaupasti kembali ‘kan ke Kota Budaya ini, tersenyum menyaksikan saudaramu disumpah menjadi seorang suami? Kabar baik ini tidak lama lagi akan secepatnya kamu dengar.”
“Semoga, Franz!” jawabmu, siap-siap akan memberi pelukan perpisahan yang terakhir, sudah itu takada lagi. “Aku pasti datang! Aku sangat menantikan kabar baikmu ini. Tante Veltline pasti bahagia sekali hari itu. Aku juga bahagia.”
“Begitu juga dengan ayah kita, pamanmu, Onkel Leopold-mu!”
“Pasti! Auf jeden fall!”
Mereka berdua berpelukan. Sangat erat. Hangat. Dan bersahabat. Energi persaudaraan mengalir di dalam darah merah mereka. Semua itu untuk berlomba-lomba saling membahagiakan. Hingga kalimat terakhirmu yang mengabadi itu.
“Dan yang lebih berbahagia lagi, calon istrimu yang cantik dan baik hati itu, kakak iparku yang pasti sangat mencintaimu, Neusie Feldhasekou!”
“Terima kasih, saudaraku! Aku menunggu kehadiranmu!”
Kamu pun menghilang. Tiada komunikasi setelahnya dengannya. Begitu juga ia padamu. Yang kutahu, kamu berakhir di negaraku. Kaumenikmati indah dan tenangnya kota Wina di Bali. Sisa visamu masih panjang kala itu. Hingga akhirnya kita bertemu di pulau ajaib, katamu. Sembilan tahun yang lalu, oh, oh, betapa indahnya masa itu. Masa di mana aku tergila-gila akan kesan pertamamu, sikap, dan penampilanmu. Oh, Pulau Komodo. Terima kasih Tuhan. Aku sungguh ingin kembali lagi ke waktu itu. Kembali ke usia muda yang penuh keajaiban-Mu.
“Saya, juga Mbak Kirey!”
“Iya, gua juga Rey..!”
“Sekarang foto aku di sini, ya…”
Kericuhan Fu Shi, Roanna, Wil, Albe, David, dan sopir rasta yang hebat jalur mobil apa pun Hidimba, meluapkan kegembiraan merasakan sisa hidup yang belum tahu berhentinya kapan, di pulau yang gaung kesohornya terdengar seluruh dunia, khususnya Eropa, itu sejak tahun 1986 ditetapkan UNESCO sebagai situs warisan dunia, sebagaimana Schloss Schönbrunn (Istana Schönbrunn) di kawasan perbukitan barat daya kota Wina: cagar alam Taman Nasional Komodo.
“Sekarang semuanya..!” Fu Shi, si ratu difoto, yang mengomandoi kami berpose bersama dengan latar tulisan KOMODO National Park World Heritage Site di permukaan dinding batu. Dengan begitu ekspresif dan centil kami bergaya.
“Lalu siapa yang foto?” Cerdas Hidimba bertanya. Kami bengong semenit.