OMBAK PANTAI KUTA berduyun-duyun menyerang tepian pantainya. Pasir indah yang mengkilap dipanaskan surya pagi hari. Apalagi jika sengaja melihat perjumpaan keduanya di kala senja. Betapa indahnya dunia. Berjuta-juta ton masalah di pundak, otak, atau hati lekas akan lenyap dibasuh pesonanya. Belum lagi sapaan angin sepoi-sepoi yang memalaskan tubuh penuh aktivitas untuk berlama-lama tiduran di bawah teduhnya pohon rindang. Berjalan-jalan lembut di atas pasir kemilaunya sambil mendengar suara camar dan deru ombak yang tanpa lelah menyapa kekasihnya yang elok. Suasana hati akan selalu bertambah riang dan membungakan organ mulut untuk menyuarakan kata-kata indah.
“Kamu suka laut?” tanyanya, ketika kami baru saja mendapatkan tempat duduk, jauh di pasir yang biasa disapa ombak. Cuaca sudah semakin terik. Bagi kami orang lokal itu kurang disukai. Selain membuat banyak keringat keluar, juga mudah menghitamkan kulit. Bagi laki-laki itu macho, tapi bagiku, anak gadis yang belum memiliki pasangan jelas itu tantangan. Kedua mata kami asyik sendiri melihat pemandangan laut yang banyak diisi bule-bule, turis-turis kulit kuning, dan hilir mudik para peselancar lokal. Mereka tengah menikmati matahari, pantai, laut, suasana, dan kebersamaan di Kuta. Gubernur dan Kapolda Bali telah resmi menjamin kegembiraan mereka menikmati salah satu nilai jual negeri ini. Sengaja aku dan Albe ke Bali, untuk liputan edisi bulan depan. Ke Kuta adalah hiburan.
“Tidak suka-suka amat,” jawabku seadanya, mungkin itu mengecewakan harapan pertanyaannya. Jujur aku suka orangnya, tapi aku kurang suka, bahkan tidak suka dengan pertanyaan lelaki semacam itu. “Saya lebih suka gunung, eee… taman wisata, taman kota, daerah pertanian, dan suka juga gedung heritage.”
“Sama,” lantun ucapnya lagi, “saya juga suka mendaki gunung, kemping, backpacking, ke museum, dan wisata budaya. Hobi kita sama ya, Kirey?!”
“Iya, Moza! Kenapa ya bisa begitu?!”