Ramadan Terakhir Ludwig: Ibu Teladan, Ayah Petualang, Anak Istimewa

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #10

"Agama Calon Suami Apa, nDuk?"

YA, ALLAH, tolong, mengapa sedemikian rumit? Mengapa harus hamba? Aku, aku, aku akui aku benar-benar dibutakan cinta. Cinta yang mana, jelas jika aku telah mendapatkannya, baru akan berterus terang kepada kalian. Tuhan memang Maha Adil, yang telah menciptakan laki-laki dan perempuan di dunia ini. Tidak hanya manusia, semua makhluk lainnya bisa kusebutkan tumbuhan, hewan, jin, kecuali makhluk hemaprodit telah memiliki pasangannya masing-masing. Dan itu tidak dipasangkan begitu saja seperti halnya Adam dan Hawa di surga.

Kawan, kalian kenal kumbang atau kupu-kupu? Dalam pelajaran Biologi, sewaktu sekolah dahulu, mereka diciptakan Tuhan selain mendapat zat makanan dari sari bunga-bungaan, juga membantu proses perkawinan sepasang tumbuhan, aneka bunga di taman, atau pohon berbuah. Kadang kalanya jika manusia yang memperoleh banyak manfaat dari penyerbukan dan perkawinan silang pepohonan, menikmati buah dan sari bunganya, mengharapkan kepuasan lain. Rasa buah atau bunga yang berbeda. Segar ketika dirasakan lidah dan sedap dipandang ketika mata ingin menambah kebahagiaan hati setiap harinya. Yaitu, dengan melakukan stek, cangkok, okulasi atau menempel, atau malah mengambil bibit unggul dari daerah lain—bisa juga luar negeri—dan ditanam di tanah daerahnya untuk dapat menghasilkan panen yang berkualitas prima. Hal tersebut dapat pula kita lihat dengan banyaknya varian apel, jeruk, pir, jambu, mangga, durian, pisang, padi, umbi, bunga mawar, anggrek, rumput hias, kaktus, cabai, tomat, dan sebagainya saat ini. Tidak hanya tumbuhan, untuk mendapatkan hasil pertanian atau koleksi pemuas kebutuhan dan kesenangan makhluk sosial, otak-otak brilian manusia juga cerdas mengembangkan varietes baru terhadap hewan ternak atau peliharaan.

Aku dan kalian pernah mungkin melihat hasil dari perkawinan bebek dengan entok, ayam bangkok dengan ayam kampung, kelinci australia dengan kelinci lokal, kuda sumbawa dengan kuda kanada, sapi bali dengan sapi brahman, begitu juga dengan perkawinan campuran burung-burungan, ungas-ungasan, mamalia sejenis kucing, anjing, marmut, domba, dan sebagainya. Yang takhanya melibatkan jenis hewan beda spesies, klan, ordo, bahkan lintas negara—yang jelas beda makanan pokok, geografis, adaptasi lingkungan, daya tahan tubuh—, tapi semua itu dikembangbiakkan guna perbanyak jenis hewan berikut kualitasnya yang diidamkan. Di samping itu, upaya pelestarian jenis hewan aslinya terus juga dilakukan, menghindari kepunahan dan yang menunjukkan identitas khas suatu daerah: badak bercula satu di Ujung Kulon, cenderawasih di Papua, kuda liar di Sumbawa, komodo di Flores, ikan belida di Palembang, gajah di Way Kambas, harimau di Sumatra, anoa di Kalimantan,. Sungguh indah mereka tercipta.

Bagaimana dengan manusia? Kita semua tahu, di dunia ini, manusia yang tinggal itu tidak hanya di Indonesia saja. Para jamaah haji Indonesia yang sudah pulang ke tanah air berkata, “Wah, di tanah haraam itu ramai sekali. Rumah Allah takpernah semenit saja sepi. Mereka ada yang datang dari Asia, Eropa, Afrika, Amerika, Australia, bersatu, secara bergantian, tiada terputus, atau bersama-sama mengelilingi Kakbah. Pelbagai macam ekspresi ketika ber-thawaf atau bersujud menghadap Hajar Aswad di depan mata, menangis, haru, sedih, menahan isak, menyeka linang air mata, berteriak takjub penuh penjiwaan, meraung-meraung mengingat dosa-dosa, tangis kehilangan seolah takut tahun depan takbisa ke sana lagi, atau meratapi kesenduan karena belum bisanya mengajak orang-orang yang dicintai ke Baitullah. Di sana, orang kulit putih, hitam, cokelat, kuning, atau sawo matang semua diperlakukan sama. Begitu juga yang berstatus pejabat penting negara, pembantu rumah tangga, kiai, pengangguran, militer, pengusaha besar, berdarah biru, semua ber-thawaf dan bersujud mengagungkan kebesaran Allah Swt. di tempat yang sama, dengan pakaian yang sama, dan tujuan suci yang sama. Sungguh indah momen berhaji itu. Betapa indah Islam diciptakan di bumi.”

Nah, dunia itu luas, tidak hanya Indonesia saja, Semarang dan sekitarnya saja. Siapa orang pertama yang mengkotak-kotakkan manusia, menggolongkan insan yang memiliki fitrah kesatuan, mengkelas-kelaskannya, membuat mereka bangga dengan keunggulan fisiknya, kondisi daerahnya, dan kemajuan zamanya, dan menciptakan permusuhan atas alasan suku, budaya, dan kebangsaan. Sungguh naif. Jika si orang pertama itu kutemukan, akan kumaki habis-habisan dan tidak segan kuhabisi dia beserta reputasinya. Kejamnya sikap dan otak jahatnya. Atau jika sudah tiada, tunjukkan di mana kuburnya, dan akan kubangkitkan dia, lalu kutanya, “Mengapa kau tega membuat manusia taksaling mengenal dan saling mencintai, lalu membahagiakan dengan manusia lain, yang beda ras dan bangsa?”

… jika gelap tiba, dan aku merindukan cahaya

tegas, aku memohon untuk diberikan sang surya

jujur, mentari penerang dunia yang kupilih adalah kamu

kamu yang membuatku selalu ada, dan mempunyai rindu

takterperi seram dan sesaknya hidup dalam kegelapan

meski yang disajikan itu malam dengan sejuta keindahan

tetap, yang bisa memeluk dan menerangi hanya cahayamu

apakah inilah ujian bagi manusia yang diciptakan oleh rindu

merasa takcukup dicahayai hanya sepotong obor atau lilin

apa peranku di dunia ini jika gelap langkahku mengharapkan mentari

yang sanggup membuat semua orang taksalah jalan

jika aku layak, mengapa takut dan benci diberi ujian memiliki mentari ….

Lihat selengkapnya