SAMA SEPERTI yang lain, berdebar-debar ketika sebentar lagi menjelang hari ijab kabul. Akad suci sebuah pernikahan yang membuat air mata takpernah mau berhenti. Ucapan selamat dari para kerabat dan sahabat yang begitu tulus, serta menghati. Lantunan restu dari kedua orang tua dan para sesepuh keluarga. Aku sungguh bahagia memiliki mereka, doa dan restu mereka, dan kehadiran beserta senyum manis mereka. Kehidupan baru segera dimulai. Penyempurnaan agama telah ditunaikan. Segera siap membangun keluarga qurani yang terberkahi.
Tiga bulan sebelum acara khidmat idaman jutaan orang itu, iseng, aku coba menghubungi Asimun, sahabat di komunitas fotografiku—yang akhlak dan ibadahnya di atas rata-rata kami. AlhamduliLlah, ia menyambutnya terbuka sekali. Sebenarnya banyak kerabatku, atau sesepuh keluarga, yang sangat bisa kumintai pendapat, tapi notabane besar anti menikahkan salah seorang keluarga mereka dengan orang asing, bule, orang Eropa—bahkan ada yang menyebutnya sebagai bangsa penjajah. Pernikahanku nanti, katanya, bagian dari rencana busuk kolonial. Setelah mendiami tanah kita, diam-diam kembali menjajah dan membawa hasil jarahan tersebut ke negeri asal mereka. Apa Moza diutus presidennya seperti itu? Untuk apa ia belajar Islam? Ingin lebih banyak mengenal agama yang mencintai perdamaian, mengutamakan keselamatan dan kesejahteraan umat, apa menyusup? Celaka. Positifku, hidayah Allah datang kepada siapa, kapan, dan di mana saja.
“Mashaa Allah, karunia besar itu, Rey!” puji Asimun di Bogor sana. “Ane turut seneng dengernya. Ane kira entum bakal nikah sama teman kuliah antum.”
“Edison?!” Asimun mengakak hebat di kediamannya. “Mun, ada masukan nggak nih, aku butuh nasihatmu. Aku sudah yakin dia jodohku, Mun, please!”
“AlhamduliLlah kalau begitu. Ane seneng dengernya,” ucapnya di telepon.
“Ah, ente, Mun, dari tadi seneng dengernya terus!”
“Hahaha… tenang, wahai, perempuan yang diberi petunjuk Allah. Kalem, lama sudah kita takbersua, Kawan, bolehlah sedikit menebus rasa rindu, hahaa!”
Aku takmeresponsnya. Tapi kuminta bantuan ia untuk memberi aku dan Moza petunjuk sehingga pernikahanku lancar, dan rumah tangga kami diberkahi. ‘Tak menyalahi aturan agama, norma, nilai, adat, dan struktur kemasyarakatan.
“Kirey, sewaktu kuliah dulu, ane akrab sama ustaz yang rumahnya dekat masjid di kosan ane. Pak Riskianto Syarifudin namanya. Orangnya sahaja, baik, ilmunya jangan ditanya, yang jelas dia sudah berpengalaman soal yang satu itu.”
“AlhamduliLlah, Asimun, ane seneng dengernya!”
“Nah, siapa yang sekarang bilang seneng dengernya?!”
“Hem, marah nih, hak patennya diakui orang lain. Hehehe, ane doain ente panjang umur, diberkati dan diberkahi selalu dengan anak istri ente, salam buat mereka ya, jangan lupa datang walimahan ursy ane. Satu lagi, Kawan, semoga cita-citamu S3 di Madinah mudah terlaksana. In shaa Allah. Aamiin…”
“Aamiin. Antum juga lancar. Pertengahan bulan ane masuk kuliah pasca.”
“Mantap sudah! Jadi pengusaha sukses yang berkah ente di Bogor ya!”
“Siap, ucapkan salam ane ya sama Ustaz Riskianto! Semoga berkah!”
Sore itu, setelah mendapat alamat dan nomor telepon rumah Pak Ustaz, serta kontak janji dengan sang alim, aku, Moza, dan didampingi Paklik Praptono dan Mas Paryan—tetangga Paklik yang berteman akrab dengan Moza—yang ikut kami sebagai sopir, menyambanginya dengan Carry silver Mas Paryan. Lantas kami menunggu di sebuah masjid kampung. Salman al-Farisi nama masjid yang serbahijau itu. Meski bangunan dan halamannya takluas tapi kebersihannya amat terjamin. Masjid itu memanglah di tengah kampung yang padat, dikeliling gang-gang sempit, tapi siapa para pengurusnya, sehingga sarana ibadah di daerah bekas jajahan grup sepengajian Asimun itu takmencolok kumuh, kotor, dan takterawat.
Kami duduk-duduk di terasnya. Sementara mobil Mas Paryan diparkir di ujung gang sana. Pak Ustaz sengaja mengajak kami janjian di masjid, katanya, karena semua orang yang belum mampir ke sana akan kesulitan mencari rumah jeleknya. Aku sempat takjim dengan kerendahan dan kesahajaannya. Kuhubungi salah seorang guru Asimun itu, mengabari bahwa kami telah sampai. Jawabnya tunggu, sebentar lagi ia bergegas ke tempatku. Hampir 25 menit, ia belum juga muncul, wah, berarti jauh rumahnya atau jalan-jalannya berbentuk seperti labirin.
Lima menit kemudian ia muncul, sambil menggendong anak tiga tahunan. Beberapa kali ia meminta maaf. Aku yang malah takkeenakan padanya yang bersikap begitu santun dan pandai mengakui kesalahan. Padahal menurutku tiada terlambat ia meski janjinya segera ke sana. Aku cuma deg-degan dengan agenda kami berempat ke sana. Lupa juga. Aku ke sana tidak memakai jilbab, minimal itu kerudung atau selendanglah sebagai penutup rambutku. Sungguh malu aku saat kami berempat berkenalan dan diajaknya terlebih dahulu mampir ke rumahnya.
Sebuah rumah yang bagus menurutku. Secara eksterior dan interior. Cat dinding rumah dan pagar campuran pasir dan semennya berwarna hijau cerah. Di halaman kecilnya terdapat kolam ikan yang terpelihara, terlihat pula ikan-ikan mas koki, mata balon, nila, mujair, koi, dan sapu jagat, juga tertanam rapi aneka tumbuhan hias dan bunga-bungaan bermacam warna, segar dan rimbun. Terlihat bahwa pemiliknya rajin menyirami, menyapu rumput jepang bersampahnya, dan menata peremajaan daun-daun rindangnya. Kaca-kaca jendelanya pun mengkilap bening. Lantai sempit teras depannya pun hampir saja malas kuinjak karena bersih kinclong-nya. Aku dan Moza saling lirik, seolah berikrar, “Mari rumah kita nanti harus kita ciptakaan setiap saat jauh lebih indah, terawat, teduh, dan memesona!”
Sementara di dalam rumahnya, lebih lagi membuatku, juga Moza mungkin kurasa, tercengang, kagum, rasa ingin memiliki, dan pasrah merasa rela berlama-lama bertamu. Di ruang tamunya, takada kursi dan meja. Kami berempat nyaman dipersilakan duduk bersila di atas karpet tebal berwarna merah yang empuk dan bersih terjaga. Sang istri yang berkostum serbamerah marun: jilbab, cadar, dan pakaian terusannya berkali-kali mengantarkan beberapa gelok kue-kue kering dan lebih dari empat piring jajanan pasar. Teh hangat gula batu telah membasahi rasa kering di tenggorokan kami yang seperempat hari mengitari Semarang kabupaten. Sulit memang mencari lokasinya. Selain itu, kami mampir ke toko oleh-oleh dan menghadiahi mereka bandeng presto Juwana. Sang ustaz, selain guru Asimun, ternyata mitra bisnisnya juga. Karena itulah, pada tingkat akhir kuliah Asimun pindah kosan, dari kawasan kampus kami di dekat rumahku ke suasana santri yang tengah aku diami ini. Mereka dulu, katanya, bisnis budidaya lele dan nila.
Kupandangi foto-foto cantik keluarga mereka yang tertata rapi di dinding hijau cerahnya. Oh, si ustaz dan istrinya memiliki tiga anak. Dua putra mereka sekolah SMP, dan si bungsu putri satu-satunya baru berusia 3 tahun. Jauh sekali jarak usia antara si bontot dan si pemangkunya. Jika saja dibahas, aku di rumah pun seperti itu. Jika melihat keharmonisan sang alim yang sahaja ini, aku jadi teringat ayah topku. Begitu tadi di masjid kutanya, kenapa ketika menjemput kami membawa putrinya, lalu ia menjawab, “Ibunya belum selesai memasak.”
Itulah kenapa ia terlambat menemui, kata si istri, karena ia memandikan anaknya terlebih dulu, dengan buru-buru, menyalininya, lalu barulah menjumpai kami. Persis sekali. Ia seperti ayahku, yang selalu membawaku ke mana-mana. Menemui tamu, menghadiri undangan, atau mengunjungi tetangga yang sedang sakit. Sikap Pak Ustaz terhadap putrinya tadi pernah juga dilakukan ayahku ketika kami ada tamu dari Jombang. Ibuku disuruh masak soto bangkong, dan aku yang baru bangun tidur ia mandikan, terus begitu sudah rapi diajaknya ke jalan raya untuk menyambut tamu yang belum tahu rumah kami. Alasan Ayah, begitulah caranya memberi penghormatan pada tamu, sehingga mereka betah dan nyaman.
“Mbak, Mas, ini soto bangkongnya ala kampung sini!” suara istri ustaz yang muncul dari arah dapur, mengagetkan mata Moza menyaksikan ribuan buku yang tersusun rapi pada lemari-lemari kayu tanpa jendela dan hampir memenuhi ruangan. Menjadikan hiasan yang sungguh bernilai lebih jika dibandingkan guci-gujian dan patung-patungan. Juga mengernyitkan dahi tua paklik-ku yang tengah intens melihat foto besar sejumlah petani bersama seorang pejabat dan jajarannya di sudut dinding rumah yang lain, dan tertampak juga wajah yang ia kenal.
Mas Paryanlah yang lebih berbasa-basi dengan Pak Ustaz, dan rampusnya hampir mencicipi semua kue yang disuguhi si ibu bercadar yang kini menawari kami soto khas Semarang—hasil racikannya yang baru saja selesai dimasak, dan masih panas, serta, hmm, wangi bumbu kuningnya menggoda. “Ayo, mumpung masih anget! Ini istimewa saya buat untuk Mbak sama Mas-Mas sekalian. Mohon maaf bila rasanya kurang enak, maklum, lagi belajar. Kalau enak bapaknya anak-anak ini nanti yang buka warung gerobakan di depan. Ya ‘kan Mas, mau yoh?!”
“Hahaha!” Oh, rupanya, si istri di luar dugaanku. Ternyata bisa membuat para tetamu senang, terbahak, tersenyum, dan pasti ingin cepat-cepat bertamu lagi. Pak Ustaz yang merasa dibercandakan istrinya, hanya bisa meng-aamiin-i saja.
Paklik-ku yang memang sering demam panggung, takpandai berbasa-basi, sulit beradaptasi dengan forum formal, malah berperan pengantar jalan saja. Padahal ia ingin sekali bertanya, “Kenapa kok ada foto Pak Ustaz, Pak Pejabat, sejumlah petani di kabupaten ini, dan seseorang yang saya kagumi?” Tapi ia lebih baik berdoa dan menanti sebuah keajaiban dari langit. Pada akhirnya akulah yang mengutarakan maksud dan tujuanku, sebagai prolog, padahal pada janji bertamu itu pun Pak Ustaz sudah dijelaskan hakikat kedatangan kami berempat. Moza yang tampak asing dengan suasana bertamu macam kami, lebih sering tersenyum.
“Mashaa Allah, karunia besar itu Mbak Hasna!” Nama kenalanku padanya disebut santun Pak Ustaz. “Saya senang dengarnya,” sambungnya, yang kuanalisis potongan kalimatnya pernah kudengar sebelumnya. Ya, bahasa si Asimun. Wah, pantaslah si anak talas Bogor itu muridnya. “In shaa Allah saya bantu. Setelah makan siang ini kita ke masjid. Oh, ya, Mbak, salam balik untuk Ustaz Asimun!”
“In shaa Allah, Pak, akan saya sampaikan. Sebelumnya terima kasih sudah mau membantu kami,” responsku, begitu bahagia, meraih sebuah kemudahan di tengah kesulitan. Paklik dan Moza juga ikut-ikutan berterima kasih. Sementara sopir kami, hem, sudah kreatif menuangkan nasi ke piring. Susunan nasinya mirip sebuah gundukan pasir. Dan bahkan seperti gunung salju. Ia nampak malu-malu.
“Silakan, jangan malu-malu, kita mulai saja! Prasmanan, ambil sendiri!”