Ramadan Terakhir Ludwig: Ibu Teladan, Ayah Petualang, Anak Istimewa

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #12

Barchen, Beruang Kecilku

SEMAKIN KAGUM saja aku pada bosku. Ia baru saja mengirimkan paket yang begitu spesial untuk gerbang pernikahanku dengan Moza. Hem, apa isi kado yang dibungkus kardus raksasa ini, diikat manis pita berwarna biru kesukaan kami berdua? Dan, oh, begitu berat saat aku mengangkatnya dari tangan seorang kurir sebuah jasa pengiriman barang, hingga akhirnya Moza dengan senang gembiranya membantuku. “Oh, ini seperti, bayi gajah dari bosmu!” candanya setelah kado itu berhasil ditaruh di lantai ruang tengah rumah kontakan kami—beberapa kilometer dari rumah keduaku. “Bukan, Moza, ini harta karunnya Ishac, dia bosan hidup jadi orang kaya. So, dia memberikan semua kekayaannya untuk kita… hahaha!”

Kami tertawa terbahak-bahak di lantai. Sungguh menggembirakan. Begitu indah. Berwarna-warna keceriaan. Oh, begini rasanya pengantin baru. Oh, nikmat kurasakan kemenangan melewati ragam tantangan dan ujian demi memiliki rasa kebahagiaan ini. Kawan, mungkin inilah perasaan cinta yang sesungguhnya, yang ingin sekali kuutarakan kepada kalian. Sesuatu yang haram menjadi halal dan itu malah membuat kita menambah pahala. Sesuatu yang tabu malah menjadi bumbu kasih sayang. Hidup jauh dari fitnah dan gibah orang-orang berpikiran miring. Sungguh menyesal jika dipikirkan, mengapa kita harus berlama-lama menggadis atau membujang. Padahal jika kita coba bersabar sedikit saja, mungkin takada di bumi ini terdengar istilah kawin lari, anak haram, aborsi, selingkuh, jinah, dan ….

Terselip kartu ucapan di pinggiran kado tersebut, hal itulah yang kami berdua ketahui bahwa kotak super jumbo dari bosku. Pasti, yang menulis salam ucapan itu adalah istrinya, Mbak Siera. Sebelumnya, aku belum mengenalnya, pun belum pernah mendengar nama atau kisahnya ia sebutkan, dan baru ketika hari resepsi pernikahanku barulah aku melihat wajah beruntungnya. Fotografer yang mengabadikan seluruh rangkaian acara pernikahanku telah mengabadikan keluarga bahagia Ishac yang mengapit Moza dan aku di pelaminan. Takkusangka mereka bakal mengirim gift untuk kami. Itulah Ishac, katanya, senang memberi kejutan dan maunya paling berkesan dari yang lain. Sungguh aku taksabar ingin tahu isinya. Moza pun sama. Kami saling lirik. Lalu tertawa. Saling pandang. Ah, sungguh indah, Ya, Allah, terima kasih atas semuanya. Kami bahagia sekali.

“Satu…” seru Moza mengawali.

“Dua…” lanjutku, kami saling pandang lagi, berbagi senyum termanis.

Lalu… “TIGAAAA!!!” Serempak kami kompak membuka kado istimewa itu. Diawali dengan merobek pembungkusnya, lalu, oh, masih ada pembungkus lagi, lebih tebal, yaiyah, masih ada pembungkus lagi, sepuluh lebih pembungkus kado itu, dan pada akhirnya kami menemukan sebuah kardus pembungkus.

“Aku jitak kepala Ishac kalo masih ada kardus lagi di dalamnya!” kesalku yang kulampiaskan pada pelindung kado itu dan kucabik-cabik takberperasaan.

Lihat selengkapnya