Ramadan Terakhir Ludwig: Ibu Teladan, Ayah Petualang, Anak Istimewa

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #13

Maus, Bulan Madu Gratis

HARI YANG MENAKJUBKAN. Aku sungguh beruntung. Beruntung selalu saja memiliki orang-orang beruntung dalam hidupku. Mereka yang selalu ada dalam keajaiban-keajaiban yang rapi kucatat. Saking banyak dan nikmatnya hingga aku lupa menghitungnya. Sulit pula untuk membalasnya. Seumur hidupku jaminannya kurasa itu takbakal cukup. Mengapa mereka yang diberi keberuntungan setia dan loyal menyenangkanku atas semua pemberian mereka? Jikalau mereka memiliki tuhan dan rasul sebagai suri teladannya. Maka itulah jawabannya. Mereka ingin menjadi hamba terbaik dalam segala bidang kebaikan dan amal saleh. Mereka pun bermimpi mengikuti jalan terbaik yang dijejaki matahari kehidupan kita sehingga taktersesat, putus asa, salah tujuan, atau kehilangan arah yang lurus, dan untuk akhirnya mereka selamat sampai di surga. Kehidupan yang penuh kesenangan abadi dan sebagai tempat tinggal yang sesungguhnya, yang Tuhan janjikan.

Oh, dapat kusimpulkan sekarang, mereka berbuat kebaikan, bahkan tidak tanggung-tanggung kepada orang yang mereka pikir layak dan tepat mendapatkan semua itu, adalah demi menyempurnakan keimanan dan ketakwaan mereka. Iman dan takwa yang dipersembahkan kepada zat yang telah membuat mereka ada, diberi keberuntungan, kenikmatan, dan kesempatan untuk meraih balasan yang lebih: surga yang dijanjikan itu. Dan jikalah kerusakan dan kufur nikmat yang mereka ciptakan dalam kehidupan, maka balasannya adalah, ya, api penyiksaan.

Para alim sering mengingatkan kami tentang berlomba-lombalah dalam kebaikan. Karena jika percaya Tuhan, utusan-Nya, ajaran-Nya, maka percaya pula hari akhir, surga dan neraka-Nya. Betapa cinta dan sayangnya Tuhan kepada kita hamba-Nya, supaya tidak tersesat-zalim-murtad-kafir-atau musyik, karena dalam firman-firman-Nya terlebih dahulu kita dijelaskan bahwa jika kita melakukannya maka sungguh pedih siksa api neraka-Nya. Tetapi, bagi yang sebaliknya, hamba yang taat dan patuh kepada setiap perintah dan larangan-Nya maka surga yang dijanjikan-Nya akan menjadi milik mereka. Itulah yang disebut muraqabah, kata K.H. Nuruddin Nabawi bin Priyohadisubroto—sahabat seperjuangan ayahku—, ketika menyampaikan kutbah nikah pada resepsi pernikahanku. Katanya, “Yaitu suatu gambaran atau cuplikan peristiwa linier ketika tibanya nanti hari yang telah ditentukan oleh-Nya, sebagai petunjuk juga peringatan bahwa setiap amal sekecil apa pun akan dipertanggungjawabkan di sidang akhirat nanti. Begitu cinta-Nya Allah kepada kita, kita diberi kesempatan dulu untuk tahu, sehingga itu menjadi penambah the power of why kita menjadi hamba terbaik-Nya, mendapat jannah-Nya. Dan, bagi yang telah berumah tangga, jadikanlah rumahmu ladang amalmu!”  

Tablig Kiai Nur sungguh membekas di hatiku, masih terngiang-ngiang buah lantunan ilmu agamanya. Aku dan Moza, suami-istri yang telah mendaftar keikutsertaan lomba lari yang diadakan Tuhan, yang titik finish-nya adalah surga. Meski aku lebih dulu registrasi, dan Moza baru beberapa bulan kemarin, tapi aku ingin berlomba bersama-sama ia, beriringan menyatukan ritme langkah lari kami untuk bisa sampai ke finish berduaan pula. Karena jika kami ‘tak ikut mendaftar, otomatis kami berdua takmendapat nomor dada—tanda keikutsertaan. Jika kami takterdaftar bagaimana kami bisa meraih trofi penghargaan dan hadiah besar yang dijanjikan oleh-Nya, seandainya kami juara—taksalah jalan—, mengikuti semua peraturan yang ada, gaya dan teknik berlari kami mengagumkan banyak juri, dan ketertiban kami selama perlombaan, dan kebaikhatian kami membantu pelari lain yang terjatuh atau kehausan di jalan. Tetap saja kami dianggap peserta ilegal.

Selepas isya, di Pantai Senggigi yang biru kehitaman dan menenangkan itu, dicahayai tiga belas hingga dua puluh satu bintang kecil dari langit, aku dan Moza duduk menyepi di atas pasir bertikarkan alas kaki sendiri, begitu takjim dan sulit diucapkan puisi sekalipun tentang keajaiban-keajaiban yang tengah kami berdua rasakan. Keberuntungan dari orang-orang terbaik kami. Mereka yang telah berjasa membuat kami bersatu, saling mencintai, dan kini berstatus Adam-Hawa.

Maus,” panggil lembut suamiku yang suaranya dekat sekali di telinga kananku. “Aku telah berbicara kepada Allah, selepas isya tadi, aku mau selama-lamanya tinggal di sini, menemani kamu… aku akan mengurus statusku segera.”

Lihat selengkapnya