Ramadan Terakhir Ludwig: Ibu Teladan, Ayah Petualang, Anak Istimewa

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #15

Temani Saya ke Bengkulu

ASISTEN rumah tangga di apartemenku mengabarkan, sudah tiga kali seorang lelaki mengubungiku. Jika itu penting, kenapa tidak ke HP-ku langsung, SMS, atau tinggal pesan di telepon? Apa susahnya? Jika bukan orang-orang apartemen, teknisinya, siapa lagi kalau bukan orang-orang terdekatku. Semenjak HP seolah menjadi kebutuhan yang primer, telepon di rumah susun modernku ini hanyalah aksesoris ruangan saja. Meski ada gunanya juga, untuk komunikasi atau keluhan serta saran pada pihak pengelola apartemen, masalah air, listrik, sampah, dll., atau say hallo dengan seuprit tetanggaku untuk kuajak makan malam bersama di luar dan jalan-jalan pagi di seputaran area rekreasi kawasan bisnis tersebut—meski itu jarang sekali, kehidupan di sini agak terlalu cuek dan individualis, mungkin semua para penghuni sebagian besar sepertiku: menemukan tempat istirahat yang tenang dan ‘tak siapa pun bisa mengganggu. Buktinya, aku hanya berkawan satu orang.

Selepas ribut besar dan fatal dengan suamiku, tiga hari selanjutnya, lalu kupilihlah apartemen di kawasan Jakarta Selatan yang takterlalu gaduh, padat, dan macet lokasinya sebagai tempatku menstabilkan diri. Padahal rumah kontrakan kami masih lima bulan lagi batas habisnya. Pantang aral kutinggalkan saja Moza seorang diri di sana. Usia pernikahan kami, ketika kejadian memalukan itu, sudah jalan 5 tahun. Ludwig berumur 3 tahun. Aku sempat setahun kosong untuk bisa melahirkan anak pertamaku. Dan aku nyaman di hunian baruku yang strategis ini.

Meskipun jarak ke rumah keduaku jadi lumayan jauh, tapi itu lebih baik. Aku bisa merenungi bayangan hidupku di tahun-tahun sebelumya, di hari-hari kemarin, atau yang baru saja kulakukan—baik atau buruk—sambil menikmati jalanan kota Jakarta yang memiliki sejuta fenomena sosial dan ragam keindahan tersendiri. Aku melakukan hobi baruku itu setiap hari, setia di Blue Bird-nya Pak Munasi langgananku. Jika aku kesiangan atau karena malas menikmati pagi, ya, sering juga telat masuk kerja, rapat redaksi, rapat evaluasi atau revisi, atau janjian dengan orang. Bila Edison menegurku, “Turun kualitas ‘gak musti diganti ‘kan?”

Mungkin aku terlewat egois juga, kusadari akhirnya, Ludwig tidak lagi memiliki teman di rumahnya yang berada di lantai 8. Ia kesepian. Biasanya, jika sore tiba, ada saja ibu-ibu yang membawa anaknya, baik seumuran Ludwig, lebih kecil, maupun yang lebih berumur, mampir ke kontrakanku. Mereka senang dan selalu merindukan bermain dengan Ludwig. Apalagi kalau hari libur, di lapangan perumahan para pendatang itu, seolah sedang mengadakan karnaval anak atau lomba pembantu siapa yang paling baik asuhannya se-Jaksel. Ya, tempat olah raga dan ajang bergosip ibu-ibu itu dipenuhi PRT yang sebagian besar berasal dari Jawa, yang teduh mengasuh anak majikan mereka. Ludwig dan pengasuhnya yang sekaligus pembantu rumah tangga kami pun ‘tak ketinggalan berajang di sana.

Sementara di sini, anakku hanya bertemankan nyala TV, buku cerita yang dibacakan ibu asuhnya tapi rajin dibelikan ibu kandungnya, boneka sapi, mainan komodo buatan Cina, koleksi VCD film animasi Jepang dan dokumenter hewan-hewan, dan hanya si Mbak Novita ini tentunya. Novita ini tetangga dekat Paklik Praptono yang hanya tamatan SMP di era reformasi ini. Jika dilanjutkan sekolah ia mungkin sudah duduk di tahun kedua bangku kuliahan. AlhamduliLlah anaknya penurut, cekatan, ada kemauan buat belajar, cepat mempelajari sesuatu, dan aneka masakannya enak—karena menjadi syarat utama menjadi PRT di rumahku, dan tepatlah Bulik Zuleha mencarikan orangnya untukku yang terbiasa makan enak di setiap liputan kerjaku di pelbagai macam daerah. Meski Novita berasal dari desa tetapi pembawaannya tidak mengampung. Ia pandai menyesuaikan diri, mudah akrab dengan tetangga, dan pintar mengatur uang belanja harian ataupun bulanan. Jika ia mengaji, di kala subuh atau ketika sehabis magrib aku ada di rumah, oh, suaranya merdu dan fasih sekali. Aku kadang iri mendengarnya. Mungkin juga aku lupa, ayat keberapa dari surat apa yang terakhir aku baca. Dan yang pastinya, siapa pun PRT-ku, ia harus menyenangi dan mengasuh Ludwig dengan baik.

“Kamu tadi tanya dari siapanya?” tanyaku pada Novita yang tengah asyik menyuapi Ludwig bubur nasi merah dicampur kuah bayam segar buatannya.

 “AlhamduliLlah tadi saya tanya,” jawabnya santun, dan Ludwig nyaman bersamanya. “Novita tanya juga ada pesan ndak buat Ibu, tapi tetap, Bu, beliau selalu menjawab iya nanti saya hubungi lagi. Suaranya belum saya hapal, Bu, kalau suaranya Pak Edison, Pak Ishac, atau… Bapak… saya sudah kenal, Bu!”

“Ya, sudah ndakpapa, Ibu istirahat dulu, kalo beliau hubungi lagi suruh telepon ke nomor Ibu, atau kamu catat berapa nomornya biar Ibu yang balik menghubungi beliau.” Novita mengangguk. Kusenyumi Ludwig penuh kasih dan menjadi obat penawar rasa lelahku. Ia takmembalas senyumku, malah keasyikan mengunyah asupan gizinya, yang setiap hari selalu rewel kuperhatikan. Aku pun meninggalkan mereka. Masuk ke kamar serbabiru toskaku, ingin cepat tertidur. 

“Selamat istirahat Mamah!” Kuharapkan itu keluar dari mulut kecil anak berusia 3 tahunku yang banyak dipuji lucu dan menggemaskan. Tapi yang samar kudengar itu malah dari mulut pengasuhnya, yang mengajarinya bertambah satu lagi kosakata baru untuknya. Novita mengulanginya hingga tiga kali. Dan sempat kutoleh sedikit wajah mungilnya, tapi anakku takmengikutinya. Begitu aku sudah terbaring lesu di kasur pegasku, barulah kudengar satu teriakan cemprengnya, “Mat Mamah, mat Mamah… mat Mamaaah!” Iya, Sayang, Mamah istirahat dulu ya. Oh, cukup senang aku mendengarnya. Seharusnya aku yang mengajarinya. Aku selalu kalah inisiatif. Bahkan di rumah kontrakan kami juga, Mozalah yang sering menambah perbendaharaan kata untuknya. “Yeahhh… Pintar… Ludwig pintar. Kalo cudah becal mau jadi apa?” Begitu terus Novita menstimulus otak, motorik, kinetik, visual, musikal anakku setiap hari. Berusaha menjadi teman dan pengasuh yang baik. Negatifku, aku takut nanti Ludwig tumbuh jadi anak PRT.

Mataku masih belum juga bisa terpejam sebagaimana orang yang tidur. Pikiranku melayang takjelas plotnya. Hingar-bingar. Bertanya-tanya. Memarahi diri sendiri. Mencari orang yang bisa dikambinghitamkan pada setiap kesalahan masa laluku. Mulai dari Ibu, Bulik Tizah si perawan tua yang cantik itu, suamiku, hingga orang-orang di sekitarku yang kuanggap membuat suasana hatiku gundah, sensitif, memanas, mangkel, dan keras ingin menang sendiri. Dan yang lebih mendalam memutar di benakku adalah siapa kiranya si lelaki yang berkali-kali menghubungiku itu? Kenapa sekarang tidak meneleponku lagi? Apa itu Moza?

Lihat selengkapnya