Ramadan Terakhir Ludwig: Ibu Teladan, Ayah Petualang, Anak Istimewa

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #16

Oh, Indahnya, yang Jadi Istrinya

KUTELPON berkali-kali HP Edison. Tapi, sobat karetku itu takmengangkatnya. Positifku, ia sedang bertugas keluar, meeting, atau memang takmau diganggu. Aku baru saja ketiban untung. Lelaki yang menjadi biang kasmaran dan puberku mengajakku bertemu di coffee shop, mentraktirku cake dan kopi kelas Eropa, dan aih-aih memaksaku pelesiran ke Bengkulu, mengunjungi taman nasional yang ditumbuhi bunga Rafflesia arnoldi. Itulah tujuan utamanya ke Indonesia. Tanah ketujuh dari delapan negeri di dunia yang memiliki bunga paling langka. Tapi, Kawan, aku juga ketiban pulung. Kami berdua ke sananya harus dibiayai olehku. Katanya, hukuman atas keberanianku memotret aksinya di Pulau Komodo itu dan hasil potretannya dijadikan kaver majalah. Kaver edisi Pulau Komodo yang tepat dengan perkiraan juga harapan Ishac. Majalah kami menambah jumlah oplah di awal minggu kedua. Manusia yang satu itu, tahu reaksi pasar, dan mencari emas di gudang berlian milik raja logam yang ia kenal baik hati dan tidak sombong.

“Hahahaaa, ada-ada saja, Rey!” David Poernomo sebagai calon penerima bonus dari Bos Ishac dan Adlien—berkat prestasinya memimpin liputan ke Pulau Komodo—menanggapi kabar pertemuanku dengan si figuran kaver majalah itu, Moza. “Seumur-umur baru ada figuran kaver model begitu macamnya, Rey. Kalo dia fotomodel untuk pemotretan majalah remaja atau sebagainya, yang jelas ada MoU-nya itu wajar, sah. Lah, ini… tapi kita orang baik hati dan tidak sombong.”

“Terus, bagaimana gua, Vid? Gua bisa tekor kalo nggak dibantu kantor!”

“Hahaaa, gua harap perjalanan lu nanti itu jadi bonus hasil pekerjaan lu!”

“Ah, yang benar lu? Kalo pun iya, tapi bagaimana Vid ngomongnya?”

David menutup mukanya dengan kedua telapak tangan kekarnya. Lalu menampilkan wajah hitam manisnya. Membuka rapatan bibirnya yang cokelat. Takada sepatah kata pun yang keluar. Aku berharap-harap taksabaran, menunggu kalimat solutif yang akan wartawan cerdas dan open-minded ini utarakan.

Gua harus ngomong ke siapa, Vid?” Kupotong sendiri harap-harap tidak sabarku. Aku paling antibasa-basi, apalagi tarik-ulur pewacanaan. “Bagaimana sih sistem hak cipta di sini… gua salah ya… apa perlu gua bikin proposal, Vid?”

Gua anak baru, Vid. Jadi tolonglah dibantu.”

“Kirey,” akhirnya anak muda Kota Apel, arek Malang yang dibesarkan orang tua tunggalnya di Ibu Kota ini bersuara juga. “Gua selama setahun berkarya di sini, ‘gak ada istilah ‘anak baru’ sama ‘anak lama’, tapi yang berbudaya di sini ‘anak berprestasi’ atau ‘anak yang belum berprestasi’. Bos Ishac, Bos Adlien, dan si kaki tangannya Bos Edison, mereka itu orang-orang orientasi prestasi. Semakin kita berprestasi di sini, apa pun bentuknya, maka semakin bebas, bahagia, dan merdeka kita tinggal di sini. Sudah gua bilang sejak awal, di sini, bukan tempat kerja, tapi LPK yang memberi gaji, pengembangan diri, dan peluang berprestasi.”

“Iya, gua ngerti, Vid. Makanya gua udah sumpah, mau mengabdi sampai mati di sini!” tegasku setuju dengan panjang lebar kalimat David. “Tapi ‘kan gua belum banyak tahu SOP tentang segala sesuatunya, Vid. Termasuk kasus gua.”

“Lusa kalo fix kita rapat redaksi, semoga banyak solusi di sana!”

Aku mengangguk penuh senyum di wajahku. Sepakat dengan ucapan sang wartawan kreatif yang senang menulis liputan tentang budaya, sejarah, keunikan suatu daerah, potensi masyarakat, sosiologi, antropologi, dan filsafat. Apa lacur, hatiku malah deg-degan tiada jelas apa yang sedang dikhawatirkan. Aku takut di ruang rapat nanti, mereka menertawai ideku karena sulit membedakan mana tugas kantor dengan bawaan perasaan. Betapa malunya aku, di saat mengusulkan kota Bengkulu sebagai tujuan liputan utama fotoku di edisi selanjutnya. Aku sungguh takenak hati pada Edison. Sebagai orang yang kujadikan tameng dan backing di kumpulan orang-orang cerdas, kreatif, open-well, dan bervisi di rumah keduaku. Seolah aku taksadar diri, si anak baru yang resmi diangkat karyawan satu bulan kemarin. Jika usulanku ke Bengkulu itu takdisetujui, apakah harus memaksa, atau kunekadkan saja terbang ke sana untuk kesenangan pribadi, takada hubungannya dengan pekerjaan redaksi. Oh, ke sana itu butuh dana, juga waktu. Sementara jika waktuku sudah berkomitmen dengan majalahku yang kapan saja menugaskanku ke mana pun dan kapan pun, apakah itu harus kulawan demi kesempatan emasku memuaskan hatiku? Sama sekali aku taktakut diapa-apakan oleh teman baruku itu. Yang kukenal takagresif tapi unpredictable. Oh, Moza, ini pengorbanan untukmu.

**

Pada rapat redaksi yang dihadiri Edison, David, Fu Shi, Albe, Arkandi, aku, Adlien, dan Suliwabauty itu aku mengemukakan ide terselubungku. Pada sesi brainstorming tema dan liputan utama untuk edisi bulan depan. Rapat redaksi ini sedikitnya dilaksanakan dua kali, tapi kalau memungkinkan bisa sampai empat kali sesuai perkembangan isu dan kebutuhan informasi di masyarakat. Terutama bagi ideal customers kami. Jika rapat redaksi telah membuahkan hasil, lalu tim dilanjutkan pembuatan drafnya atau skenario peliputan beserta contoh kasar inti laporannya. Setelah itu, barulah penyusunan mekanisme liputan beserta kebutuhan anggaran—seefektif dan seefisien mungkin. Setiap divisi memiliki job desk dan rapat internal masing-masing. Semua berhak saling bantu dan syering demi sama-sama meraih hasil yang maksimal. Melebihi target. Berprestasi dan berbonus buah kreatif. Aku pun berusaha sekreatif dan seproduktif potensiku bergabung di sini.

“Ide saya, laporan ke salah satu lokasi wisata yang cukup fenomenal di tanah air. Bunga bangkai, Rafflesia arnoldi. Di Bengkulu. Satu-satunya yang ada di dunia. Ini sangat mutualis, kita bisa berjasa membantu pemerintah melindungi dan turut serta melestarikan cagar alam tersebut, kekayaan hayati negeri ini.”

“Bunga bangkai? Menarik!” Respons Bos Adlien yang memimpin rapat redaksi kali itu. Ishac yang biasanya rutin mengomandoi rapat entah ke mana. Mitra susah senangnya pun takmemberi kabar serta alasan sang Founder dan CEO berhalangan hadir. Rekan-rekan rapatku nampak biasa saja, atas usulanku itu. Kecuali si Mas David yang tahu kucing di dalam karung teriguku. Edison yang kuharapkan mendukungku hanya manggut-manggut kalem. Apa usulanku biasa-biasa saja? Tapi, kata ketua redaksiku, itu menarik. Ah, menyenangkan sesaat.

“Apa itu nggak terlalu sederhana, Rey?”

**

Aku tercekat. Negatif di dalam pikiranku bereaksi. Kutundukkan kepalaku barang sejenak. Rekan-rekan rapatku mengawasiku. Berharap aku menguatkan ide segarku. Dengan mata memandangi ujung sepatu ketsku, aku berpikir, juga sudah membodoh-bodohkan diri sendiri yang kurasa kalimat-kalimatku takmenggigit sidang rapat. Lalu kuberanikan diri menatap hormat Adlien. Siap kuberdebat.

“Ini bagus, kalo dimuat di rubrik yang lain, misalnya di Keunikan Milik Kita, Yang Langka di Bumi Ini, atau di Warisan misalnya. Tapi kalo untuk jadi laporan utama kamu harus lebih mengeksplor lagi, sisi menarik lain yang belum diberitakan lembaga pers mana pun. Target kita edisi bulan depan harus lebih oke dari edisi kemarin, laporan ataupun foto-foto. Khususnya angka penjualan.”

Apa coba yang harus kuperdebatkan? Jika materi debatku semuanya legal dimiliki dan dikuasai Adlien. Gelar MBA-nya yang ia dan Ishac dapatkan secara bersama-sama dari Melbourne University juga membuatku segan. Kepekaan dan insting dalam berbisnisnya memang belum ada yang mengalahkannya di Potret Nasional. Ia paling tahu celah mana atau materi apa yang bisa menghasilkan uang banyak dengan yang banyak membuang uang (burning money) bagi kantor. Salah satu kesuksesan edisi majalah kemarin, edisi Pulau Komodo, ialah buah spekulasi dan pencermatannya membidik pasar. Kantor rela menghambur-hamburkan uang untuk menugaskan tim sebanyak tujuh orang ke Bali-Lombok-Sumbawa-Flores, dengan target bisa meraup keuntungan yang berlipat-lipat dari modal. Hasilnya, melebihi target yang diperhitungkan. Oh, Moza, maafkan aku, saat ini, aku belum bisa mengantarmu gratis ke bunga langka di negaraku, yang dari benuamu kamu kejar. Hanya David yang tahu perjuanganku itu. Edison taktahu. Kupikirkan juga sebaiknya ia takusah tahu niat busukku untuk Moza. Aku takut merepotkannya.

“Bagaimana ada usulan yang lain, Rey?” Adlien kembali bertatap muka denganku. Firasatku ia kecewa dengan ideku yang jauh di luar ekspektasinya. Ialah satu-satunya dewan direksi, ketika tes interview-ku, yang paling skeptis, serius, dan mendetail mengikat komitmen diriku bergabung di Potret Nasional.

Jika boleh jujur, bebas dari bayangan KKN Edison, akulah yang berindeks tertinggi pada saat perekruitan staf fotografer angkatanku. Baik pada test TPA, bahasa asing, GMAT, psikotes, tes fisik di parkiran Senayan, teknik fotografi, maupun pada tes terakhir—wawancara dengan Ishac, Adlien, Edison di Monas.

Dari 10 pelamar yang tersaring dari puluhan pendaftar hanya 5 orang saja yang berhasil mengikuti semua tes, dengan hasil aku dan Kariman Suyatman yang diterima. Untuk selanjutnya kami berdua melewati masa job training selama 3 bulan di bawah binaan fotografer dan editor foto senior, Edison Pandistani Sitepu. Aku dan Karim lolos seleksi. Aku diangkat jadi fotografer khusus liputan utama, menggantikan posisi Edison yang akan lebih banyak waktu di dalam kantor. Lalu Karim, spesialis fotografer fenomena sosial, kemanusiaan, dan kebudayaan, resmi memangku posisi juru foto Potret Nasional yang tidak jauh dengan passion-nya. Job desk fotografi David yang kini naik pangkat menjadi penulis berita—passion-nya lebih pada reportase, penelitian, dan desain grafis—dan kadang memimpin tugas liputan utama, langsung diemban senang hati oleh Karim. Karena itulah si Bos Adlien berupaya menerus menguak sisi kreatif dan brilian potensiku sebagai orang terbaik dari yang terbaik pada masa seleksi itu, dan memegang posisi kunci.

Aku menggeleng saja, ‘tak kuasa menjawab. Menzig-zag pandanganku pada semua orang yang tengah memegang alat tulis, sambil melingkari sebuah meja berwarna hitam mengkilap yang pada permukaannya dihiasi taplak tenun bermotif Toraja. “Coba yang lain dulu, Pak Adlien… sambil jalan saya akan pikir-pikir lagi!” Adlien setuju. Lalu, tersenyum khas orang genius. Tenang, tapi berisi. Tajam mata sipitnya ia lempar pada peserta rapat yang lain. Suasana sedikit sepi.

“Saya, Bos!” Gadis oriental di sebelahku yang mengacung.

Lihat selengkapnya