Jakarta, dua minggu sebelum Ludwig menghilang
“KE KALIMANTAN!” jawab Ishac santun, tentunya pula dengan bonus senyum berlesung pipitnya. Kali itu tujuan utama majalahku adalah mendapatkan bahan berita dan foto masterpiece untuk edisi berikutnya. Isu illegal logging, kerusakan dan kebakaran hutan, banjir, longsor, serta pencemaran lingkungan tengah marak dibicarakan masyarakat. Bahkan buktinya nyata, taksekadar isu, liputan stasiun-stasiun TV swasta menjadikannya topik utama. Dan itu belum membuahkan satu atau dua saja solusi yang kongkrit sejak zaman dahulu terjadi. Hanya pelemparan wacana dan penghangatan pemberitaan. Kemudian hilang ditelan isu, gosip, atau berita yang lain, yang malah kurang penting, tidak layak, dan mubajir saja.
Hutan Kalimantan. Menarik juga. Akhirnya, aku bisa menyambangi tanah yang hanya kudengar ceritanya dari teman-teman kuliahku: yang tugas pemetaan di sana, aksi kampanye pelestarian hutan dan satwa, magang kerja di perusahaan tambang, jadi [katanya] asisten CSR di perkebunan sawit yang menghabiskan ribuan hektare hutan produktif, yang jadi tim pencarian sumber tambang atau staf pembebasan lahan produktif warga untuk pengelolaan sumber daya alam negara, dan atau yang hanya sekadar mencari pengalaman. Sebagian besar mereka yang pulang dari pedalaman atau pedesaan Kalimantan, jika tidak prihatin dengan nasib masyarakatnya yang kekayaan alam mereka dicolongi kaum kapitalis, ya pasti menyumpahi pihak berwenang yang kurang memperhatikan kesejahteraan juga pemberdayaan potensi mereka. Kata teman-temanku, miris, yang kaya bertambah kaya, yang menengah ke bawah ya begitu adanya. Tapi, jika mereka tidak pergi ke sana, dari mana mereka tahu kondisi itu. Tahunya hidup di Pulau Jawa serbaenak.
“Kamu, nggak izin suami?” tanya Ishac sahaja, setelah rapat edisi resmi ditutup. Adlien kali itu yang bertindak membuka, memimpin, dan menutup rapat.
Aku hanya tersenyum. Ishac, Adlien, dan tentunya Edison cukup paham dengan kemelut rumah tanggaku. “Aku boleh bawa Ludwig, Bos?!” Sembilan tahun lebih aku mengabdi di perusahaan terakhirnya Ishac, setelah sekian tahun ia berganti-ganti usaha, CV, PT, dan merek dagang, aku bertambah akrab dengan bosku itu. Ia telah menjadikannya kakak, bahkan bapak bagiku. Jujur. Sepulang ayah tercinta dan terbaikku ke surga-Nya, aku dirundung krisis figur orang tua dan lelaki yang mendamaikan keras egoku—anak gadis satu-satunya di rumah.
“Silakan, Adikku, akan Abang fasilitasi, anakmu, anakku juga!” uji Ishac menghambat suasana hening atau haru di ruang rapat. Peserta rapat telah hapal desas-desus permusuhan keluargaku dengan suamiku. Buntutnya kami berdua pisah ranjang entah sampai kapan. Dosa turunan. Ludwig anakku yang akhirnya merasakan apa yang aku alami bertahun-tahun: hilang figur seorang ayah.
“Kalo Ludwig ikut nanti neneknya nggak ada temannya dong!”
“Aku mau anakku tumbuh bersama ibunya,” tegasku menyambut bahasa multitafsir Ishac, “susah senang bersama aku, Bang, ibu kandungnya!”
“Hidup ini gakada yang susah, Mamah Ludwig,” seru Ishac lagi, “senang selalu apa pun kondisinya. Jadi redaksinya hidup senang bersamaku, begitu!”
“Maksudnya?!” tanyaku takpaham, juga beberapa peserta rapat yang lain. Dewan direksi, Edison, Adlien, dan adik iparnya Ishac, Doniel, finance manager Suliwabauty, marketing manager Arkandi, managing editor Ruslan Sobarie, art director David Poernomo, supervisor distribusi Ronggowarsito, jurnalis senior Aleksandri Sadu, dan aku sendiri chief photographer, serta Vivien sang sekretaris dan Fiona si asisten terbaik Edison, business development yang menyambi editor fotoku—khusus pemilihan foto kaver majalah atau konsultasi grafis pada halaman ‘Foto yang Berbicara’. Ishac yang belakangan ini asing, lebih lembut, ‘saleh’, jadi pengangguran di kantornya, usaha majalahnya yang berusia 11 tahun. Tapi jika ada rapat redaksi atau evaluasi ia suka sempatkan main ke kantor sampingannya. Ya, itu kantor sampingannya, karena kata Edison ia hampir dua tahun merambah bisnis yang lebih banyak mendatangkan rupiah dari usaha majalahnya. Makanya, jabatan CEO Potret Nasional diserahkan pada sahabat terbaiknya, Adlien. Dan redaktur pelaksana dipercayakan pada Doniel yang mantan jurnalis Kompas.
“Maksudku, ajak anak Kirey, ya, itu tadi, hidup senang bersamaku, karena sang ibu akan membawa sang anak ke dalam kesenangan. Jadi selama hidup itu tiada penah merasakan hidup susah. Apa pun kondisinya akan dirasakan senang, bahagia, dan penuh rasa syukur. Tapi… kebanyakan kita yang sudah hidup senang dibikin susah, apalagi kalo hidupnya susah! Oke! Just refresh-minded, Sistah!”
“Haha, just okay Brother… hmm, kayak negaranya siapa gitu ya?! Sudah enak ditakdirkan kaya raya tapi kok malah banyak yang hidupnya susah!”
“Cerdas, Rey!” Kakak angkatku malah memujiku, padahal aku asal beruap saja. Upaya depensi di sana. “Ya, ya, itu tergantung yang menjabatnya siapa!?”
Hahaha. Benar-benar penutupan rapat yang berlanjut bau politik. Pasti tiada ujungnya. Apa pun pembahasannya semua bisa dikaitkan dengan bidang yang satu itu. Aku juga bingung. Aku sebenarnya takpandai soal itu, tapi, yaiyah, keadaan terus saja membawaku ke arah sana. Kalau tidak Edison, Mas Ronggo, ya Doniel yang paling ampuh soal ilmu yang penuh misteri tersebut.
“Kalo yang menjabatnya salah seorang dari Khalifah Rasyidin mungkin nggak demikian kali, ya?!” sahut mitra terbaikku selama bertugas di lapangan ataupun di ruangan, yang memang paling hobi berkisah keadilan dan keteladanan Khulafaur Rasyidin dan para shahabat Nabi lainnya, Alek. Bahkan ia pernah cerita, ia telah lama merindukan dipimpin oleh seorang khalifah. Seorang alim pemimpin yang matang, taat, amanah, sederhana, dermawan, tegas, pemberani, dan adil memimpin rakyat dari pelbagai macam suku, ras, golongan, budaya, status sosial, kepercayaan, dan karakter insani. Ishac yang kagumi kedermawanan ‘Utsman bin Affan, meski ia dan Adlien berbeda keyakinan dengan kami, tapi jujur katanya ia memiliki mimpi yang sama dengan Alek. Ia yang telah banyak bergaul lintas negara, amat prihatin dengan para pemimpin yang ingin memimpin tapi melakukan jalan pintas: korupsi, didanai pengusaha kapital yang ada maunya untuk mendapatkan jabatan, menyikut lawan politik. Oleh sebab itu, Ishac amat mendukung dan bangga dengan orang yang bertahan hidup dengan kreativitasnya.
“Aamiin, semoga negara kita meraih kabar baiknya!” sambut Ishac.
“In shaa Allah, mari bersabar dan berjuang keras menyambutnya dengan kreativitas dan prestasi majalah kita!” tambah Alek, ditepuktangani yang lain.