SUDAH TIGA HARI kami bermalam di hutan tropis Kalimantan Timur. Benar, aku menikmati penuh perasaan lapang, bangga, bahagia, enjoy, dan optimis. Tidak ada perasaan curiga seuprit saja ketika Ludwig banyak waktu dengan Aldam dan Fiona. Pekerjaanku sebagai 100 fotografer terbaik Indonesia dan peran ibu juara 1 untuk putra tunggalku tiada masalah, atau terbebani. Aku dan ia menikmati dunia kami masing-masing. Sama sekali ia takrewel. Hanya saja jika rasa ingin tahunya yang tinggi kumat, ia kadang membuatku resah—mungkin karena aku sering takbisa menjawab pertanyaan-pertanyaan anehnya. Ketika aku ingin rehat sejenak tiba-tiba ia bertanya ke telingaku, “Mamah, kenapa di rumah Eyang Ludwig di Semarang sama di rumah Mamah di Jakarta tidak ada hutan?” Atau ketika aku ingin sengaja bermanjaan dengannya, “Mamah temani Ludwig ke hutan yang di sana, yang banyak pohon besarnya, kita berdua bermain petak umpat!” Jelas aku menolak, meski itu mainanku ketika seusianya. Tapi sekarang aku wanita berusia menuju 36 tahun. Tapi Edison dan Alek yang setua itu malah yang mau-maunya.
Beruntunglah. Benar kata Alek, selain teruji guide sekaligus pendongeng ulung yang kami sewa itu terpercaya. Benar juga Fu Shi, Fiona menjadi ibu yang mendamaikan untuk anakku. Betapa kuiri padanya. Sepertinya juga ia bukan lagi asisten kebanggaan Edison, tapi asisten penuh loyalitas tinggi Aldam. Ia, Aldam, dan anakku bak keluarga kecil yang tengah kemping wisata di hutan tercantik.
Si Lambadranaya—yang kata Alek, Edison, David, Fu Shi, Albe, Roanna, dan mereka yang tahu ceritanya aku terjatuh bergelinding ketika sepasang kakiku bersemangat mendaki jalan berpasir menuju puncak Semeru, pada event bergengsi Napak Tilas Jalur Pendakian Semeru Soe Hok-gie, yang di mana Potret Nasional bermitra dengan Mapala UI, TVRI, Old Wolves Outdoor Wears, ARIS (pabrik air mineral terbesar di Indonesia yang dikelola masyarakat), dan diikuti pecinta alam dan pelestari lingkungan se-Indonesia—itu memang takmengganggu suasana hati, ritme semangat, kondisi psikologis, dan kreativitasku dalam bekerja. Aku salutkan akan kekayaan ilmu dan pengalamannya. Kecerdasannya. Wawasan. Kesahajaan. Juga keakrabannya dengan Ludwig dan Fiona. Padahal ia bujang lapuk, taklaku, atau lelaki impoten. Tapi mengapa bisa berlaku laiknya seorang ayah, dan kakak, atau suami bagi Fiona yang seumur-umur baru kali ini kemping di hutan yang jauh dari perkampungan? Tidak seperti ketika kemping di puncak atau di Gede.
“Ludwig, jangan jauh-jauh ya mainnya!” kataku, mengingatkan anakku. Bila kuingat itulah teguran terakhirku, siang itu. Hingga kusadari selanjutnya aku kehilangan anak tercintaku. Juga kehilangan akalku. Padahal sudah anteng ia membantu Fiona mengiris bawang dan kunyit untuk membuat menu siang itu: nasi goreng kuning khas Desa Japara, di kaki Ciremai sana. Diiringi dongengan Aldam tentang kisah pencarian agama yang sempurna si pemuda Persia, Salman al-Farisi, dan kisah menakjubkan Rasulullah semasa kanak-kanak. Tapi, kenapa ia malah meninggalkan camp? Jika ia bersabar, besok pagi juga kita akan bergeser ke lokasi liputan lainnya. Pindah ke daerah perkotaan. Bergabung dengan Albe, Roanna, dan Karim, fotografer tambahan, di peternakan buaya di kota Balikpapan.
Kalimantan Timur, menurut si guide aneh itu adalah provinsi terluas kedua di Tanah Air, setelah Papua, dilanjutkan Kalteng, kemudian Kalbar, dengan luas wilayahnya sekitar satu setengah kali Pulau Jawa dan Madura atau 11% dari total luas wilayah Indonesia. Provinsi yang memiliki 1.000-189.000 jenis tumbuhan ini berbatasan langsung dengan negara tetangga, negara bagian Sabah dan Serawak, Malaysia Timur. Selain itu, yang menjadi alasan kuat mengapa rapat redaksi kami memutuskan invasi ke ladang emas para orang terkaya di Indonesia adalah karenakeunikan pariwisata yang belum tercium kaum pecinta Tanah Air di Pulau Jawa-nya, sebut saja kepulauan Derawan di Berau, peternakan buaya di Balikpapan, penangkaran rusa di Penajam, Kampung Dayak Pampang di Samarinda, Pantai Amal di Tarakan, Taman Nasional Kayan Mentarang dan Pantai Batu Lamampu di Nunukan, pun yang tengah santer dihangatkan para backpacker Ibu Kota: Taman Nasional Kutai di Kabupaten Kutai Timur. Dan kami harus meliputnya.
Di luar perkiraan kami, untuk menuju ke semua tujuan wisata tersebut ternyata memiliki tantangan besar: transportasi. Taksedikit bagian di provinsi ini masih tidak memiliki jalan beraspal. Tidak heran, Kawan, jika banyak orang yang berpergian di sana menggunakan perahu dan pesawat terbang. Dan jangan kaget lagi, jika di Kaltim ini mempunyai banyak bandara perintis. Rencana pembuatan highway Balikpapan-Samarinda-Bontang-Kutai Timur pun sedang diupayakan di negeri bekas kerajaan tertua di Nusantara itu. Demi kemajuan perekonomian.
Salah satu tantangan terbesar menyejahterakan umat di sana adalah penebangan hutan ilegal yang memusnahkan hutan hujan. Kurang dari setengah hutan hujan yang masih tersisa, seperti Taman Nasional Kayan Mentarang di bagian utara provinsi ini. Bahkan pelbagai penyebab degradasi hutan yang setiap tahun semakin mengkhawatirkan, di antaranya eksploitasi hutan dan perambahan hutan yang takterkendali oleh oknum tiada peduli dan bertanggung jawab, illegal logging hingga faktor di luar kuasa manusia: kebakaran hutan yang menggila.
“Dampak dari degradasi hutan di paru-paru dunia itu sangatlah besar,” seru Aldam seolah ia seorang yang paling tahu. “Takheran, Kawan, kalau sampai sekarang luasan lahan kritis di kawasan tersebut mencapai sekitar 6 juta ha. Dan siapa di sidang akhirat nanti bertanggung jawab jika ditanya ‘Apa yang kalian perbuat dengan titipan-Ku yang Kupercayakan untuk kesejahteraan umat itu?!’”