MALAM KELIMA ini aku tertidur penuh dendam. Amalan puasa Ramadan tahun lalu sepertinya sia-sia belaka. Jika sekarang dicoba ditimbang, entahlah akan berat timbangan yang sebelah mana, antara pahala dan dosa. Manusia yang bervisi surga, kata Alek, ia paham mana perbuatan yang mendatangkan pahala sehingga setiap hari akan terus kerjakan, bahkan ia tingkatkan dan mencari sumbernya lagi ke tanah-tanah berpahala lainnya, dan ia tahu mana perbuatan atau akhlak yang menciptakan dosa, kemaksiatan, keburukan sehingga ia tegas meninggalkannya.
Samar-samar dari bilik papan meranti yang disusun sedemikian rapi dan kokoh, kudengar mereka yang ada di ruangan tengah sedang berbincang-bincang. Mereka takberteriak macam penduduk gunung yang rumah tetangganya berjauhan atau bak penghuni pesisir yang setiap hari ucapannya selalu berlomba siapa yang keras dengan deru ombak. Kuperhatikan suara mereka, masih ada Paman Rambai, Edison, Aldam, juga Aday, ditambah anak bujang dan keponakan Paman Rambai yang sama-sama sebaya: Awang dan Mulawarman. Keenam lelaki lintas budaya, usia, logat bicara, dan ideologi itulah yang mungkin perbincangan mereka bagi orang sakit atau orang sepuh yang butuh ketenangan akan sedikit mengganggu.
Gadis manis 24 tahun Fiona dari sejak tadi tidur di sebelahku. Bahkan mendengkur segala. Ia sungguh kelelahan. Terbesit sekali kubayangkan, masih cinta atau minimal naksirkah para pemuda pengagumnya seandainya malam ini melihat posisi tidur Fiona beserta dengkuran dan gerakan bebas taksadarnya. Alek dan Maksi pun sama. Alek terbaring takberdaya di sebelah Edison yang masih asyik begadang. Bagai pengungsi bencana alam atau para pemudik lebaran lintas pulau yang berjam-jam menunggu kapal ferry menjemput. Hanya beralaskan tikar anyaman tumbuhan kering di lantai kayu yang licin tapi berdebu. Tidur seperti biasanya, menghadap kiblat. Dan tubuhnya masih memiliki wudu. Untunglah si mereka memiliki bantal lebih sehingga para tamu darurat bisa nikmat melewati malam. Sementara kedua tamu wanita tidur di kamar cucu paling besar Paman Rambai, anak gadis sehat yang sudah kelas 3 SD. Demi menjamu tamu dari Jawa, si cucu malahan rela mengungsi ke kamar neneknya. Demi aku dan Fiona. Ibunya, menantu Paman Rambai, telah banyak teman tidurnya: kedua adik si cucu dan anak tunggal Mulawarman yang berusia 4 tahun. Sementara ayahnya, anak tertua di rumah ini malah merantau ke Serawak. Sudah 3 tahun belum pulang jadi TKI. Kerjanya macam-macam: jadi nelayan, operator di pabrik, juga kuli perkebunan.
Waktu di jam tangan G-Shock-ku menunjukkan 11.45. Obrolan mereka semakin panjang dan meluas. Bisa kutebak, dari sikap santunnya memoderasi suasana keakraban itu, Paman Rambai banyak menambah literasi dan informasi bagi si pemirsanya tentang perkampungan Borneo yang mengandalkan kekayaan alamnya sebagai zat penyambung kehidupan. Sepintas kusalutkan, Paman Rambai ini bukan tipe tuan rumah sok tahu seperti yang pernah kutemui sebelumnya. Sok paling tahu atau mendominasi forum berkumpul untuk men-cerocos-i profil dan demografi kampung halamannya, atau pengalaman usianya yang dilebihkan dari tamunya. Tapi bagi Edison, itu merupakan ilmu berharga. Bahan liputan majalah.
Kawan, sepertinya aku malas melanjutkan tidur. Sebenarnya aku ingin berbagi kisah bersama mereka. Tapi kondisiku tidak bagus. Aku sedang bersedih kehilangan anakku, hampir dua malam. Aku pun malu atas sikap kasarku pada Aldam. Dan peraturan di rumah ini, agak kurang baik saja anak gadis meski sudah pernah melahirkan anak, duduk bersila sambil minum kopi luwak, teh manis, dan mengemil lemper kacang, lepat pisang, lulun gula merah, lempok, dan kue lapis. Lalu menyimak takjim obrolan seru Paman Rambai tentang pesona dan alaminya hutan di Kaltim, macam-macam Suku Dayak, sejarah Kerajaan Kutai, Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura, Kesultanan Pasir, dan Kesultanan Bulungan. Karena terpisah ruang, walau takjauh, tapi aku kurang konsentrasi mendengarnya sehingga kisah apik rakyat Kaltim pada zaman VOC Belanda terlewatkan.
“Dulu... kami tidak punya jalanan besar,” kisah Paman Rambai, “tapi bisa kalian melihatnya sekarang, jalanan ke balai kecamatan dan ke jalan raya sudah bagus. Ya, itu lebih bagus, walaupun yang banyak dan sering memakainya ya sopir-sopir truk pengangkut besi mentah, batu bara, sama buah kelapa sawit!”
“Tidak salahkah kami pemilik daerah ini menikmatinya?” timpal Awang, anak bungsu Paman Rambai yang taktamat SMA. “Tanpa mereka, mungkin baru ... entahlah, tahun berapa kami memiliki jalanan bagus, dan mendapat pekerjaan dengan gaji bulanan? Kalian tahu sendiri dengan profesi warga di kampung sini!”
“Di sini, suka ada bencana alam tidak, Pak?” tanya Aday yang memang hobi begadang semalam suntuk, mengobrol ngalor-ngidul dengan orang yang lebih tua. Traumanya atas kejadian kemarin malam sepertinya mulai ia lupakan. “Gempa, banjir, atau yang lainnya?” lanjutnya mengorek apa yang ia dengar.
“Oh, kalau di sini, bencana alamnya longsor, biasanya di daerah lembahan perkebunan sawit, banjir juga pernah di sini kalau hujannya besar… tapi yang paling parah itu kebakaran hutan. Kalau sudah ada hutan yang terbakar, jangan heran nantinya banyak hewan hutan masuk ke kampung-kampung. Cari makan mereka!” Mulawarman yang menjawab. Pria bersih dan cukup cerdas yang berani menikah muda, tapi gagal masuk universitas, karena pengaruh biaya dan jarak untuk bisa bertahan belajar di Samarinda, Balikpapan, atau malah di Pulau Jawa. Menurut ceritanya, istrinya menjadi TKW di Brunei, sudah dua tahun. Karena itu, putra semata wayang mereka diasuh oleh keluarga baik hati ini. Mulawarman yatim piatu sejak SD, dan hingga menikahnya ia tinggal bersama pamannya.
“Semua kehendak Tuhan setiap bencana itu!” sahut Paman Rambai senang menyambung kalimat keponakannya. “Jadi, tidak bolehlah kita ini menyalahkan orang lain, apalagi yang sudah berbuat baik kepada kita. Mungkin kita lupa diri, kurang bersyukur dengan Allah Swt., bencana setiap saat bisa datang untuk kita.”
“Untungnya di sini, tidak ada macet seperti di Jakarta!” canda si cerdas Mulawarwan yang malang, yang nilai rapornya selalu ranking 1 dan juara umum di sekolahnya. “Jadi kalian bekerja saja di sini, bumi Allah masih luas di sini!”
“Haha, saya bisa dimandau istri saya, dikira main serong di Kalimantan!” Aku tertawa sendiri mendengar kepolosan Edison. Begitu juga dengan yang lain, yang merasa terhibur oleh guyonannya. “Tapi saya sangat menyesal, Pak, buru-buru nikah. Gadis Kalimantan ‘kan cantik-cantik, alami, susah nemu di Ibu Kota!”
“Hahahaaa!” Sialan. Edison berbakat melawak juga. Dasar lelaki lugu!