Ramadan Terakhir Ludwig: Ibu Teladan, Ayah Petualang, Anak Istimewa

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #20

Ada Pertemuan, Mustahil Tiada Perpisahan

TIDAK BERANI aku menatap wajah Aldam. Kebencianku seolah menemui ajalnya. Dendam yang menjajah sisi kewanitaanku pun sudah harakiri sejak subuh tadi. Sementara deru kendaraan pengangkut hasil perkebunan penduduk setempat, yang pagi ini semangat mengangkut manusia Ibu Kota, terdengar bising dan menambah polusi sekitar. Oksigen yang kami hirup pun sepertinya tercampur debu jalanan. Semua penumpang tampak mengelap-elap udara seperti seorang pembantu malas mengelap kaca jendela yang diberaki sekawanan burung gereja. Melindungi jalur distribusi udara, demi kelancaran pernapasan dan kejernihan pikiran. Tapi tidak bagi si imam salat subuh tadi dan Mulawarman. Keduanya telah mempersiapkan bandana yang biasa mengikat kepala atau menguncir rambut mereka menjadi masker penutup hidung dan mulut. Juga beberapa orang yang ikut bersama kami yang malah menahan kepulan debu yang menghampiri wajah mereka dengan sikap melawan. Mengusir kasar debu-debu merah kecokelatan itu. Betapa heroik.

Kami tengah dalam perjalanan menuju Taman Nasional Kayan Mentarang. Melanjutkan liputan yang tertunda dua hari. Setelah itu, kami akan sampai di Pantai Batu Lamampu, sore nanti, dan bermalam di daerah pantai itu. Melihat pemandangan laut dari balik jendela kamar. Mulawarman mem-booking-nya. Ada sahabat semasa sekolah yang bekerja sebagai front office penginapan di sana.

Oh, ya, keponakan kesayangan dan kebanggaan Paman Rambai ini resmi menjadi guide kami hingga besok pagi. Aku tebak pasti ini skenario Aldam yang malam begitu pendiam dan jarang mengobrol seperti kebiasaannya yang paten kukenal. Ada apa pula dengan Aday dan Maksi yang belakangan ini dapat begitu akrab bersama si Lambadranaya? Stres, panik, trauma, ketakutan yang berlebihan mereka pun telah mereka berangus. Mungkin mereka akan menjawab lupa jika kutanya kejadian terakhir pencarian Ludwig, malam lusa, yang menegangkan itu. Aldam bagai guru privat dan spiritual saja bagi mereka. Entah motivasi apa yang disirepkan pada dua anak muda yang belum banyak makan asam garam dunia kehidupan, di luar dunia kampus? Aku ingin segera mengakhiri permainan ini. Pertempuran yang tidak jelas aku berperan sebagai apa, dan ada di pihak mana: prontagonis atau antagonis. Hanya Fiona yang terasa banyak perubahan sikap dan pembawaan semenjak dekat dengan si mantan guide kami itu. Pagi tadi saja, ia yang menyediakan sarapan untuk kami, di ruang kumpul keluarga, setelah senang sebelumnya membantu perempuan dewasa di rumah Paman Rambai memasak di dapur. Pansoh, masakan daging di dalam bambu khas masyarakat Dayak, dan bubur pedas, serta teh hangat yang dimanisi gula aren, menu dari keluarga baik itu untuk kami. Cemilan sisa obrolan semalam pun dapat kunikmati pagi tadi.

AlhamduliLlah, berani kubersyukur juga, setelah diyakini Edison dan Alek bahwa anakku telah diselamatkan seseorang. Dan tengah menantiku di Kayan Mentarang. Rindu dan ingin segera kupeluk, kata mereka. Perjalanan begitu jauh, belum tenang juga meski memasuki area jalan raya. Jalan pintas sebenarnya yang kami lalui. Alasannya karena kami mencari aman setelah kemarin malam heroik menghindari konflik dengan para pembawa senjata api yang meneror dua calon bawahan di rumah keduaku. Ceritanya, setelah merapikan tenda dan nyala api unggun dipadamkan, kami bergerak cepat ke arah berlawanan dari kemungkinan munculnya para penjahat itu. Aldam yang memimpin. Setelah ia menemukan lapak yang luas dan katanya dekat sungai yang sering dilalui perahu warga sekitar yang mencari kayu bakar atau memang berbisnis jasa angkutan. Kami istirahat seadanya di sana. Jam 3 pagi. Kutahu, hanya Aldamlah yang tidak tidur. Begitu bangun sudah ada Pak Mukalis, si pemilik perahu, yang mengantarkan kami ke rumah Paman Rambai. Orang tua si Lambadranaya itu, yang diabadikan Alek menjadi narasumber untuk laporan utama. Sementara, kehidupan masyarakat di barikat desa sana diprofilkan Aday beserta hasil alam dan makanan khasnya.

 Benar. Setelah hampir setengah hari aku menaiki angkutan setengah colt buntung setengah truk, perasaanku mulai terasa setengah plong. Semenjak hidup sehariku diteduhkan suasana keluarga Paman Rambai aku takpernah lagi protes atau mengasari seseorang. Dengan siasat siapa yang bertanggung jawab anakku hilang. Sampai juga. Taman Nasional Kayan Mentarang. Mulawarman mengajak kami singgah di warung mie tiau, khas Pontianak, di sekitaran pintu masuk tempat wisata. Dan yang pertama ingin kusantap adalah es jeruk atau es campur.

“Oom Aldam…” suara teriakan dari dalam kedai milik Tionghoa tua ini.

Lihat selengkapnya