Di hari keberangkatan ke Kaltim
ISHAC DAN AKU sudah mantap di ruang makan rumah keduaku, di lantai dasar paling belakang. Tempatnya amat asyik, adem, dan takseperti sedang berada di kota yang panas dan padat. Jawabannya, selain rumah keduaku bukan terletak di gedung bertingkat, atau area perkantoran—namun sebuah kawasan bisnis dengan konsep perumahan, ruko meneduhkan jalan raya, dan taman kota—, juga karena ketiga sudut ruangan santai itu menghadap pada sebuah taman, sementara satu sudut sisanya menyambung dengan ruangan utama. Nasi goreng kuning buatan Fiona yang asli Kota Wali, Kuningan, begitu istimewa dipersembahkan pada si bos, juga air jeruk hangat buatanku menjadi menu sarapan di pagi yang cerah untuk Ishac. Sementara aku, di hari keberangkatanku tugas ke Kaltim, itu cukup menikmati ketoprak yang dibeli dari tukangnya yang lewat, dan air jeruk hangat buatanku sendiri. Sementara itu, Albe, Roanna, Karim, Fiona, dan buah hatiku, Ludwig, di bawah kekuasaan Alek—si pentraktir—sarapan di warung nasi uduk di seberang ujung jalan. Sambil menunggu waktu berangkat menuju bandara. Dan pagi itu, Edison takterlihat sarapan atau tidak. Sahabat sehatiku itu, menghilang, dan ketika tiba di Balikpapan pun ia terlihat seperti orang yang tengah pusing dililit utang. Aku takberpikir macam-macam padanya. Sudah begitu naturalnya.
“Sepulang dari Kaltim, aku akan kasih kejutan untuk kalian,” ucap Ishac.
Aku tidak langsung merespons. Mencoba menguasai keadaan dulu. Ishac tiba-tiba mengajakku ke ruang makan untuk menemaninya sarapan, dan ada satu hal yang ingin ia utarakan empat mata denganku. Biasanya, sudah jadi tradisi, kalau Ishac ada hubungannya denganku seputar pekerjaan atau pengembangan bisnis, Edison selalu dilibatkan. Begitu pun ketika pengangkatanku sebagai chief photographer, yang sebelumnya dijabat serabutan oleh Edison yang kini menjadi business developer menggantikan Ishac, Edison selalu dimunculkan. Setelah aku bilang bersedia, lalu aku dipromosikan mereka di muka umum, sebagai hasil rapat dan pertimbangan tepat dewan direksi. Heranlah aku. Mengapa hanya aku berdua dengan ia, si lelaki yang kuidolakan kepribadian dan prinsip hidupnya. Suami masa depan. Dan, Tuhan, telah menjadikan Moza sebagai suamiku yang memiliki satu karakter, tabiat, dan gaya hidup yang sama. Tapi, apalah artinya semua itu jika belum sempat kumengeruk kebahagiaan bersamanya, Moza tega menjauhiku. Iri hati, mungkin itu ironi yang akurat dalam perasaanku melihat keharmonisan hidup, Siera Oktaviani, dampingi setia dan patuh suami nasraninya, Ishac Patruni.
“Kejutan?” akhirnya kujawab juga ungkapannya. Antara penasaran dan senang bukanmain. Semua orang, terlebih wanita, pasti senang diberikan kejutan. Apalagi itu kejutan yang membahagiakan hati berlipat ganda; kejutan yang setiap hari diidamkan tiba-tiba dipersembahkan dengan nilai yang lebih; di hari yang spesial; oleh orang yang istimewa; dan, ah, sulit diungkapkan dengan kata-kata.
“Kamu, tuntaskan saja dulu amanah di Borneo, barulah Abang ceritakan!”
“Nggak mau! Ah, benci deh dibuat penasaran!”
“Kirey nggak bakal menyesal nanti mendengarnya.”