Ramadan Terakhir Ludwig: Ibu Teladan, Ayah Petualang, Anak Istimewa

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #22

MOZAAA....

JIKA AKU seorang presiden akan kuperintahkan seluruh rakyat di negeri ini untuk segera memasang bendera merah putih setengah tiang. Untuk kurun waktu yang tidak ditentukan. Bendera baru bisa disimpan jika air mataku sudah habis atau tangisanku berganti menjadi senyuman yang menyemangatkan jiwa dan pun menyehatkan organ. Ujian apalagi untukku? Aku ini tidak berbakat menjadi orang bahagia, wanita yang dicintai dan disayangi, atau memang Tuhan sendiri senang melihatku menderita. Bakatku yang kutakminati ini, kehilangan sosok laki-laki terbaik yang setia melindungi dan menginspirasi, sudah menjadi jaminan nasibku. Aku ini perempuan, makhluk yang lemah. Mengapa terus seolah tidak berhenti diruntut peristiwa-peristiwa yang membuat hidupku semakin kelam, takberwarna, miskin gairah, dan jauh dari kuadran kebahagiaan yang dimiliki wanita di sekitar duniaku? Oh, Tuhan, semakin tersiksa batinku, perasaanku, juga masa depanku. Bagaimana rasanya mati bunuh diri? Atau kuhancurkan saja hidupku sekalian?

Moza! Mengapa engkau tinggalkan aku. Aku sendirian sekarang. Belum tuntas aku meminta maaf padamu. Takhanya ingin minta maaf, mungkin ampun padamu, aku gagal menjadi seorang ibu. Ludwig takmau aku menjadi ibunya. Aku bingung harus berbuat apa agar ia bisa betah denganku. Sebagaimana ia dekat dengan istri Ishac, istri Edison, istri pertama Alek, istri kedua Alek, istri David, bahkan dengan Fiona yang anak baru itu. Apa kekuranganku? Katakan!

Kucubit lenganku. Bukannya aku terbangun dari mimpi burukku. Tapi malah sakit yang kurasakan di daging lenganku. Kutampar pipiku. Sama sekali aku tidak sedang bermimpi. Aku benar-benar tengah menghadapi kenyataan. Sambil mengelus-elus kedua pipiku yang semenit lalu baru saja kutampar habis-habisan. Puaskah ibuku, bibiku, dan sebagian kerabat yang masih menolak halus pernikahan suciku dengan Danish Donaukanal. Aku yakin mereka demikian. Juga pasti hari ini. Melihatku penuh penderitaan inmateri. Batin dan sosial. Atau ketika kabar kematian suamiku bersama Ishac dengan nama baru—nama hijrah—mereka diberitakan di TV yang digembar-gemborkan oleh anggota keluargaku. Dengan segera mereka pasti langsung syukuran. Jika aku ada di sana, akan kuobrak-abrik seorang diri pesta besar mereka. Aku tidak takut dipenjara atau masuk neraka. Kalau memang sudah nasibku, apalagi?! Memang aku takperlu hidup di dunia ini!

Hampir lima kali aku pingsan selama perjalanan kami dari kawasan wisata Nunukan, lalu Balikpapan, hingga kuberada takberdaya di pembaringan di rumah minimalisku. Pingsanku yang lebih parah adalah ketika di pesawat. Bayangkan saja, aku melepas seat belt-ku di tengah posisi duduk Fiona dan Alek, lalu ingin membuka pintu darurat pesawat. Pikirku, aku bisa segera menyusul kematian suamiku dan bosku. Setelah ditenangkan Alek, Fiona, Aldam, dan dua pramugari penerbangan, aku mengamuk kembali. Tiba-tiba ingin membuka pintu di mana pilot berkonsentrasi mengudarakan Boeing ke Jakarta. Rencanaku jika berhasil itu mengambil kendali pesawat dan menjatuhkan besi terbang itu ke laut, atau lebih gila lagi menubrukkannya ke tebing gunung. Ketawalah aku, puas, menewaskan semua penumpang. Bila perlu seluruh kapal udara di Cengkareng aku bakar habis.

Dengan air mineral, mitraku Alek dengan lembut dan penuh kasih sayang, tangan bersarung karetnya mengusap wajahku dan kedua lenganku yang diiringi doa, dan sesudah itu aku takingat lagi. Sadar-sadar sudah berada di Blue Bird, duduk lemas di antara Fiona dan Roanna. Alek di sebelah sopir. HP-nya takpernah mati. Aktif terus menerima panggilan dan menghubungi orang-orang untuk ia aturi segala sesuatunya. Entah untuk apa. Tapi, aku tidak melihat sama sekali Edison, Aldam, Ludwig, Aday, Maksi, Karim, Albe, Mulawarman, dan Rosita beserta suaminya juga anak lelaki seusia Ludwignya—ketiganya disebut-sebut sebagai penyelamat Ludwig ketika tersesat di hutan. Selama dua malam Ludwig menghilang itu kudengar anakku tinggal di rumah mereka. Takjauh dari Taman Nasional Kayan Mentarang. Saat itu, dua nama kupanggil, “Di mana… Ludwig… di mana Moza… Bilang mereka aku sudah pulang, tolong segera sampaikan!”

Alek… menoleh padaku, menghentikan obrolan penuh kepanikannya di telepon… tapi, lalu aku takingat apa-apa lagi. Sadar-sadar aku terbaring di kamar tidurku. Pintunya tertutup. Mataku belum jelas menyaksikan orang-orang yang tengah melingkariku. Hampir sepuluh menit aku kerja keras mengenali orang-orang yang ada di sekitarku. Lampu kamar diterangkan karena hari sudah gelap. Telah larut malam. Dan, barulah dapat kulihat beberapa orang perempuan tengah menatapku. Ada yang menyeka air mataku; membasuh air mata di pipinya sendiri; tersenyum manis padaku; melihatku penuh keharuan dan kepanikan; dan terakhir yang kulihat adalah perempuan paling tua di sana, sedang duduk bersila sambil mendekap Ludwig yang tengah terlelap. Kulihat juga bening air mata membasahi pipi tuanya. Di sebelahnya, seseorang wanita yang cukup berumur begitu khusyuk membaca surat Yasin pada buku kecil Yasin-nya. Kesedihan pun menjiwai dan menyedot energinya menyuarakan sendu kalimat-kalimat indah penyeru keimanan dan ketakwaan itu. Aku terbawa hanyut oleh keikhlasan tartil senandungnya yang penuh permohonan. Kutatap mereka satu per satu. Takkuasa aku menangis sejadi-jadinya, jika kusadari, itu sanggup mengganggu tetangga. Kulihat jam dinding di kamarku, waktu telah lewat jam 12 malam. Bukan sekadar sedih aku menangis.

Sungguh berdosa hidupku. Begitu jahat kepada ibuku yang tengah adem menyamankan tidur Ludwig dalam pangkuannya. Lalu bibiku, si perawan tua itu, yang tanpa lelah membaca surat Yasin, al-Isra, al-Mulk, dan juga at-Taubah di kamarku—mungkin itu pertama kalinya mereka memasukinya. Terlebih kepada almarhum suamiku yang tanpa sepengetahuanku ia telah lama berdamai dengan ibuku, bibiku, dan keluargaku karena keseriusannya ingin mewujudkan cita-cita mendiang ayahku yang taktercapai oleh anak-anaknya. Juga Ludwig yang selama ini kurang kuperhatikan, malah anak baru 7 tahun itu yang kumintai sebaliknya. Sedangkan diriku sendiri, terlalu lupa mengajarinya ibadah, akidah, akhlak, doa sehari-hari, pengembangan potensi, liburan, atau silaturahmi dengan sanak famili.

Di ranjangku, ada Mbak Anggraeni—istri kedua Alek, istri pertamanya mungkin Alek suruh takziah ke rumah duka Ishac, menghibur Mbak Siera dan putra-putrinya yang ditinggal mendadak oleh sang ayah luar biasa—; Fiona dan Roanna yang pakaian mereka masih sama dengan yang terakhir kulihat di taxi, juga saat makan bersama di warung mie tiau Taman Nasional Kayan Mentarang; juga Mbak Tenilan—istri kakak pertamaku, Mas Gunturo—ia ikut rombongan dari Semarang bersama ibuku dan seisi rumahnya, yang katanya, baru sampai jam sepuluhan malam tadi dengan naik pesawat, dan anggota keluarga yang lainnya baru bisa besok tiba di rumahku dengan menyewa dua buah mobil travel—; dan Ibu Retnopuri, istri Pak RT di hunian baruku, cukup dekat denganku, tapi karena aku lebih asyik bekerja atau bertugas, kehidupan bertetangga kami jadi sedikit merenggang. Tapi rupanya ia cukup perhatian pada semua warganya di kompleks perumahan. Aku sempat terharu atas kehadirannya. Yang lebih terharu lagi, siapa orang baik yang begitu brilian mengumpulkan semua perempuan ini di kamarku?

**

Setelah kuingat-ingat lagi, pingsanku yang pertama adalah ketika Edison di bawah kendali Aldam dan Alek yang menenangkannya, mengucapkan satu kalimat yang membuat jantungku hampir coplok. Kalimat lirihnya seperti sniper yang berhasil membunuhku dengan sekali tembakan jitunya. Aku ini, selama ini kehilangannya, jejaknya, hidupnya, keceriaannya, kasihnya, semangatnya, inspirasinya, cintanya, perhatiannya, humornya, dan sumpah mati bukanmain aku merindukannya. Akan tetapi, takada hujan, badai, atau kilatan, orang yang paling kusayangi yang betapa kurela mengorbankan apa pun demi memilikinya: terkabarkan meninggalkanku secara tragis. Terdengar jelas di telingaku. Badanku meleleh seketika itu juga di tiang pintu masuk warung mie tiau, yang kami singgahi untuk menjemput anakku Ludwig, melihat pemandangan di halaman warung, Edison yang tengah diapit dua sahabat hebatnya. Bukan mimpi buruk. Aku mendengar tajam Edison berkata…

 “Apa maksudmu, Son, salah satu korban itu Ishac?!” emosi Alek setelah berhasil meraih Edison yang sulit mengendalikan diri. “Kamu dengar sendiri nama yang tercantum di sana ‘gak ada nama bos kita! Son, ada apa sebenarnya?!”

“Dan kalian harus tahu… teman yang dibawa Ishac di pesawat itu .…”

Alek dan Aldam pun fokus memperhatikan Edison yang seperti menahan sebuah ucapan. Air matanya menetes, membasahi wajahnya yang memerah. Ia yang begitu kokoh itu ternyata cengeng juga. Ada apa sebenarnya, Edison? Dan di belakang mereka, aku mulai menangis. Meski di hatiku takpercaya bosku sudah tiada, ikut dalam kecelakaan pesawat tersebut. Sementara Fiona sambil menjaga Ludwig—menyaksikan sendiri ibunya meninggalkannya ketika ia tengah disuapi mie tiau campur nasi hangat dan malah menangis memeluk tiang—juga terbawa larut dalam kesedihan massal. Mungkin ia yang akhirnya mudah percaya dengan ucapan Edison, akan nasib Ishac, juga.... Maksi dan Aday takberselera lagi makan. Mulawarman, Rosita beserta suami dan anak lelakinya, pemilik kedai dan para pekerjanya, dan pengunjung lain kebingungan, bertanya-tanya melihat aksi drama yang kami orang Jakarta mainkan. Edison dan aku sepasang pemain utamanya. Kami tidak sedang menampilkan drama, apalagi sinetron picisan. Tepatnya kami tengah menikmati pentas Tuhan. Menjalani babak yang teramat sulit diperankan.

Lihat selengkapnya