Ramadan Terakhir Ludwig: Ibu Teladan, Ayah Petualang, Anak Istimewa

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #23

Sebentar Lagi Hujan, Rey!

TANAH MERAH masih menjadi istana di alam barumu. Fase selanjutnya untuk iman dan takwamu membawa dirimu yang sesungguhnya menemui kekasih yang kaurindukan, kaupuja, puji, cintai, dan kepada-Nya-lah semua makhluk kembali. Tidak terkecuali aku, yang engkau tinggalkan seorang diri. Bertambah sepi saja dunia ini, meski mereka setiap hari menghiburku, membuatku ada, dan menjamin kehidupanku dipenuhi senyum, tawa, canda, juga kebahagiaan. Untuk apa semua itu jika di sini takada kamu? Semua pengorbanan ini untukmu, Moza. Schatzi, jika engkau dan Ishac bertemu ayahku di sana… Ah, mudah sekali mengenalinya. Posturnya mirip Ishac: tinggi, tegap, dan gesit. Kalau paras wajahnya ia seperti dirimu: berkumis dan berjanggut jarang dicukur, serta rambutnya keriwel pendek tapi berwarna hitam mengkilap. Oh, katakan padanya, “Aku kesepian di dunia!”

“Kirey, kamu nggak sendirian di dunia ini!”

“Edison!”

Terkaget perasaan sedihku di samping nisan suamiku. Baru seminggu ia berada di dalam lubang ini. Berbaring seorang diri di balik papan, menghadap kiblat, hanya berkainkan kafan, berteman gelap dan tanah kuburan, dan tertimbun rapi oleh tanah merah di ruang yang teramat gelap. Kesepian dalam kesunyian. Takada kesempatan waktu lagi, memperbaiki kesalahan di dunia, dan kekuatan diri diselamatkan dari dosa-dosa. Semoga amal baikmu jadi teman dan cahaya. 

“Sebentar lagi hujan, Rey!” tegur Edison mengingatkanku yang ia lihat seperti orang linglung meratapi makam suaminya. Hari ini adalah hari terakhir kami cuti pekerjaan. Setelah jenazah Moza dan Ishac dijemput keluarga duka. Atas saran dan wewenang K.H. Husein Hidayatullah bin Haji Amin Suprayitno, pimpinan Pondok Asy Syahid, Moza a.k.a Ustadz Salman al-Farisi dikebumikan di taman pemakaman keluarga pondok—takjauh dari kawasan pesantren. Semua kerabat dan petinggi pondok sepakat. Mulialah suamiku, akhirnya rombongan dari Halim Perdana Kusuma sesegera itu juga mengantarkan jenazahnya ke Semarang. Untuk kemudian disalatkan di masjid pondok dan dimakamkan tepat di sebelah liang lahat ayahku. Aku, Ibu, bibiku, Ludwig, Fiona, dan yang lainnya menyusul. Edison dan istrinya hadir di rumah ibuku di hari keempatku di kota kelahiranku, tiga hari kemarin mereka membantu keluarga Mbak Siera mengurus pemakaman Ishac di Manado. “Ayo, Rey, kasihan Ludwig sudah nungguin kamu di rumah!”

Kalimat ajakan Edison sungguh manis. Perasaan sedihku pun lebih bisa kukendalikan. Tidak semenggila tadi. Aku seorang diri menziarahi makam suami tercintaku. Sekalian juga makam ayahku. Maksudku, aku pamit kepada mereka berdua. Dua lelaki juara sepanjang masa yang pernah kumiliki, dan hingga kapan pun tetap memilikinya, meski hukumnya ada yang lebih berkuasa memilikinya. Aku pamit kepada mereka dan memberi kabar baik untuk mereka. Setelah makan siang nanti, aku dan Ludwig—anak emas dan cucu berlian mereka—akan kembali ke Jakarta memulai hidup kami yang lebih baru, sebagai ibu dan anak yang saling mencintai, dan pandai mendoakan keselamatan kedua orang tunya. Aku berjanji!

“Ayo Mas Edison, Mbak Sari, maaf aku kelamaan nih!”

Aku langsung bangkit. Kuberi sepasang suami-istri bahagia yang sengaja menjemputku ke makam itu senyuman penuh rasa terima kasih. Edison dan Sari yang kompak berbusana serbahitam membalasnya begitu apik. Penuh dukungan moril dan optimis persaudaraan. Aneh juga melihat bentuk kotak kepala Edison jika memakai kopiah khas M. Imingnya. Dan istrinya, bekas anak ibu kosnya, Sarinah Pratiwi, begitu serasi dengan selendang hitam yang dikerudungkannya.

Nduk, hati-hati, jaga dirimu dan kesehatanmu, juga anakmu!” amanah Ibu padaku ketika aku, Ludwig, dan Novita hendak pamit. Kembali lagi ke Jakarta. “Ingat, anakmu ini pintar. Apalagi mamahnya cantik, tapi lebih cantik lagi kalau pakaiannya itu seperti ibunya, bulik-nya, atau Yu Niroh. Ya, ndak Mas Ludwig?!”

Semua orang yang ada di sana menertawaiku. Pintar juga ibuku bercanda. Meski kutahu itu komedi Warkop, lawakan intelek untuk menyindir seseorang, agar ia lebih baik dan beramanah sesuai kodratnya. Novita, si gadis hitam manis, yang memiliki keunikan rambutnya dikelabang panjang menyerupai pendekar kung fu, itu masem-masem juga. Kami berdua belum berhijab. Biar begitu di KTP kami masih Islam dan salat lima waktu kami masih aktif. Ibu tahu, selama masa berkabung itu, memang kepalaku diturbani selendang hitamku, tapi menurutnya, aku belum sempurna karena jika aku bergerak rambut dan leherku sering terlihat.

Kawan, mengapa semenjak ayahku wafat aku kurang begitu dekat dengan Ibu, bahkan kadang aku bentrok pendapat dan apa pun. Alasannya, satu, Ibu ingin melanjutkan tanggung jawab ayahku meng-kaffah-kan seluruh anggota keluarga, termasuk juga mereka yang nafkahnya ditanggung, dalam beragama. Selain yang paling utamanya itu mendirikan salat, juga wajibnya menutup seluruh aurat.

Aku, yang hingga kini, meskipun semenjak mempunyai anak sudah mulai menyesuaikan, termasuk yang selalu diingatkan olehnya. Dan aku yang memiliki pemahaman, keyakinan, dan kesenangan sendiri, sering menganggapnya kuno, kolot, sok mengatur, dan tidak mengerti perkembangan zaman, dan apalah lagi. Yang jelas muaranya kenapa seruan kebaikan itu sering kulawan? Caranya. Ya, penyampaiannya. Ibu terlalu saklek, tanpa basa-basi, dan kadang ingin menang sendiri dalam komunikasinya, sehingga aku merasa ‘aku ini’ bukan anaknya saja. Lebih kejam lagi, ketika Bulik Tizah—bibiku yang cantik, pintar, tapi masih gadis itu—mulai ikut-ikutan memanas-manasi keadaan. Entah apa motivasinya?

Sebagai contoh. Sewaktu kuliah, aku suka mengajak teman-teman lelakiku ke rumah, ya sekadar membetahkan mereka yang rata-rata orang rantau, termasuk Edison, Grim, juga Muthu, untuk bertamu ke rumah warga lokal. Atau membuat acara bakar-bakaran ikan laut dan makan sego liwet secara komunal di belakang rumah. Ibu yang dikompori Bulik Tizah langsunglah bersikap ibu tiri padaku, pun tidak menunjukkan sikap bersahabat untuk mereka. Padahal di sana ada anak perempuannya juga. Mungkin hanya Asimun yang keduanya hargai, karena satu-satunya tamu yang pakaiannya ala anak mushola, paling santun, suka minta izin menumpang salat, dan yang salaman ketika datang atau pamitnya paling tulus.

Begitu juga sikap mereka dengan sesuatu yang menjadi kenyamananku, alih-alih mereka berperan komentator segala bisa: fashion, kesehatan, kuliner, dan ramalan masa depan. “Masa anaknya kiai celana kuliahnya pakai celana levis!”, “NDuk, jangan banyak begadang, ndak baik, kamu ini cah wadon!”, “NDuk pola makanmu itu yang tertib waktunya, bisa maag kayak ayahmu nanti… jangan banyak minum air kulkas… Cah Ayu kok hobimu minum kopi?”, “AlhamduliLlah Ibu lagi dapat rezeki banyak di toko, di kamarmu sudah Ibu taruh beberapa jilbab, kerudung, gamis, rok, sama kaus kaki… semoga kamu suka!”, “Ya, cah wadon itu coba belajar masak kalo liburan kuliah itu… masa mainin kodak saja seperti cah cilik saja!”, juga “NDukkk…, rambutmu kok dimerahi, apa kata tetangga, apa kata orang-orang Pondok, Pak Kiai?”, “Aduh, nDuk… kamu mau cari suami orang Barat? Dikuliahkan kok begitu akhlakmu!” hingga “Apa agama calon suamimu, nDuk?”, dan “Meski kamu hidup di Ibu Kota, tetap kudu ingat asal-usulmu, dan yang musti kamu ingat apa kewajibanmu sebagai seorang kaum perempuan!”

Kurasakan saat ini, apa yang dikomentari, disindirkan, ditegaskan, juga yang disikapkan Ibu padaku untuk mengingatkanku akan kewajibanku beserta tanggung jawabku adalah benar adanya. Tidak ada salahnya seorang ibunda yang berstatus single parent inginkan anak gadis satu-satunya menjadi pendoa yang baik. Berharap besar para putranya menjadi anak yang saleh-salehah, yang rajin mendoakan keselamatan orang tua mereka, sebagai pelengkap amalan ilmu yang bermanfaat dan amalan jariyah-nya selama hidup di dunia untuk bekal menuju kampung akhirat. Aku memaklumi komunikasinya ketika bertugas pengingat itu, semua salahku yang takmau berusaha mengenal diriku, asal-usulku, dan nikmat-nikmat yang selama ini kudapatkan setiap hari bagai seorang putri kerajaan.

Besar kuakui, aku adalah korban anak yang dimanja fasilitas, anak yang dibangga-banggakan orang tua karena butuh waktu lama untuk mendapatkannya, dan diimpi-impikan demi memiliki anak perempuan, juga anak yang begitu lahir telah memiliki segalanya—orang tua yang terpandang, usaha perniagaan mereka di mana-mana, rumahnya gedong, tempat sekolahnya kemudian selalu yang terbaik, dan takperlu repot-repot banting tulang bantu usaha ayah-ibunya. Tidak seperti kedua kakak lelakinya yang turut andil merasakan keprihatinan orang tua merintis usaha; perjuangan berat dan panjang mereka menghidupkan Asy Syahid; dan juga pernah menikmati tinggal di rumah kami pada masa lalu yang beratapkan seng, berdinding bilik bambu, berlantaikan tanah, beruangan sempit, dan jika hujan sering direpotkan oleh atap rumah yang bocor. Sedih jika kuingat itu semua.

Di hari kematian ayahkulah sebagai tonggak sejarahnya diriku memiliki sikap keras kepalaku, egoku, kadang juga hatiku. Pintu gerbang perangai beserta tabiatku jadi perempuan yang katanya cerdas itu bisa mandiri, memiliki cara dan gaya hidup sendiri, memegang prinsip yang kokoh, dan taksembarang orang yang berhak mengatur hidupnya, apalagi ikut campur dalam setiap urusan pribadinya. Hanya orang seperti Ayah yang bisa mendamaikan hatiku dan setiap kata-kata perintahnya segera kulakukan dengan loyal dan senang hati. Ia seseorang yang memosisikan anaknya adalah sahabat; menyuruhku sesuatu yang lagi ia kerjakan; selalu menciptakan suasana riang apa pun kondisinya; dan membebaskanku apa pun yang aku suka dalam pengawasan senyumnya. Atas jiwa yang kehilangan dan kekosongan figur ayah sepertinya waktu pertemukanku si setia kawan Edison Pandistani Sitepu, si karismatik Ishac Patruni, si seniman David Poernomo, si low-profile Aleksandri Sadu, si integritas Danish Donaukanal, dan si bijak Aldam Lambadranaya. Suasana akrab, waffle, dan open-minded hanya yang kusuka.  

Lihat selengkapnya