YA, ALLAH, sungguh benar apa yang diucapkan Aldam sewaktu kami berkemah di hutan Kalimantan bagian timur, di malam pertama menikmati nyala hangat api unggun. Sang guide misterius yang berjasa membuat api unggun dari kayu kering yang sejak sore dikumpulkan Alek, Aday, dan Maksi, dan nyalanya awet hingga Alek mengumandangkan azan subuh, itu berucap cukup filosofis di antara kami yang berjibaku dengan sekawan hawa dingin hutan trofis. “Kadang kalanya orang baru menyadari bahwa Tuhan mengabulkan setiap doa hamba-Nya itu ketika dia sedang menikmati apa yang selama ini diimpikan, dan barulah dia teringat atau malah mengingat-ingat kapan dan di mana dia berdoa. Ya, seperti sekarang ini, sewaktu kecil aku senang sekali menonton film kartun Tarzan. Saking senangnya, aku sering menuruti aksi Tarzan bergelantungan di akar pohon, karena di desaku ndak ada akar, ya ndak ada akar daun pisang raja yang kering pun jadi. Sewaktu kerja di Kalimantan ini, aku baru sadar bahwa ketika kecil itu aku pernah berdoa bagaimana caranya bisa tinggal di hutan seperti Tarzan, menjaga rimba.”
“Sekarang jadi Tarzan sungguhan kamu, Dam!” sahut Edison di sisinya.
“Doamu terkabul, Bro, menjaga hutan, benarlah sekarang sudah setahun kamu jadi Tarzan modern, melindungi kekayaan hutan ini dari tangan-tangan jahil yang belum paham syariat mengelola sumber daya alam titipan-Nya!” tebak Alek senang diskusi itu. “Juga berteman dengan ribuan flora dan fauna di dalamnya.”
“Karena itulah kenapa kita sering diseru untuk bersyukur setiap hari,” ujar Aldam melanjutkan pengajiannya. “Karena kita tidak tahu bahwa hari ini Tuhan sedang mengabulkan doa kita. Entah doa kita yang mana, kapan waktunya, dan di mana tempatnya, sejatinya Tuhan Maha Tahu lagi Maha Mengingat. Kadang kita, bahkan aku sendiri, ndak menyadari bahwa kesenangan dan kelapangan kita pada hari ini buah manis dari doa orang lain: bisa ibu atau bapak kita, teman kita, orang yang kita tolong ketika dia kecelakaan di jalan, orang yang kita sedekahi uang ketika dia sangat membutuhkannya, orang yang kita bantu amanah besarnya…”
“Benar, Dam, Tuhan itu betul-betul ajaib dalam setiap keputusannya,” kata Edison, sudah mulai memanas hobi begadang semalam suntuk di warung kopinya. “Aku pernah berdoa sewaktu baru lulus kuliah, ‘Ya Allah, sukseskan aku di jalan nafkah yang kupilih. Dan nikahkan aku dengan wanita yang mendukung profesi hidupku di tahun di mana aku sudah mapan sehingga tidak menyusahkan banyak pihak.’ Terkabul. Sampai sekarang mantap kerja di kantor Ishac. Punya satu istri nggak hanya mendukung, tapi juga siap setia mendampingi seandainya besok aku jatuh miskin pun. Aku nikah pas, pas sudah mapan, seukuranku. Niatnya 25 tahun dengan siapa saja, tergoda melihat teman-teman seangkatan sudah pada menikah, malah ada yang sudah beranak. Tapi hati belum mengizinkan, belum mapan. Lalu masuk umur 26, 27, sama saja, terus 28, Kirey menikah, tergoda juga, tapi urung lagi. Baru, pas di tahun ke-30, Honda Jazz sama Norton roda dua terparkir manis di garasi rumah sendiri di Pancoran, dan anak ibu kosku lulus S1-nya di UGM.”
“Haha, kesimpulannya, Tuhan itu mengabulkan keinginan, kebutuhan, dan kerja keras kita ‘satu paket’ tepat pada waktunya!” bijak Aldam, lalu tersenyum.
Kami semua membalas senyumnya. Kecuali Edison. Aku ikut tersenyum bukan karena aku kagum dengannya, tapi aku suka dengan kalimat-kalimatnya. Dan senyuman itu semata-mata aku bersyukur kepada Tuhan karena telah diberi ilmu yang jarang aku temukan dalam kehidupan sehari-hariku. Sedangkan Edison, seorang lelaki Medan yang perasa, merasa telah menyinggung hati Aldam karena ucapannya. Ia takut Aldam kurang nyaman dengan tuturan ceritanya yang jadi salah satu rekor kalimat terpanjangnya ketika mengobrol apa pun. Oleh karena itu, ia menahan senyumnya. Dan setelahnya, ia kembali terdiam. Perbincangan pun hanya dilanjutkan Aldam, Alek, dan Aday saja hingga berakhir. Jam 12 malam.
“Itulah, ya, alasan kenapa Allah Swt. itu amat murka dengan hamba-Nya yang kufur nikmat. Bisanya menyalahkan nasib-Nya atau mengkambinghitamkan orang lain yang menyebabkan kegagalannya. Padahal kalo menarik hikmah dari wacana ini bahwa setiap hari Tuhan mengabulkan setiap doa kita, yang dipilih dari kumpulan doa kita sesuai waktu, manfaatnya, dan usaha si pendoanya. Kalo kita setiap hari berdoa, usiaku sekarang 36, berapa ribu doa yang ada di telinga Allah dan semuanya harus dikabulkan-Nya. Tapi Allah Maha Mengingat, dan Dia pun mengabulkan semuanya sesuai ‘paket’ yang tadi disebutkan Bapak Aldam.”
Aku terpesona oleh penuturan Alek, menyimpulkan lemparan pewacanaan Aldam yang hingga sekarang masih kuingat, tapi belum 100% mengamalkannya. Perasaan sudah pintar, sensitif dengan orang yang mewacanakan kalimat cerdas itu, dan kosongnya pemahaman pentingnya menjadi sarjana syukur, adalah virus dan ranjau terhebat yang menghambatku, mengenali siapa diriku dan menyukuri nikmat setiap hariku. Usiaku 36 tahun sekarang. Jika yang diucapkan mereka itu benar, sudah berapa kali Tuhan mengabulkan doaku? Apakah hari ini aku sudah bersyukur? Apa yang harus kusyukuri? Sementara aku kini tengah duduk manis di kursi kerjaku, di dalam kamar yang serbabiru di rumah dua tingkatku, yang di depan meja kayu mahoni itu terlihat awan-awan yang bergumpalan di hamparan langit sore. Sejuk udara masuk melalui lubang jendelaku yang terbuka lebar. Di meja makan terhidang nasi beserta temannya: nasi beras rejo lele hadiah paklik-ku, plecing—lalap kangkung air dengan olahan sambal tomat beraroma limau, khas Lombok—yang cara masaknya kucuri dari ibunya Muthu ketika menginap di rumahnya di kaki Rinjani, soto bangkong ala Novita, dan kue lapis yang resepnya diam-diam kupelajari di dapur uniknya Paman Rambai. Hatiku pun lagi indah kini menanti Novita menjemput anakku yang belajar mengaji di TPA kompleks. Lalu, doaku yang mana yang Tuhan kabulkan hari ini? Adakah hari ini yang terkabul?
“Keyakinan!” tegas Aldam menyemarakkan diskusi saat itu. Di sisi kirinya Edison hanya jadi lampu taman. Buah kepintarannya cukup dimahasiswai Alek dan Aday yang jonjon menyimak. Jika diperhatikan penampilannya, Aldam agak kurang pas membahas persoalan rohani dan spiritual itu. Fiona dan Ludwig sudah tertidur di tendaku. Dan di dalam sana, masih kunikmati obrolan santai tapi serius mereka mengelilingi upi unggun. Di tenda sebelah, Maksi malah terlelap, tidak seperti Aday yang masih aktif jadi anak bawang di tengah diskusi orang dewasa. Dua tenda lainnya dibiarkan masih kosong, para penghuninya memiliki komitmen waktu tersendiri. “Karena itulah para ahli agama bilang, keyakinan, jadi salah satu pokok penting dikabulkannya suatu doa. Sebagaimana mempercayai angin yang tidak terlihat itu, tapi kita yakin dia ada. Begitu juga dengan iman kita.”
Sungguh benar apa yang diucapkannya. Takpeduli dari mana asal-usulnya, anak siapa, suka salat apa tidak, tapi ucapannya benar-benar menghati. “Kadang kalanya orang baru menyadari bahwa Tuhan mengabulkan setiap doa hamba-Nya itu ketika dia sedang menikmati apa yang selama ini diimpikan, dan barulah dia teringat atau malah mengingat-ingat kapan dan di mana dia berdoa.”
Seperti Edison, aku pun ingin berkisah kepada kalian seputar doa yang terkabul tapi kita takmenyadarinya. Ketika liputan utama tim yang dipimpin oleh David ke Pulau Komodo, setelah istirahat sehari di Bali kami sempat bersantai di Senggigi. Di hamparan pasir putihnya aku berdiri, sambil tersenyum, yang kedua mataku lihat adalah garis pantai yang panjang, dan lukisan lautan yang taktahu di mana ujungnya laksana permadani berwarna biru yang terbentang menuju istana bertabur intan berlian jauh di seberang sana. Dalam ketakjuban hati mengapa Dia menciptakan alam seindah ini, aku bergumam kepada Tuhan, “Ya, Allah, jikalau Engkau mengizinkan, hamba ingin ke sini lagi bersama orang yang teristimewa.” Terkabul. Sebulan setelah resepsi pernikahanku, seorang kurir datang mengetuk pintu rumah kontrakanku, sebuah hadiah dari bos luar biasaku, spesial untukku dan suamiku. Isinya, takhanya kibor Roland, kamera polaroid, salam ucapan, tapi dua tiket PP ke Lombok beserta freepass hotel selama bulan maduku di Senggigi.