Veltline Kaffeehaus, Wina
LUDWIG harus mengenal kakek-nenek dari ayahnya. Meski itu berat dan rumit. Tapilah sebagai ibu yang bertangung jawab aku berkewajiban memfasilitasinya. Memoar pencarian jati diri suamiku telah meluluhkan kerasnya hatiku. Apa pun kabar yang dituliskan diari itu tentang kedua orang tua Moza, selangkah pun aku takkan mundur dan mengurungkan niatku mengunjungi mereka. Mertuaku. Baik aku maupun Ludwig harus mengenali mereka, melihat wajah mereka, memberi salam mereka. Aku harap mereka pun harus tahu kami. Sebuah tali pernikahan mengikat kami dan orang-orang asing di negeri antah berantah sebagai satu keluarga. Ludwig pun menyadari ayahnya dan ayahku telah ke surga, dan ia harus memahami bahwa kakek dan neneknya yang lain masih ada. Mengakui atau tidak itu bukan persoalan. Diakui atau ditolak itu pun bukan tujuannya. Yang jadi tantanganku ialah aku takut suatu hari nanti, ketika melihat struktur keluarga teman-temannya, Ludwig mempertanyakan di mana orang-orang yang seharusnya ada dalam silsilah keluarganya. Betapa malangnya, di usia belianya itu, ia sudah banyak kehilangan figur orang tua. Akulah si single parent yang wajib memenuhi kekrisisan figurnya. Beruntunglah, Nak, engkau memiliki aku yang sekarang.
Veltline Kaffeehaus adalah kedai kopi dan keik di sepanjang jalanan kota Wina menuju Alte Donau yang pertama harus kutemukan. Karena jika aku telah berada di sana, misiku menginjakkan kaki di Kota Musik di Barat ini akan mudah ke depannya. Apalagi pada bab kedua diari almarhum suamiku dituliskan bahwa pemilik Veltline Kaffeehaus ini adalah sekelompok keluarga pemusik dan pecinta kopi yang teramat baik hati, bagai para pelayan bersayap selembut salju di surga.
Doa apalagi yang Tuhan kabulkan padaku hari ini? Aku, Ludwig, dan Novita menatap sebuah neon block yang jika malam tiba warna pada tulisan berbahasa mereka itu akan menyala begitu cantik. Kami bertiga celingak-celinguk di depan pintu masuk semacam ruko yang dindingnya lebih terlihat bermuatan kaca. Jika kita berdiri di samping kacanya maka terlihatlah dengan jelas siapa saja para penikmat kopi yang tengah menyantap hidangan di dalam sana.
Kota yang disebutkan Moza Yogyakartanya Austria, kota budaya, sedang menyukuri akhir musim semi. Para pengunjung yang bersantai di set-set meja-kursi stainless di halaman kedai kopi itu pun meramaikan kota sambil menikmati menu masing-masing. Keik aneka nama dan rasa, serta pelbagai pilihan kopi khas racikan warisan keluarga Justizpalast. Tapi bagi pelanggan yang ingin menyantap makanan berat, kedai pun terkenal dengan rindsuppe (sup sapi bening keemasan), dobostorte (cake karamel), apfelstrudel (kue tipis isi apel, kayu manis, kismis), dan si primadona wiener eiskaffee (moka es plus es krim vanila), pun memanjakan sajian cira rasa lokal seperti tafelspitz (daging sapi kaldu), beuschel (cincang paru dan hati sapi muda), selchfleisch (daging asap pangsit), roti selai liptauer (keju pedas), dan menu klasik yang diyakini berasal dari Milan wiener schnitzel (daging anak lembu tepung kering). Kuhapal itu semua setelah mengobrol dengan pemilik restoran ini. Dan demi misiku ini aku cuti 8 hari, sebelum bulan depannya umrah.
Penduduk kota di puncak karier Beethoven dan Mozart ini penggemar jalan-jalan, baik di jalanan utama, taman kota, maupun hutan wisata. Pelbagai tujuan obyek wisata dirancang serius pemerintah agar bisa menunjang kegemaran masif masyarakatnya. Oh, begini rupanya kehidupan di kampung halaman suami kebanggaanku. Pantas saja ia senang menjelajah, bertualang, dan menemukan tujuan-tujuan wisata menarik yang baru. Ia bosan dengan keindahan, kedamaian, ketertiban, kebahagiaan, dan kesenangan di kotanya yang cantik. Pada awal kami menikah, ia pun pernah memprofilkan kota para musikus legendarisnya. Orang-orang di kota Wina ini, ceritanya, sangat menghargai kehidupan yang tenang dan menyenangkan. Istilahnya gemütlichkeit. Hal itu bisa kita jumpai aktivitas mereka di setiap sudut kota, terlebih di kaffeehaus dan di heurigen (kedai anggur) untuk sekadar menikmati minum kopi atau anggur, keik, tart, palatschinken—sejenis crepes Perancis, yang diisi selai, krim vanila, kismis, gula, dsb.—, bercengkrama dengan orang-orang terkasih, hingga berbincang-bincang bersama mitra bisnis.
“Mah, palatciken!” Ludwig berucap padaku ketika mata jelinya melihat seorang pelayan kaffeehaus membawa sepiring palatschinken aneka rasa, roti selai liptauer, dan tiga gelas wiener eiskaffee di atas satu nampan hitam yang ia pegang dengan satu tangan. Meskipun nampan itu disangga oleh telapak tangan kanannya dan posisinya sejajar dengan telinganya, anakku yang cerdas ini tentu sudah hapal bahwa si pelayan bertubuh tinggi dan berambut panjang dikuncir kuda membawa salah satu makanan ringan kesukaannya. Ayahnya, jika banyak waktu di rumah, setelah berbulan-bulan ia berdakwah bersama kelompok pengajiannya ke masjid-masjid, sering membuatkannya. Aku pun sudah bisa. Hanya jarang ada waktu.
“Nanti, ya, kita cari tempat duduk dulu!” Novita yang menjawabnya. Ia tahu aku sedang canggung, juga kebingungan, bagaimana cara memulai menemui pemilik kaffeehaus ini, dan mengutarakan kunjunganku ke sana. Untunglah aku mempunyai pengasuh anak yang pintar, yang dapat menyenangkan anakku yang mungkin saja digonggongi rasa lapar—setelah hampir 3 jam bertanya sana-sini untuk bisa berdiri di depan pintu masuk Veltline Kaffeehaus. Dengan bakat guru PAUD dan pendongeng anak ia pun menyabarkan Ludwig untuk menunda waktu sekitar 15 menit dan kemudian menikmati hasratnya itu. “Iya, nanti boleh memilih rasa apa saja yang Mas Ludwig mau! Tapi, sebelum makan harus apa dulu ….”
“Cuci tangan, lalu berdoa!” jawab anakku menyemangatkanku agar segera menemui si pelayan pembawa sepiring palatschinken itu. “Dan… kalo ada teman di sebelah kita, apa yang harus kita lakukan?” lanjut Novita menceriakannya.