WIENER FESTWOCHEN atau Festival Wina jika Moza menyebutnya sewaktu ia menjelaskan keunikan dan keramaian apa saja yang ada di kota kelahirannya. Satu perayaan akbar itu hampir serupa dengan Jakarta Fair di Ibu Kota, Ubud Festival di Bali, Helar Fest di Bandung, atau Arts Festival di Yogyakarta. Kemarin pun, Franz menjelaskan keunikan dan keramaian tersebut, bahkan ia dan Neusie tiada capek mengajaki Ludwig, Novita, dan aku mengunjungi salah satu parhelatannya. Festival itu berlangsung dalam kurun satu minggu, dengan menampilkan pelbagai atraktif kesenian seperti balet, konser musik, dan teater. Perayaan meriah ini pun lebih dikenal sebagai musim karnaval. Kota Wina dipenuhi warna-warni semarak kebersamaan, saling menggembirakan, dan kebanggaan terhadap kota tercinta.
Beruntunglah aku yang hadir ke kota para pecinta gemütlichkeit ini, tepat bersamaan dipersembahkannya Wiener Festwochen, dan kuhadiahkan ketenangan dan kesenangan suasana Yogyakartanya Austria ini pada Ludwig dan Novita.
“Ketika Ayah masih ada, kami sekeluarga selalu menyaksikan penampilan Ayah memainkan biolanya bersama kelompok orkestranya di sini!” seru Franz di ballroom megah yang tengah mementaskan konser orkestra tribut, Hommage to Ludwig van Beethoven, malam ini. Aku, Ludwig, Novita, Neusie Justizpalast, dua putri kecilnya, dan Ny. Vassila Donaukanal—mertuaku—yang elegan berbusana ala tamu pesta pernikahan di hotel bintang lima ini mendengarnya penuh saksama.
“Dan, pada pertunjukan berikutnya, yang di mana Ayah berpakaian ala si genius Beethoven,” lanjut Franz di sebelah kiriku, seolah berbisik suaranya, tapi kalimatnya jelas kutangkap. Konser yang tengah kami saksikan bukanlah musik hingar-bingar, hura-hura, pemancing syahwat, atau pentas lip synch, yang sangat membutuhkan antusias penonton, karaoke massal, dan atraktif fans fanatik, tapi kami sedang disyahdukan iringan musik penentram jiwa dan penyegar kecerdasan yang amat rugi jika dinikmati dengan mulut berisik. Tapi Franz tidaklah sedang merusak kenikmatan para tamunya dikagumkan simfoni penghalus rasa di depan sana, ia hanya sedikit beromantisme pada kami tentang Moza, terlebih untuk aku dan ibu mertuaku yang duduk bermesraan mengapit kursi Ludwig. “… dan memainkan piano klasik secara solo nomor-nomor cantik Mozart, si genius Moza itu selalu berbisik, ‘Aku ingin seperti dia!’ Hingga bosan saya mendengarnya!”
“Miss you… Moza!” batinku yang kini berbisik. Jika di ballroom ini aku diperbolehkan berteriak seperti pada konser musik metal, secepatnya suaraku akan kulengkingkan hingga terdengar ke langit. Sekiranya Tuhan menyampaikan haus rinduku untuk Mehmet Salman al-Farisi di alam sana. Perhatianku tiba-tiba luluh pada malaikat kecil di sisi kananku yang penuh konsentrasi memelototi pianis yang tampil solo menjiwai simfoni indah ‘Moonlight’. Aku pun bergumam harap terhadap bintang kecilku ini. “Semoga cita-cita ayahmu yang belum ia wujudkan, dapat engkau lanjutkan dan wujudkan! Ibu akan setiap saat membantumu, Nak!”
Romantisme Franz takhanya dirasakan ironi olehku, tapi juga oleh sang ibunda Moza. Ketika kami berdua sama-sama telah memiliki waktu penuh untuk mencurahkan semua cinta, perhatian, pengertian, dan kasih sayang pada satu lelaki yang sama pula, yang selama ini ia kami sia-siakan, dan malangnya kami hanya cukup mengenangnya saja. Bagai menyiram tanah yang takditumbuhi lagi tanamannya. Jika ditimbang, penyesalan di akhir episode yang kami berdua alami, lebih menyedihkan yang dirasakan ibu mertuaku ini. Ia sama sekali belum kenal bercurah perasaan bahagia dan bertautan merangkai mimpi keluarga bersama anak tunggalnya, Danish atau Moza. Pantaslah ia seperti orang linglung di masa tuanya.
Menurut kisah Franz, bibi tunggal dari pihak ibunya itu mengalami sedikit gangguan psikis setelah ditinggal kematian suami keduanya yang jauh lebih tua darinya dan takmemberinya keturunan. Takada warisan untuknya dan hanya bon-bon utang yang suaminya tinggalkan, hingga akhirnya perusahaan anggur top di Austria itu bangkrut untuk menutupi semua tagihan. Apalagi keempat anak tirinya adalah para borjuis yang takbisa hidup susah. Nyonya Vassila pun bagai terbuang sendiri dari bekas rumah mewah mereka. ‘Tak memiliki siapa-siapa lagi. Perasaan berdosa karena telah mengkhianati pernikahan dengan suami pertamanya hingga harus bercerai ketika Moza baru lulus elementary school, menghantuinya. Dalam suasana hampa itu, ia memutuskan ingin kembali pada mantan suaminya yang berubah profesi dari pianis pengiring pertunjukan balet menjadi pemabuk tua.