Ramadan Terakhir Ludwig: Ibu Teladan, Ayah Petualang, Anak Istimewa

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #27

Cerita Lambadranaya dan Kisah di Balik Layar Rencana Mereka

Jakarta, tiga bulan setelah kepulangan Ishac dan Moza

“AKU NDAK habis pikir!” Aldam menatap lawan bicaranya penuh tanda tanya, kerancuan, juga salut bukanmain. Di-hah-kannya mulut berkumis dan berjanggut tipisnya. Keluarlah udaranya yang menandakan respons ucapan serius Edison. Dialog mereka berdua di Kantin Ibu Andin—tempat mangkal kru Potret Nasional mencari alternatif makan siang, sarapan, dan makan sore murah—inilah yang oleh Edison kisahkan kembali di kemudian hari padaku. Akhirnya, curhat juga ia.

“Jangan tertawa kamu, Dam, ini masalah serius!” seru Edison sensitif. Ia kurang suka dengan respons si Lambadranaya itu. Seolah berton-ton beban hidup sedang dipikulnya, menghadang jalan sempitnya, menghimpit posisi terjepitnya, dan lagi memaksa kelemahannya dengan cara kolonial. “Aku bingung, sungguh ini berat sekali bagiku, Dam. Bagaimana kalo kamu dalam posisiku sekarang?!”

“Ya, ambil. Namanya juga amanah, kalo itu nggak melanggar syariat, ya, itu rezekimu, Kawan!” tandas si bujang lapuk itu enteng. Seolah masalah Edison itu bukan beban, tapi amanah. “Sekali lagi itu bukan masalah, tapi karunia. Kamu ini orang baik, Bang, orang yang pandai dipercaya, bonusnya ya karuniamu ini.”

“Sudah, Aldam, kamu jangan membuatku bingung.”

Ey, siapa yang membuatmu bingung, ini solusi, kongkrit, Masbro.”

“Maksudmu aku disuruh menikahi dia?”

“Ya. Betul sekali. Tepat. Seratus.”

Cairan di tubuh Edison seolah mengalir semuanya ke hilir. Dan itu tidak mungkin kembali lagi sebagaimana air mancur, yang terus bersiklus di kolam air taman kota. Sahabat terbaikku itu dehidrasi. Peredaran darahnya pun kurang berjalan normal. Wajahnya nampak memelas. Kehabisan energi, pikiran positif, dan kebijaksanaannya yang selama ini pintar ia gunakan untuk memimpin tiga puluhan karyawan. Namun, di siang hari yang takbegitu terik ia malah keloyoan.

Sementara warna keceriaan justru didaulat oleh anak Paman Rambai yang baik hati di kampung lestarinya di Kaltim sana. Ya, Aldam begitu asyik memutar-mutar sedotan di dalam gelas tinggi yang berisikan cairan jus tomat segar campur krimer. Nasi Padang ikan patin karinya dan segelas air putih sudah ia habiskan 15 menit yang lalu. Begitu juga Edison, air putih dan nasi gado-gado Betawinya sudah ditampung lambungnya, namun, kali ini piringnya takselicin biasa jika ia makan apa pun. Ada penggoda lain di hati atau di kepalanya sehingga piring putih besar di depannya itu belepoten. Persis piring sisa makan sendirinya anak balita.

“Betul! Seratus! Asal uap saja kamu, Dam!” Tetap ia kurang puas. Serius ia berpkir juga. Apa mungkin salah teman curhat? Seharusnya Ustaz Alek yang pakem soal hukum yang begituan, tapi, selama ia kenal—di luar penglihatanku—Aldam ialah sosok yang bijak bestari, paham fikih, pandai hadits, dan taat ibadah.

“Negatif kamu apa sekarang, Kawan, sampai menganggap amanah dari Almarhum itu berat, membebani, dan sulit untuk kamu pelajari hikmahnya?!”

Edison terdiam. Mulai menyadari kalau ilmu Aldam lebih darinya. Teruji dan bisa diandalkan untuk menyelesaikan gelisah hatinya selepas mendapat satu amanah penting, yang sama sekali sulit ia tunaikan. Jikalah sejuta amanah yang sesuai dengan passion, keahlian, tanggung jawab, pengetahuan, dan pengalaman ia sebagai seorang profesional itu mudah saja dilakukan. Tapi soal yang satu itu.

“Coba jelaskan beratnya di mana? Sebagaimana beratnya?” Aldam bagai Profesor Hadisubroto, salah seorang guru besar di fakultas kami yang paten tercap penguji killer, saat menguji skripsi Edison yang penelitiannya di Cepu. Di sebuah lokasi kilang minyak di timur Pulau Jawa. Sang calon sarjana pun dibuatnya mati kutu. Menjawab sesuatu yang dari pertanyaannya saja sudah membingungkan. Masalah yang dihadapinya itu baginya menjadi rekor terberat sekali sepanjang 37 tahun ia diberi kehidupan oleh Allah. Edison malah melamun di depan Aldam.

“Ini masalah mental. Dan yang lebih utama ini pemahaman ilmunya. Kalo soal calon yang diamanahkan sendiri kamu ‘kan alhamduliLlah sudah luar dalam mengenalnya, cukup dekat malah… nah, jika mental dan ilmu sudah siap, barulah kita komunikasikan. Setiap amanah yang diberikan, pastilah ada bekal dan nilai kebaikannya. Allah nggak akan memberi amanah kepada orang yang salah.”

Lihat selengkapnya