Semarang, setahun setelah umrah ketigaku
AKU HAPUS air mataku dengan tanganku sendiri. Takada lagi kelembutan kulit yang pandai menyeka tetesan hangat atau yang bercucuran deras, bahkan kering, dari sepasang mataku. Lelaki kuat yang kumiliki sebagai pelindungku dari segala cuaca dan tantangan hidup telah memiliki sepasang mata yang lain. Entah siapa. Atau pun tidak. Semoga tidak. Semoga bukan juga menyeka air matanya sendiri. Dan, semoga di surga nanti, hanya akulah yang berhak menjadi bidadarinya.
Aku merindukanmu, duhai, Adamku. Aku mengharapkanmu, wahai, ‘Ali bin Abi Thalibku. Aku mengharapkan kamu kembali. Aku memaksa kamu di sini malam ini. Aku mau salat isya berjamaah denganmu. Aku inginkan lagi menjadi makmummu. Bukankah dirimu mendambakan setiap malam kita selalu begitu? Itu sebagaimana sepasang suami-istri yang lain. Ludwig pasti senang jika itu terjadi.
“Bu, maaf, sudah wudunya?” seseorang membangunkan lamunanku.
Aku melihat ke samping kananku, sekitar lima perempuan berbeda usia tengah menunggu giliran mengambil wudu. Bodohnya aku. Atau apalah untuk menyebut kelakuan yang baru saja aku lakukan. Tidaklah hingga 5 menit bersuci dengan air mengalir itu, sebelum mendirikan ibadah isyaku, namun aku malah menjadikan tempat wudu di mushola rumah sakit ini lokasiku memfrustrasikan diri. Biarpun keran air di sini lebih dari tiga buah, seyakinku wanita yang lebih tua sekali denganku ini pasti menegurku juga. Menghalangi jalan bagi pengambil air wudu yang lain. Si ibu tua masih memainkan senyum di wajahnya, tapi aku tidak tahu jika di hatinya. Jujur saja, kurang lebih 15 menit aku bengong dan bingung di tempat wudu akhwat ini. Semangat beribadahku pun berasa menurun sekali.
Khusyuk salat selama di Masjid Nabawi yang kurasakan seperti diimami langsung oleh Rasulullah atau salah seorang shahabat; tunduk salatku di Masjidil Haram yang begitu dekat seorang hamba bersujud menghadap kiblatnya; salat penuh energi di kota yang di mana Islamnya minoritas tapi kelapanganku untuk beribadah menjadi prioritas—selama di Wina yang sering kulakukan berjamaah bersama Ludwig, Novita, dan ketika di Veltline Koffeehaus ditambah dua pegawai Muslim di sana: Aidina Canan gadis imigran Bosnia dan Kahraman Osmanovic si pemuda pemalu dari Turki yang rutin jadi imam tapi segelintir makmumnya—; atau ketenteraman hatiku diimami imamku sendiri yang kuciumi tangannya seusai perjumpaan kami dengan Allah Swt. ditutup salam; entah semua itu meleburkan diri ke mana?! Aku tidak bisa menikmatinya lagi dalam salatku akhir-akhir ini.