Ramadan Terakhir Ludwig: Ibu Teladan, Ayah Petualang, Anak Istimewa

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #30

17 Ramadan

NDuk, istighfar, nDuk!!” Aku pingsan di pangkuan Ibu. Samar, sebelum aku kemudian sadarkan diri, pelukan tubuh tua Ibu masih kurasakan, berupaya terus menguatkanku, tenang dan ikhlas. Di dunia ini, manusia datang dan pergi hanya untuk beribadah kepada Gusti Allah. Kepiluan pun kuasai kamar pasien VIP ini.

Bulan Ramadan tahun kemarin telah lama terlewatkan. Dan baru ada lagi tahun ini. Dan hari ini, hari ke-17 jutaan umat Islam di seluruh dunia merayakan Nuzulul Quran. Meski ada beberapa golongan yang mungkin ketepatan harinya berbeda, tetapi bukanlah sebuah kesesatan menyembah selain Allah Swt., bahkan bukan Muslim KTP yang justru meninggalkannya, karena tho semuanya memiliki dasar, para ulamanya, dan penanggungjawabnya. Kawan, aku dan Ludwig pun tengah merayakannya. Juga merayakan hari ulang tahun Ludwig Mochammad Ramadan yang jika mengurut kalender Hijriah bertepatan malam ini, 17 Ramadan.

Hari di mana para malaikat menyebar turun ke bumi, mengunjungi orang-orang beriman yang asyik memperbanyak ibadah lagi mengingat Allah Swt., dan menjauhi rumah yang dihias patung-patungan, lambang-lambang berhala, dan sepinya dari ayat-ayat Alquran. Tapi kami berdua menikmatinya di rumah sakit. Hampir seminggu Ludwigku terbaring lemas berinfus di ruangan terbaik di sini. Komplikasi, penyakit yang divoniskan dr. Dian Sulivan, dokter spesialis penyakit dalam yang menangani anakku. Buruk kabar inilah yang membuatku pingsan.

Hampir dua tahun aku menjanda secara resmi. Kini, anak tunggalku yang yatim, yang serius kupersiapkan melanjutkan dan mewujudkan cita-cita tertunda ayahnya, menyuruh diriku semakin merana. Siap kehilangan dirinya, pada saat semua waktu hidupku akan diwakafkan untuk bersamanya. Bahkan kupensiunkan Novita, demi kesungguhanku itu. Ya Allah, mengapa secepat ini? Sungguh besar ujian bulan Ramadanku tahun ini. Aku tidak pernah meminta anak tunggalku ini meninggal hari ini, tapi kenapa Engkau kabulkan sesuatu yang tidak aku minta?

Nyawa anakku tidak dapat ditolong. Ini sudah waktunya. Untuk apa aku memiliki rumah bagus, tabungan yang lebih untuk mendukung prestasinya, punya karier mantap dan membanggakan, tetapi yang ingin kubahagiakan... Tidak ada. Apa aku ini harus menyewa helikopter dan lalu menebarkan semua uangku di atas pemukiman korban Lapindo, bencana alam, perkampungan gizi buruk, pangkalan pekerja seks komersil yang hina karena ekonomi, dan rumah-rumah pasien rumah sakit yang tidak mampu? Ludwig, ayo bangun, bukankah hari ini kamu les piano lagi?! Tapi, engkau kini terbaring di dalam tanah merah ini, di samping ayahmu.

Aku lihati tiga makam anak-beranak lintas generasi secara bergantian. Aku pasti bersebelahan juga bersama mereka, entah kapan. Apa arti hikmah dari semua kisah kehilanganku yang tidak berkesudahan ini? Dalam tangis seorang anak yang bukan anak-anak lagi, kubisiki ayahku, “Ayah, jika Hasna diberi kesempatan lagi untuk hidup yang sesuai dengan cita-cita Ayah, dan juga doa Ayah yang sering disampaikan kepada jamaah: Adinda Hasna akan melanjutkan amanah Ayah.”

Meskipun semangat di dadaku berkobar, tapi isak tangisku masih dirasuki perasaan menderita. Air mata semakin berlinang saja di pipi pucatku. Kugeserkan mata ini ke arah nisan atau kijing yang hampir serupa di sebelahnya. Selanjutnya, aku ingin berbisik juga kepadanya. Lalu kusapu lantai tanah dengan dengkulku agar badanku lebih dekat dengan pembaringannya. “Barchen, beruang kecilku, untuk kesekian kalinya aku memohon maaf padamu, menikah denganmu adalah petunjuk besar bagiku. Aku tahu sekarang, misimu yang sejatinya adalah pulang ke surga dengan jalan yang benar. Dan kausudah lebih dulu sampai di finish-nya!”

Lihat selengkapnya