FITRAH MANUSIA pada setiap orang itu bermacam-macam. Sesuai kodrat dan misi yang dikaruniakan Tuhan kepada masing-masingnya. Seseorang yang telah menemukan fitrahnya: kenapa saya ada di bumi, siapa yang menciptakan saya, dan untuk apa saya diciptakan ada? Ketika manusia telah mendapatkannya, tahu asal-muasal diturunkan ke dunia ini, maka mereka akan mencari ilmu dan alatnya agar misi hidup mereka dijadikan manusia kembali kepada Pencipta dengan nilai rapor yang bagus, selamat, dan berkah bagi semesta. Benarkah, orang-orang yang wafat di tempat terindah atau terfavorit itu disebut yang telah menemukan fitrah? Mereka pupus di medan jihad ketika mengemban misi di dunia masing-masing.
Onkel Leopold, pamannya Moza, wafat di hari ke-21-nya menjadi Muslim dan baru saja menghimpun komunitas pendaki Muslim yang sekarang dilanjutkan karibnya dari Turki. Ayahku, wafat sewaktu sujud terakhir salat Jumat di masjid pondok, yang sebelumnya menyampaikan kutbah tentang semangat umat Islam menunjukkan identitas keislaman mereka. Suamiku dan Ishac, wafat pada saat melakukan salah satu poin misi mereka: memudahkan akses ke timur Indonesia, menguatkan aktivitas dakwah di sana, dan merekrut anak-anak muda pintar Tanah Air bermental juara di mana pun. Dan, Ludwig, tempat terindahnya bukan di rumah sakit. Tetapi, ini yang membuatku iri, wafatnya menghadap kiblat dan air wudu masih menyucikan badannya. Pupusnya sesuai harapan setiap malamnya.
Semenjak akrab dengan anak-anak Alek dari ketiga bidadarinya, dan jika hari libur rajin menginap di rumah Alek—tergantung giliran di mana jatah Alek berteduh dari ketiga rumahnya—, Ludwig memiliki tradisi baru: wudu sebelum tidur dan posisi tidurnya menghadap kiblat. Ranjang di kamarnya pun ia rapikan sendiri untuk mendapat posisi tidur yang diinginkannya. Satu pelajaran berharga yang ia, juga aku, ambil dari amalan sunah keluarga bahagia Alek. Ketika dirawat di RS pun, ia meminta tolong pada perawat untuk menggeser tempat tidurnya, agar dirinya dapat terbaring menghadap kiblat, atau dibantu berwudu di kasur—ketika ia masih sadar, dan belum koma. Ia pun berseru ketika si suster dan dr. Sulivan bertanya, “Jika waktu tidur nanti Allah Swt. mengambil nyawa kita, in shaa Allah kita sudah siap menerimanya dalam keadaan berwudu dan menghadap kiblat.” Aku merinding mendengar kalimat itu, berdiri di samping Alek dan Teh Merima, dan sempat takpercaya bahwa anak 9 tahun yang mengucapkannya.
Rahasia Tuhan, siapa yang tahu? Hanya orang yang mau dan bersungguh-sungguh lebih dekat bersama-Nya-lah, kata Aldam, yang ditunjukkan rahasia-rahasia-Nya. Pantaslah, jika selama ini aku sering ditipu perasaan sendiri, merasai jalan hidup yang tiada pernah sesuai dengan harapan hati. Coba saja kalau aku ini sering mendapati petunjuk, pastilah banyak rahasia-Nya yang tergali untukku.
Sebagai referensi. Aldam Lambadranaya, yang telah berdamai denganku lahir batin. Misterius, itulah yang pertama kali kucapkan di keningnya. Sebetulnya sudah lama aku ingin tahu jati dirinya, penasaran akan ilmu agamanya, bahasa filsafatnya, dan apalagi ketika mengimami salat subuh di rumah Paman Rambai yang bacaannya lebih indah dari Alek ataupun suamiku sendiri. Dan barulah setelah batu kebekuan di dalam diriku kucairkan, aku bisa mengenalnya dengan baik. Dalam diam, di dalam hatiku, sedalamnya aku meminta maaf kepadanya. Dengan sikapnya yang tiada memiliki dendam untukku, apalagi selepas kepergian Moza dan Ishac, perhatiannya bertambah lebih bagiku. Kutemukan figur baruku.
“Kamu terlambat, Kirey,” tutur Edison, setelah kuasingkan ia ke tempat aman, pada momen lamaran Alek dan Mbak Siera, untuk meminta pendapatnya soal perasaan baruku. Juga keinginan hatiku menjawab doaku, menikah lagi.
“Terlambat piye, Bang?” tanyaku heran, juga takmau alasannya buruk.
“Aku minta maaf sebelumnya padamu.” Aku memelototi wajah tiada enak dan tidak teganya padaku. “Tapi, memang kamu harus tahu. Karena ini juga ada hubungannya sama keluargamu. Sekali lagi aku minta maaf. Pasti ini salahku.”
“Sebentar... apa maksudmu, Son? Sudah, sekarang ceritain saja!”
Kali ini, Edison yang berani menatap tajam wajahku. Dan berterus terang.
“Sepulang syukuran sunatan Ludwig... Aldam ngajak ngobrol, dan serius, Rey, di kafe biasa kamu dulu sama almarhum Moza sering ngopi.” Aku dibuat Edison seperti putri tanpa tiara. Atau bagai bunga mawar yang hidup di padang tandus dan takseorang pun yang tahu wanginya dan indah warnanya. Meskipun bisa kutebak akhir ceritanya itu tidak menguntungkan bagiku, tapi aku masih sangat penasaran kelanjutannya. Apalagi ada hubungannya dengan keluargaku. “Aldam bicara nggak seperti biasanya. Dia lembut sekali sikapnya. Dan posisikan aku yang lebih muda darinya itu jadi sosok yang terhormat baginya. Aldam telah menemukan sosok yang ia cari selama ini, Rey. Pendampingnya dan ibu bagi anak-anaknya. Awalnya, aku pikir seseorang itu kamu. Ternyata... bukan, Rey.”
“Lalu siapa?” tanyaku dalam hati. Kupikir, kala itu, cukup sampai di sana cerita Edison. Tidak usah dilanjutkan menyebut nama wanita yang dipilih Aldam.
“Sosok itu ... salah seorang dari keluargamu.”
Diam aku menghilang sejenak. Pergi ke dunia yang di mana penghuninya ‘tak seorang pun mengalami patah hati, sakit hati, kecewa, dan frustrasi.
“Dia bulik-mu, Bulik Syatizah.”
Entah apa yang harus kukatakan, kusyukuri, atau kurasakan mendengar kabar burung, buruk, atau baik itu. Kembali aku disuruh belajar lagi ikhlas. Dan pandai menentukan mana yang pantas jadi hak kita dan mana yang untuk orang lain. Satu sisi, aku bahagia, akhirnya bulik-ku bertemu jodohnya. Apa ini bagian dari doaku untuknya? Begitu pun doaku untuk Aldam yang sering kukatai si bujang lapuk. Tapi kenapa harus dengan Aldam? Itulah yang jadi satu sisi lainnya, aku belum bisa menerima untuk keputusan takdir aneh ini. Aku telah melupakan permusuhanku dengan ia, dan aku ingin hidup bersamanya sekarang, menikah dan membesarkan Ludwig yang lain. Tapi? Ah, belum tentu juga Bulik mau padanya.
“Mbak Anggraeni sama Sari sudah ngobrol sama bulik-mu, soal tawaran menikah dari Aldam.” Patah semua harapanku berumah tangga bersama pewaris salah satu pesantren besar di Jawa Timur ini. “Dan... Bulik setuju. Dia mau.”
Kami menjaga diam beberapa detik. Lalu, dipecahkan kelanjutan ucapan Edison. “Ini salah aku, Rey. Aku nggak tahu kalo kamu ngarepin dia. Mengingat umur dia, usia Bulik, aku bilang setuju saja waktu Aldam ada niat nikahin Bulik.”
Oke, Bro, memang ini rezeki mereka. Aku memang pantas hidup tidak memiliki pasangan. Tidak usah meminta maaf, Son, semuanya aku yang salah.
Kita tinggalkan ketidakberdayaan nasibku yang satu itu. Ada banyak orang yang begitu bahagia atas pernikahan Aldam dan Bulik. Pertama, mereka berdua sendiri, melepaskan penantian panjang yang melelahkan. Kedua, orang tua dan keluarga masing-masing. Dan terakhir, mereka yang mengenal, mencintai, dan menyayangi akan nasib keduanya sebagai orang-orang saleh-salehah tapi belum ada kesempatan menyempurnakan setengah agama. Sedangkan aku setengah tidak bahagia. Seminggu setelah pernikahan fenomenal keluarga kami, aku pamit ke Ibu, mengajak Ludwig dan Novita, kunjungan pada keluarga Moza di Austria. Dan akhir bulan depan kunjungan ke Baitullah, melaksanakan umrah ketigaku. Dan dua bulan kemudian, Alek melangsungkan pernikahan untuk ketiga kalinya.