Rambu-Rambu Masa Lalu

Lovaerina
Chapter #1

Bab 1 - Zona Teman

“Nomor yang Anda tuju sedang terjebak di masa lalu. Silakan hubungi saat hati ini sudah berlabuh ke cinta yang baru.” 

Gelak tawa dari seberang sambungan telepon menertawai Bulan yang menirukan suara penjawab otomatis dengan kalimat berisi candaan. Bulan sontak menjauhkan perangkat komunikasi dengan casing putih yang tampak sedikit lusuh itu dari telinga kirinya, lalu memilih menyalakan pengeras suara, dan meletakkan ponsel di meja. Jemarinya kembali sibuk menari di atas papan ketik, merampungkan pekerjaan yang masih perlu perhatian sebelum sore menjelang.

Tempat Bulan bekerja mengusung konsep yang lumayan menyenangkan dibandingkan kantor-kantor lain pada umumnya. Para karyawan dibekali komputer jinjing yang bisa dibawa ke mana saja. Jadi, mereka bebas mengerjakan pekerjaan di area kantor bagian mana pun. Mereka tidak harus terus berduaan dengan perangkat komputer dalam ruangan sempit bernama kubikel.

Cewek yang bedak tipisnya sudah tak tersisa lagi itu lebih sering menyendiri di balkon belakang lantai dua kantornya. Tempat terbaik menurut Bulan karena dia bisa mendengarkan lagu-lagu boyband favoritnya dari aplikasi pemutar musik, tanpa khawatir mengganggu rekan kerja yang lain. Meski K-Pop sedang digandrungi oleh banyak kalangan, sebagian besar rekan kerja Bulan menyukai grup berbeda darinya. Selain itu, dia tidak jenuh dan terbebani karena melihat tumpukan berkas pekerjaan di mejanya setiap saat. Daun-daun pepohonan yang bergoyang terbawa angin di pekarangan belakang kantornya menjadi pemandangan berbeda yang bisa dinikmati. 

“Kalau ketawa nggak usah pakai nada tinggi, Rama! Main vocalist boy group kesayangan gue bisa minder denger suara lo itu!” tegur Bulan kepada si penelepon.

Alih-alih menuruti teguran Bulan, cowok bernama Ramadzan yang meneleponnya justru kembali terbahak-bahak dari seberang sambungan. “Lagian lo ada-ada aja, Mbul.”

Ramadzan memiliki panggilan khusus untuk Bulan, yaitu “Mbul”. Singkat, padat, dan tidak jelas. Entah sejak kapan Ramadzan mulai memanggilnya demikian. Namun, sudah lama sekali Bulan terbiasa dengan sapaan cowok itu.

Move on dong, biar nggak terjebak masa lalu mulu,” imbuh Ramadzan. 

Bulan mengabaikan ujaran Ramadzan yang sedikit meledeknya. Dia sudah cukup kebal mendengar petuah beberapa orang di sekitarnya agar segera berpaling dari masa lalu dan membuka hati untuk cinta baru. Kenyataannya, bertindak tidak lebih mudah dari sekadar mengucapkan. Dia sudah jungkir balik move on dari sang mantan, tetapi belum juga menemukan sosok yang mampu mengisi kekosongan hati. Mungkin benar kata orang-orang, cinta bisa habis di orang lama, sampai-sampai tidak ada sisa untuk yang baru. 

“Ada perlu apa, Ram?” Bulan menanyakan tujuan Ramadzan meneleponnya.

“Lo tadi siang telepon gue, kan? Ada aap, Mbul? Emang niat telepon gue apa cuma iseng missed call?” Ramadzan balik bertanya. “Sori, nggak keangkat. Gue baru kelar meeting, nih,” imbuhnya menjelaskan alasan telepon dari Bulan yang terabaikan.

Bulan memang sempat menelepon Ramadzan saat jam makan siang tadi, tetapi tidak mendapat respons. Dia paham kalau temannya itu pasti sedang sibuk. Ramadzan tidak akan mengabaikan panggilan masuk dari Bulan ketika memiliki waktu senggang.

Alih-alih menjawab pertanyaan Ramadzan, Bulan justru balik bertanya, “Berarti lo belum makan siang, dong?”

Ekor mata cewek yang rambutnya dikucir satu itu melirik penunjuk waktu pada sudut kanan bawah layar monitor, sedangkan sepuluh jemarinya masih lincah mengetik huruf demi huruf. Sekarang sudah terlalu sore untuk menikmati makan siang.

“Inget mag lo, Rama. Jangan dibiasain skip makan kayak gitu. Kalau lo kenapa-kenapa gimana? Kantor mah bisa cari ganti pegawai baru, Ibu lo mau cari anak baru di mana?” Bulan menggerutu meski ucapannya sedikit melantur. 

“Gue udah makan, kok, Mbul. Tadi kebetulan meeting-nya di Star Duck. Warung bebek yang lagi viral itu, loh. Kerjaan kelar, perut pun kenyang. Dompet juga aman sentosa. Soalnya dibayarin sama Pak Bos.” Ramadzan mengakhiri ucapannya dengan kekehan renyah lagi.

Untung saja Bulan tidak sedang berada di dalam ruang kerja dengan banyak orang. Bisa-bisa semua karyawan kaget mendengar suara tawa Ramadzan yang cukup mengganggu itu. Tawa yang selama bertahun-tahun ini selalu menemani Bulan mengisi hari-harinya. 

“Gue tadi siang emang niat telepon lo, kok. Mau tanya sesuatu.” Bulan kembali ke topik pembicaraan mereka semula. 

“Mau tanya apa, Mbul?”

“Lo hari ini ada rencana lembur apa nggak?”

Ramadzan tidak langsung menyahut, sepertinya dia sedang memeriksa sisa berkas pekerjaan hari ini. Bulan menunggu jawaban Ramadzan dengan penuh kesabaran sambil menaruh harapan besar cowok itu memiliki waktu luang selepas jam kerja nanti. Dia butuh teman untuk melakukan sebuah misi. 

Lihat selengkapnya