Ramadzan sangat percaya bahwa dirinya memang tampan dari dalam kandungan. Paling tidak, ibunya selalu mengatakan itu setiap dia akan berangkat bekerja atau pada saat mereka sedang mengobrol berdua. Namun, seperti kata Bulan, Ramadzan memang sedikit malas merawat diri. Bagi cowok itu, keringat yang mengalir deras setelah mengais rezeki adalah pertanda bahwa dirinya cowok sejati.
“Guenya yang ogah nikah sama lo, Ram.” Bulan menanggapi kalimat Ramadzan dengan penolakan, lalu menjauh dari cowok itu setelah mengelap wajahnya.
“Selera lo ketinggian, Mbul! Ngeri kalau nabrak pesawat terus jatuh ke jurang.” Ramadzan malah balik mencibir, ujung telunjuk kanannya merapikan poni rambut sendiri yang sedikit berantakan akibat ulah Bulan.
“Suka-suka gue lah!” kilah Bulan sambil mengangkat kedua bahunya tidak acuh.
Setelah memastikan wajah Ramadzan bersih dari debu yang menempel, Bulan kembali mencari sesuatu di dalam tasnya.
“Lo nyari apaan lagi, Mbul? Nggak usah aneh-aneh, deh!” Ramadzan waspada, curiga Bulan akan bertindak lebih jauh dari sekadar membersihkan wajahnya. “Udah yuk, masuk aja,” ajaknya berusaha menyelamatkan diri.
“Bentar dulu! Nggak usah bawel!” elak Bulan.
Cewek itu menyeringai keji mendapati reaksi Ramadzan yang bertingkah sok melawan. Bukannya takut, Bulan malah ingin menjahili saat Ramadzan memelotot. Dia mengacungkan botol parfum yang dikeluarkan dari tas.
Ramadzan sontak berontak ketika Bulan mulai menyemprotkan parfum beraroma floral ke beberapa bagian tubuhnya. “Ngapain, sih, Mbul?” elaknya berusaha menghindar dari semprotan itu.
“Biar wangi, Rama! Siapa tau nanti mbak-mbak Steak 61 atau dedek gemes di Fun Gamez ada yang ngelirik lo,” ujar Bulan diakhiri senyuman meledek.
“Nggak pakai parfum cewek juga kali, Mbul! Yang ada nanti gue dikira cowok jadi-jadian,” gerutu Ramadzan melayangkan protes.
Bulan sama sekali tidak mengindahkan gerutuan Ramadzan itu. Dia semakin brutal menyemprotkan parfum. Setelah puas, dia baru menyimpan kembali botol parfum ke dalam tas, lantas menarik jaket bagian lengan Ramadzan dan menyeretnya memasuki kawasan mal seolah tidak terjadi apa-apa.
Ramadzan hanya bisa pasrah seperti yang sudah-sudah. Di hadapan Bulan, cowok itu akan selalu mengalah.
Dari pintu masuk mal di lantai dua, Bulan dan Ramadzan melewati toko yang menjual berbagai aksesori dan peralatan rumah tangga dengan model-model lucu. Buatan tangan, katanya.
“Ih, itu cakep, Ram!” seru Bulan saat melihat sebuah kalung yang menggantung di etalase dekat pintu.
Ramadzan cepat tanggap menepis gandengan tangan Bulan dari lengan jaketnya, dan beralih memegangi kedua bahu cewek itu agar tetap berjalan lurus ke depan. Dia bergegas mencegah langkah Bulan yang nyaris berbelok ke toko itu.
“Sekarang baru pertengahan bulan, Mbul. Gajian masih lama. Nggak boleh boros! Iggat, kita ke sini cuma buat makan steak promo!” tutur Ramadzan mengingatkan.
“Iya, tau! Nggak usah lebay gini juga kali, Ram! Kan aku cuma bilang cakep.” Giliran Bulan yang memberontak. Dia menepis kedua tangan Ramadzan dari bahunya.
Beberapa pengunjung mal yang lainnya melihat tingkah Bulan dan Ramadzan dengan tatapan aneh. Mereka berdua memang terlalu dewasa untuk bertingkah kekanak-kanakan. Anak-anak yang berkunjung ke sana pun tidak ada yang bertengkar seperti mereka itu.
Ramadzan berlekas menyeret Bulan dan baru melepaskannya setelah sampai di tempat yang mereka tuju. Seorang pramusaji warung makan Steak 61 menyambut kedatangan mereka dengan senyuman ramah dan sapaan khas, lalu memandu mereka ke sebuah meja kosong di dekat dinding yang terbuat dari kaca tebal.
“Menu spesial Valentine, Mbak. Satu aja, ya. Nggak usah banyak-banyak. Dagingnya well done, tolong banyakin saus barbekunya,” pesan Ramadzan cepat, lagaknya sudah menghafal semua menu di sana.
Bulan menepuk jidat pelan. Pramusaji itu bahkan belum sempat menawarkan buku menu dan menanyakan pesanan, tetapi sudah diberondong pesanan seperti itu. Ramadzan memang hobi sekali membuatnya malu.
“Baik, Kak. Menu Special Valentine-nya satu. Ada lagi tambahannya?” Pramusaji dengan sigap mencatat pesanan Ramadzan. Senyum ramahnya masih bertahan.
“Itu udah dapat minum apa belum, Mbak?” tanya Ramadzan lagi.
“Sudah termasuk dua gelas teh tawar panas, Kak. Kalau mau diganti minuman lain, bisa tambah lima ribu per gelas.” Pramusaji menimpali dengan telaten dan ramah.