Rambu-Rambu Masa Lalu

Lovaerina
Chapter #3

Bab 3 - Batas Maksimum Kebucinan

“Bulan, kamu mau sampai kapan diem-dieman sama Mama, sih?” Papa menghampiri anak gadis semata wayangnya yang sedang duduk menonton film kartun, tokoh utamanya seorang bocah SD berkacamata dan berteman akrab dengan robot kucing berwarna biru yang takut tikus.

Pria dengan potongan rambut belah pinggir disisir klimis itu adalah papa Bulan. Papa terlihat lebih berwibawa mengenakan setelan celana bahan berwarna hitam dipadu dengan kemeja batik bercorak cokelat lengan panjang. Usia Papa sudah lebih dari lima puluh tahun, tetapi wajahnya masih tampan tanpa garis-garis kerutan. Papa merawat diri dengan baik, katanya supaya Mama tidak berpindah ke lain hati. Memang bucin sekali. 

Mama sepertinya masih merias diri di kamar. Tadi malam Bulan dengar kalau Papa dan Mama berencana pergi ke kondangan di daerah Ciledug pagi ini. Rekan kerja Papa yang menggelar hajatan. Mama yang mengusulkan mereka berangkat kondangan sebelum tengah hari, supaya tidak kehabisan jatah prasmanan dan menunya masih lengkap. Menghindari panas matahari juga.

Bulan menjawab pertanyaan Papa dengan kedua bahu yang terangkat sekilas. Bibirnya tetap bungkam dan kedua mata fokus menyaksikan robot kucing itu mengeluarkan sebuah mesin waktu dari kantong ajaib berwarna putih yang ada di perutnya. Hubungan antara Bulan dengan Mama memang seperti air dan minyak sayur, sulit untuk disatukan. Mungkin karena weton kelahiran mereka yang sama.

Kalau menurut kepercayaan sebagian masyarakat Jawa, dua orang dengan weton yang sama meskipun berbeda hari lahir, biasanya memang jarang akur. Sama-sama keras kepala. Tidak ada yang mau mengalah. Belum lagi kalau dibahas dari sisi  

Biarpun Bulan lahir dan besar di Jakarta, dia keturunan timur tengah. Mama dari Jawa Timur dan Papa asli Jawa Tengah. Jadi, dia masih memiliki darah Jawa yang sangat kental. Hal-hal semacam itu kading masih saja dikaitkan dengan beberapa keadaan meskipun sebenarnya hanya kebetulan.

Terhitung sudah genap satu pekan belakangan ini Bulan melakukan aksi mogok bicara kepada Mama. Dia jenuh mendengar pertanyaan Mama yang itu-itu saja. Tidak jauh dari persoalan kapan menikah. Kemudian ditambahi upaya menjodohkan Bulan dengan beberapa anak kenalan Mama. Papa yang pusing karena harus menengahi kedua perempuan kesayangannya kalau sudah perang dingin begini.

Bulan bukannya tidak mau menikah. Dia juga sangat ingin mengakhiri masa lajang, membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warrahmah, dan memiliki anak-anak yang lucu seperti teman-teman sebayanya. Namun, ketika semua keinginan itu tidak berbanding lurus dengan kenyataan, dirinya bisa apa? Jodoh katanya rahasia Tuhan, bagaimana bisa Bulan mengetahui sesuatu yang masih dirahasiakan? 

“Kok pertanyaan Papa nggak dijawab, sih?” Papa menarik atensi Bulan. “Ayo dong baikan sama Mama. Dosa loh kalau marahan lebih dari tiga hari.”

Bulan mendengkus. Dia beringsut sedikit karena Papa ikut duduk di sofa, tepat di sebelahnya. Papa lebih kalem dibandingkan Mama. Jadi, Bulan merasa nyaman bicara dengan Papa. Ditambah lagi, Papa tidak seperti Mama yang bawel bertanya kapan menikah terus menerus.

“Bulan nggak marah, Pa, cuma males ngobrol aja, soalnya Mama nanya kapan nikah mulu, sih. Ya, mana Bulan tau. Bulan kan bukan Tuhan,” timpal Bulan diakhiri bibir yang manyun.

Niat Bulan untuk menikah sudah ada sejak beberapa tahun lalu, jauh sebelum kesendirian memeluknya dengan nyaman. Apalagi setiap teman-temannya mulai menyebar undangan pernikahan satu per satu dan mengunggah momen-momen manis mereka bersama keluarga baru masing-masing di media sosial, Bulan juga ingin merasakan kebahagiaan seperti mereka itu. 

“Jodoh Bulan memang belum kelihatan hilalnya. Nggak tau nyasar ke planet mana. Nyangkut di Mars kali,” celetuk Bulan asal-asalan, ditimpali Papa yang menghela panjang. 

Bulan bahkan sempat berada di masa-masa sering merengek kepada Tuhan melalui doa-doa yang dipanjatkan setiap waktu, berharap dirinya segera dipertemukan dengan jodoh terbaik. Di samping doa, berbagai upaya pun dia lakukan. Mungkin memang belum waktunya Tuhan mengabulkan doa-doa Bulan, sehingga tidak ada satu pun cowok yang dikenalkan oleh Ramadzan, mampu mengisi kekosongan hatinya.

“Bulan juga udah usaha sana-sini, tapi belum ada yang sreg. Mau gimana, Pa?” imbuh Bulan, saat ini dirinya hanya bisa pasrah. “Nikah kan seumur hidup, Bulan nggak mau buru-buru cuma karena orang-orang bilang udah ketuaan.”

Lihat selengkapnya