Rambu-Rambu Masa Lalu

Lovaerina
Chapter #4

Bab 4 - Sampai Rambu Berikutnya

Tangan kanan cewek pemilik sepasang mata almond itu terulur mengambil telepon genggam yang menganggur di meja. Satu-satunya teman SMA yang masih intens berkomunikasi dengan Bulan adalah Ramadzan. Meskipun bergabung di grup obrolan daring dengan teman-teman alumni kelas SMA-nya, Bulan sangat jarang ikut menimpali perbincangan mereka. Dia lebih senang menjadi pemantau, membaca satu per satu pesan yang masuk saat ada waktu luang. Biasanya malah Ramadzan yang akan memberikan rangkuman obrolan ketika Bulan malas menyimak. 

“Lo lagi ngapain, Ram?” tanya Bulan langsung ketika panggilannya diterima pada dering pertama. 

Healing di rumah Daus,” timpal Ramadzan dari seberang sambungan telepon.

Bulan terheran karena ini masih terlalu pagi untjk berkunjung, tetapi Ramadzan sudah berada di rumah Daus, salah satu teman sekelas mereka berdua. Selain Bulan, Daus juga masih akrab dengan Ramadzan. Lebih tepatnya, Ramadzan pandai menjaga pertemanan, berbeda dengan Bulan yang kesulitan mempertahankan hubungan. 

“Emang di rumah Daus ada apaan?” tanya Bulan lagi, penasaran kenapa di sana bisa menenangkan.

“PS.” Ramadzan menjawab singkat karena sepertinya sedang sibuk.

Kemudian terdengar sorakan heboh dari pemilik nama yang tadi disebut, disusul decak kesal Ramadzan. Bulan tebak Daus baru saja mengalahkan Ramadzan dalam permainan duel mereka.

“Ya, udah, deh. Gue tutup aja teleponnya. Salam buat anaknya Pak Bambang itu. Have fun, ya.” Bulan tahu diri untuk tidak merecoki Ramadzan saat ini. Cowok umumnya tidak mau diganggu gugat ketika sedang asyik bermain PS. 

“Lo lagi di mana?” Ramadzan menyela sebelum Bulan benar-benar memutuskan sambungan teleponnya.

“Rumah, lah. Mau di mana lagi?” Suara Bulan terdengar lesu.

Tempat paling nyaman bagi Bulan adalah rumah, terutama di kamarnya sendiri. Mungkin karena itu juga Dia belum ditemukan oleh jodohnya. Kata orang-orang, jodoh memang tidak akan ke mana. Namun, bagaimana bisa bertemu dengan jodoh kalau Bulan tidak ke mana-mana?

“Sendirian?” tanya Ramadzan lagi, selalu tepat dengan situasi.

“Gitu, deh. Tadinya sih pengen ditemenin bias gue, tapi doi jauh di Korea.” Bulan tidak pernah malu menunjukkan sisi fangirl-nya di hadapan Ramadzan.

“Oh,” timpal Ramadzan singkat.

Setelah itu, tidak ada percakapan lagi. Bulan mengakhiri panggilan. Dia lalu merebahkan diri di sofa, membiarkan televisi tetap menyala tanpa dia acuhkan. Ponsel di tangan menjadi pusat perhatian. Dia membuka sebuah obrolan daring yang sudah sangat lama terendap di penyimpanan email. Kalau diibaratkan rumah, mungkin folder itu sudah dipenuhi sarang laba-laba dan berbagai hewan melata karena tidak dihuni lagi.

Kenang-kenangan dari sang mantan. Bulan sesekali membuka folder itu meskipun sering menahan diri, dalam rangka menyukseskan usaha move on yang dilakukan setengah mati. 

Bulan membaca pesan berbintang itu satu per satu. Dari awal pendekatan sampai akhirnya cowok bernama Ramzy itu menyatakan cinta, dan mereka resmi menjadi pasangan kekasih tepat pada tanggal 12 April beberapa tahun lalu. Itu pertama kalinya Bulan jatuh cinta dan memiliki hubungan bernama pacaran. 

Aku akan mencintaimu sampai air di samudra Hindia terkuras habis.

Itu adalah kalimat percakapan paling manis yang Bulan terima dari sang mantan, tepat saat merayakan bulan pertama mereka jadian. Masih di fase sedang bucin level akut. 

Bulan berdecih, lalu mencibir diri sendiri. “Bisa-bisanya gue baper sama kata-kata ginian. Alay banget.”

Nanti kalau kita nikah, semua kamu aja yang atur sesuai wedding dream kamu. 

Semua kata-kata gombalan dari mantan kekasih terdengar begitu manis dan kini hanya menyisakan miris.

“Boro-boro wedding dream, lo bikin semua jadi nightmare,” rutuk Bulan lagi. 

Terlalu sesak dikenang, tetapi sulit dienyahkan. Andai Bulan tahu jadi seperti ini situasinya, dia akan memilih menjaga jarak saja dari Ramzy. Bulan akan lebih berhati-hati menjatuhkan perasaannya. 

“Permisi! Paket!”

Bulan tersentak oleh seruan lantang yang terdengar dari depan rumah. Dia urung beranjak karena tidak merasa memesan apa pun. Papa dan Mama juga bukan pengguna layanan belanja online. Mereka lebih suka membeli barang keperluan sehari-hari atau belanja bulanan di agen dan swalayan. Pasar tradisional malah menjadi pilihan utama karena Mama bisa menawar sampai mendapatkan harga semurah-murahnya. Mama memang Raja Tega! 

Lihat selengkapnya