Rambu-Rambu Masa Lalu

Lovaerina
Chapter #5

Bab 5 - Belok Kiri Reuni

Sebelum genap dua minggu melancarkan aksi mogok bicara kepada Mama, Bulan akhirnya memilih mengibarkan bendera perdamaian. Selain Mama memang tidak mungkin akan terkalahkan, Bulan masih takut dosa karena jadi anak durhaka karena mengabaikan Mama. Dia tidak mau nanti merasakan sengsara di akhirat. Cukup di dunia saja dirinya merana.

Hari ini Ramadzan tidak menjemput Bulan karena sedang mengurus pekerjaan di Bogor. Lagi pula, Bulan juga tidak enak hati kalau terus menerus mengandalkan cowok itu setiap hari. Dia cewek dewasa yang seharusnya sudah bisa hidup mandiri tanpa merepotkan siapa pun lagi.

Bulan sengaja mampir ke tukang bakso langganannya di Jalan Kodam Raya, dekat pom bensin. Dia pulang membawa satu porsi bakso beranak untuk Mama dan seporsi mi ayam kesukaan Papa. Bulan menghampiri kedua orang tuanya yang sedang duduk berdampingan sambil menonton siaran berita petang tentang kondisi lalu lintas sekarang. 

Papa terlihat sedang merangkul pundak Mama dan mengelus-elusnya penuh kasih sayang. Sementara itu, Mama menyandarkan kepala pada bahu kanan Papa. Mesra sekali seperti sejoli yang tengah dimabuk asmara tak berkesudahan. Jatuh cinta sepertinya memang tidak memandang usia. Pengecualian bagi Bulan. Entah kapan dia bisa memadu kasih seperti Papa dan Mama.

“Duh! Pengen pindah ke luar angkasa, deh. Di bumi isinya bucin doang. Bikin panas aja!” Jiwa fakir asmara Bulan meronta-ronta, iri dengan kemesraan kedua orang tuanya itu.

“Eh, Rembulan Bersinarnya Papa udah pulang. Kok nggak ucap salam?” Papa yang menimpali, Mama sepertinya masih gengsi untuk bicara pada Bulan.

“Tadi udah teriak-teriak sampai suaranya mau abis, sih. Papa aja yang lagi asyik ngebucin, jadi mana peduli sama yang lain,” cibir Bulan.

Mama spontan mendorong Papa supaya menjauh. Jinak-jinak merpati memang sudah jadi tabiat Mama sejak dahulu kala. Papa bilang perlu perjuangan sangat panjang untuk meluluhkan hati Mama. Rasanya lebih berat dari tugas Kera Sakti yang harus memberantas para siluman, saat menemani Biksu Tong ke Barat untuk mencari Kitab Suci.

“Nih! Buat Mama sama Papa.” Bulan meletakkan kantong plastik berisi bakso dan mi ayam di atas meja. 

“Asyik!” Papa berseru antusias karena mendapatkan makanan favoritnya. “Sebentar, Papa ambil mangkuk dulu.”

Pria itu bergegas ke dapur mengambil mangkuk, lalu kembali lagi secepat kilat. Sementara itu, Mama hanya melirik sekilas pada bungkusan plastik yang tergeletak di meja. Ego Mama memang lebih tinggi daripada puncak Himalaya.

“Bakso beranak buat Mama. Sambalnya tiga sendok. Saosnya juga banyak. Kalau kurang, Mama minta saos dari mi ayam punya Papa aja,” ucap Bulan, membuka plastik bening berisi bakso untuk mamanya.

“Mama lagi nggak kepengen bakso,” timpal Mama cuek, kedua tangannya bersedekap. 

Gerak tangan Bulan langsung terhenti, mulutnya berkedut kecil. Dia menekan kesabaran agar tidak terpancing emosi. Bibirnya lalu memaksakan sebuah senyuman.

“Terus Mama maunya apa?” tanya Bulan dengan nada lembut sekali. Dia lelah berperang dengan Mama.

“Mama maunya menantu,” celetuk Mama tanpa ragu.

Bulan ingin sekali membenturkan kepala ke meja saat ini juga. Mama memang paling jago menyeret emosi Bulan hingga nyaris meledak, padahal dia sudah menahan sekuat hati. Papa langsung mengambil ancang-ancang untuk berperan sebagai tritagonis yang menengahi pertikaian Bulan dan Mama, seperti biasa.

Lihat selengkapnya