“Pergi dulu, Ma, Pa,” pamit Bulan, menyalami tangan Mama dan Papa secara bergantian.
Ramadzan ikut melakukan hal yang sama. Dia sudah seperti anak Papa dan Mama saja.
“Rama, tolong jagain Rembulannya Om, ya. Awas aja kalau sampai lecet,” ancam Papa kepada Ramadzan.
Entah sejak kapan Papa dan Ramadzan jadi sangat akrab seperti itu. Papa bahkan sangat percaya padanya dalam hal keselamatan Bulan.
“Siap 88, Om! Saya akan menjamin keamanan dan keselamatan Tuan Putri Rembulan!” Ramadzan menimpali dengan gerak tangan menghormat layaknya tentara menerima mandat dari atasan.
“Udah ah, ayo berangkat!” Bulan menyeret lengan Ramadzan yang berlapis jaket, mereka bisa terlambat kalau terlalu banyak basa-basi tidak penting seperti itu.
Ramadzan menyerahkan helm bermotif bunga cendrawasih untuk dikenakan oleh Bulan, sedangkan dirinya sendiri memakai helm berwarna hitam tanpa motif, hanya terdapat tulisan SNI besar pada bagian atas tengkuk.
“Pegangan, Mbul!” perintah Ramadzan setelah Bulan duduk di boncengan.
Bulan tanpa ragu berpegangan pada bagian pinggang Ramadzan. Dia tidak perlu mengkhawatirkan apa pun karena mereka berdua sama-sama berstatus tuna asmara. Tidak akan ada yang cemburu terhadap kedekatan Ramadzan dan Bulan.
Setelah yakin Bulan aman, Ramadzan langsunhg menarik gas. Mereka menuju sebuah restoran mewah di kawasan Kemang yang sudah Zulfahmi pesan penuh selama seharian untuk acara reuni alumni kelas mereka. Dia fokus mengendalikan laju sepeda motornya melewati jalanan yang tidak pernah lengang. Tangerang dan Jakarta memang selalu ramai kendaraan yang berlalu lalang tanpa peduli malam, pagi, maupun siang.
Kurang dari lima puluh menit, Ramadzan memarkir motor di area parkir samping restoran. Bulan turun dari boncengan dan melepas helm, lalu mencantolkannya pada setang. Ramadzan spontan merapikan rambut hitam Bulan yang sedikit berantakan.
Bulan memang tidak secantik primadona kelas. Dia juga pendek, pipi dan lengannya lumayan berisi karena doyan jajan. Namun, dia terlihat menawan saat tersenyum. Sayang sekali, sejak beberapa tahun terakhir ini, Bulan menjadi pelit senyum.
“Lo nggak baper kan gue giniin, Mbul?” tanya Ramadzan tiba-tiba setelah merapikan rambut cewek itu.
“Dih! Amit-amit gue baper sama lo!” elak Bulan cepat. “Awas aja kalau lo yang baper!” imbuhnya sinis.
Bulan menepis tangan kanan Ramadzan yang bertengger di pundak kirinya. Dia lalu meneliti riasan tipis di wajah melalui kaca spion motor Ramadzan. Bulan memang payah dalam berdandan, tetapi dia tetap berusaha tampil maksimal supaya tidak menjadi gunjingan teman-temannya di belakang.
Ramadzan menyisir rambut sebelah kanan dengan lima jari, kemudian mengibaskan jaket yang dikenakan. Niatnya sengaja menarik perhatian Bulan.
“Lo kenapa?” Bulan mengangkat sudut alis kiri.
“Coba lo cium jaket gue, deh,” timpal Ramadzan sambil menyodorkan lengan kanan.
Bulan menuruti Ramadzan, mengendus aroma yang menguar dari pakaiannya, dan menyadari ada hal berbeda. “Lo pakai parfum baru?”
Ramadzan mengangguk bangga. “Mereknya sama kayak yang dipakai bias lo itu. Cuma ini versi racikan yang lebih murah meriah.”
“Dih!” Bibir Bulan mencebik. “Tumben amat lo. Mau caper sama siapa, sih?”
Ramadzan dan narsis adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Namun, sebenarnya dia tidak cukup bernyali. Apalagi untuk urusan hati dan mengungkapkan perasaan.