Rambu-Rambu Masa Lalu

Lovaerina
Chapter #8

Bab 8 - Batas Akhir Perasaan

Bulan dan Ramadzan meninggalkan restoran setelah berpamitan kepada Zulfahmi dan beberapa teman yang lain, kecuali Ramzy. Bulan memeluk pinggang Ramadzan dengan erat, kepalanya terkulai lemas bersandar pada punggung si cowok yang fokus mengendarai kuda besi.

‘Kenapa harus ketemu lagi, sih? Kenapa harus hari ini?’ Bulan tidak berhenti meratap sepanjang jalan.

Rasa sesak yang begitu dahsyat menghantam dada Bulan setelah bertemu lagi dengan Ramzy. Dia kesal pada diri sendiri karena move on-nya selama ini ternyata tidak bertahan lama. Bulan tidak benar-benar berpaling dari Ramzy. Dia sepertinya masih menyimpan sedikit harapan untuk bisa kembali bersama seperti dulu meskipun itu sangat memalukan. Bulan benci. Benci dirinya yang rapuh dan menyedihkan seperti ini. 

Belum tentu Ramzy masih sendiri. Cowok seperti Ramzy pasti banyak yang mengantre. Andaipun cowok itu belum memiliki tambatan hati, tidak menjamin juga dia ingin kembali pada Bulan. 

“Mbul, turun dulu, yuk.” Suara Ramadzan membuyarkan angan Bulan.

“Udah sampai?” Bulan mengangkat kepala, dan celingukan melihat sekeliling seperti orang linglung.

“Gue laper. Kita makan dulu,” balas Ramadzan sambil turun dari motor dan melepaskan helm di kepala Bulan, lalu mencantolkannya di bagian bawah setang. Helmnya sendiri diletakkan di spion kanan. 

Ramadzan sengaja berhenti di area taman jajan kawasan Bintaro sektor satu. Dia tidak mungkin membawa pulang Bulan tanpa memastikannya baik-baik saja, sesuai janji pada Om Jenderal sebelum berangkat. Meskipun Bulan tidak mengungkapkan apa yang dirasakan, Ramadzan tahu hatinya sedang berantakan.

“Kita duduk di sana aja, gimana?” Ramadzan menunjuk area rerumputan yang dekat dengan pohon mangga. 

Bulan tidak menolak, tidak juga setuju. Ramadzan kembali menggandeng Bulan dan mereka duduk di tempat yang dia tunjuk. Beberapa supir taksi dan ojek online tampak sedang menunggu pelanggan sambil menikmati makanan. Ada juga yang sambil menyeruput kopi dan fokus me ponsel di tangan. Taman itu memang cukup strategis untuk para pengemudi mangkal. Banyak warung-warung makan di sekitar sana. 

“Lo mau mi ayam apa bakso, Mbul?” Ramadzan menawarkan menu yang biasa mereka pesan.

“Terserah.” Jawaban praktis dari cewek pada umumnya dan itu selalu berhasil membuat bingung kaum Adam.

Ramadzan menyisir beberapa gerobak makanan dengan pandangan mata. Bukan hanya mi ayam dan bakso, di sana juga ada ketoprak, gado-gado, lontong sayur, dan rujak buah potong. Pilihan minumannya pun beraneka ragam, ada penjual es tebu, es jeruk peras, es kelapa muda, dan berbagai minuman kemasan botol maupun plastik. 

“Oke, gue pesenin gado-gado aja, ya?” pungkas Ramadzan menyimpulkan sendiri. 

Bulan tidak mengiyakan ataupun menolak. Kata terserah yang sempat terucap adalah verifikasi bahwa Ramadzan bebas memilih apa saja dan dia akan menerima dengan kedua tangan terbuka. Lagi pula, sebenarnya dia sedang tidak berminat makan. Hatinya sedang gundah gulana hingga tak berselera melakukan apa-apa. 

Selagi Bulan duduk di rerumputan yang tampak sedikit gersang, Ramadzan menghampiri penjual makanan yang saling berjejeran. Cowok itu sengaja memilih gerobak yang paling ramai antrean. Jadi, dia memiliki banyak waktu untuk berbincang dengan Bulan sambil menunggu pesanan mereka dibuatkan.

“Bu, gado-gado dua, ya,” ucap Ramadzan langsung memesan.

“Tapi ngantre, Mas, mau nunggu?” Ibu penjual gado-gado melirik antrean di sebelah kiri gerobaknya, sedangkan kedua tangannya tetap cekatan membuat pesanan mereka. 

“Iya, Bu. Nggak apa-apa. Saya tunggu,” timpak Ramadzan, memang tujuannya adalah menunggu lama. 

“Oke. Makan di sini apa bungkus, Mas?”

“Makan di sini aja, Bu. Yang satu pedes, nggak pakai timun. Satunya lagi jangan terlalu pedes, nggak pakai pare.” Ramadzan sudah hafal berbagai makanan yang disukai dan dihindari oleh Bulan. 

Salah satu makanan yang dihindari Bulan adalah pare, sedangkan Ramadzan tidak begitu menyukai mentimun. Dia memaksakan diri memakan ratatouille di acara reuni pun karena terdorong rasa penasaran dan mumpung tidak perlu membayar.

“Saya tunggu di sana ya, Bu.” Ramadzan menunjuk tempat Bulan sedang duduk merenung.

Lihat selengkapnya