Rambu-Rambu Masa Lalu

Lovaerina
Chapter #9

Bab 9 - Hati yang Tersendat

Andai tahu patah hati akan sesakit ini dan move on adalah hal yang sangat susah dilakukan, Bulan lebih baik tidak memiliki interaksi apa pun dengan Ramzy sejak dahulu kala. Cukup sebatas teman sekelas di SMA yang tidak saling akrab, daripada akhirnya berusaha mati-matian untuk melupakan dan berujung gagal.

Bulan meraih ponsel di sebelah bantal, baterainya tersisa sedikit karena tadi malam dia nekat stalking akun media sosial Ramzy yang kebetulan tidak diprivasi. Buang-buang waktu memang, tetapi dia tidak bisa menahan diri. 

Ramzy terlihat jarang sekali mengunggah foto diri atau wajahnya sendiri. Hanya ada penampakan langit dan pohon-pohon sakura dengan kelopak merah muda yang bermekaran indah. Beberapa gambar gunung Fuji dari berbagai sudut pandang dengan latar aneka musim pun terpajang gagah. Serta jalan-jalan di Jepang, entah perfektur mana saja. 

Jempol kanan Bulan saat ini sudah membuka ruang obrolan alumni kelas. Ramai sekali mereka membahas soal reuni kemarin. Foto-foto keseruan mereka tak luput dibagikan. Mata Bulan seketika berhenti saat menangkap potret Ramzy yang seratus persen lebih memesona dibanding saat meninggalkannya dulu. 

Anggota grup juga banyak yang terkesima dan memuji Ramzy. Mereka mengaku kaget dengan kehadiran cowok itu. Zulfahmi yang seharusnya mendapat sorotan lebih banyak sebagai penyelenggara acara, justru kalah pamor oleh Ramzy. 

Bulan agaknya belum puas dengan segala sesak yang ditanggung sejak kemarin. Jempolnya semakin berulah dengan membuka kontak cowok itu. Lagi-lagi Ramzy menggunakan gambar kelopak sakura sebagai foto profil, bunga yang dulu Bulan akui sebagai salah satu favoritnya. Bunga yang pada akhirnya Bulan lupakan karena mengingatkan pada Ramzy. 

‘Alumni Hati yang Wajib dilupain!’ menjadi nama kontak Ramzy di buku penyimpanan telepon Bulan. Namun, nyatanya itu hanya menjadi wacana belaka yang sempurna. Resolusi setiap awal tahun yang tidak pernah menjadi nyata. Lupanya hanya sementara, bahkan mungkin pura-pura semata. 

Ranjang berukuran 120 kali 200 sentimeter pagi ini terasa lebih posesif pagi ini hingga membuat Bulan malas beranjak barang sejengkal pun. Air mata yang bertumpah serupa air bah selama hampir semalaman penuh belum cukup mampu membuat hati Bulan lega dari gundah. Sesak itu masih bertahan di sana, dijejali kenangan-kenangan indah yang terputar silih berganti tanpa permisi. 

“Nyebelin!” Bulan mengusap kedua matanya yang membengkak dengan punggung tangan kanan. 

Bulan sedikit kesulitan bernapas. Kedua lubang hidungnya terganjal lendir bening akibat tangis yang tidak kunjung reda. Bukan hanya itu, suaranya pun nyaris habis serupa penyanyi amatiran yang nekat menyanyikan puluhan lagu bernada tinggi dalam gelaran konser tunggal selama tiga jam tanpa jeda. 

Pada akhirnya Bulan memaksakan diri untuk bangkit. Dia tidak betah dengan kondisi hidung yang tersumbat seperti itu. Namun, baru saja duduk, seluruh ruangan kamarnya tampak berputar-putar seolah dunia sedang berguncang akibat pergeseran lempengan bumi. Daripada nanti jatuh sebelum sampai di kamar mandi dan membuat kedua orang tuanya heboh diserang khawatir, lebih baik dia kembali merebahkan diri beberapa menit lagi.

Baru sempat memejam sesaat, Bulan terusik oleh getaran panjang dari ponselnya. Dia sengaja menonaktifkan nada dering, tetapi lupa masih ada mode getar. Seharusnya dia menyalakan mode pesawat saja sekalian supaya tidak ada yang mengganggunya. 

Bulan sedang kehilangan minat untuk berinteraksi dengan siapa pun. Dia mengabaikan panggilan masuk yang entah dari mana itu. Bahkan, sekadar mengeceknya sebentar saja dia sangat malas. 

Mata Bulan terpejam, tetapi pikirannya melanglang buana ke antah berantah. Banyak sesal yang membuat dadanya terasa sangat sesak. Tentang masa lalu yang menjadi bagian dari cerita hidupnya dan tidak bisa terhapus begitu saja. Dan kini usahanya berpaling dari sang mantan terancam berakhir sia-sia.

“Bulan. Kamu belum bangun?” Terdengar suara Mama dari luar kamar dibarengi ketukan pada pintu. “Udah siang loh!”

Bulan menyahut lirih sekali. “Lima belas menit lagi, Ma.”

Entah tidak mendengar, entah memang sengaja mengabaikan, Mama justru membuka pintu kamar Bulan lebar-lebar, lalu memasukinya tanpa meminta izin lebih dulu. Bulan memang jarang mengunci pintu. Kebiasaan sejak kecil karena dirinya sering terbangun tengah malam dan berteriak minta ditemani tidur oleh Mama atau Papa.

“Ya salam! Anak gadis kok jam segini masih males-malesan? Ayo bangun!” Mama menarik lengan Bulan. “Gimana mau dapat jodoh kalau kayak gini terus?”

Bulan menepis tangan Mama perlahan dan menyahut dengan suara parau. “Sebentar lagi, Ma.”

Lihat selengkapnya