“Lo kenapa, Mbul? Bete banget kelihatannya. Abis ketemu klien rese, ya?” Ramadzan menebak alasan Bulan menekuk wajah sejak mereka saling menyapa.
Setahu Ramadzan, beberapa hal yang membuat suasana hati Bulan menjadi buruk adalah berinteraksi dengan klien bermulut pedas, kehabisan diskon makanan, dan tidak sengaja mendengarkan lagu yang mengingatkannya pada mantan. Bulan sangat sensitif dengan hal terakhir.
Bulan dan Ramadzan sedang tersambung melalui panggilan video. Sore tadi rencana Ramadzan menjemput Bulan pulang kerja mendadak dibatalkan karena dia harus mengantar ibunya ke tukang urut di daerah Radio Dalam.
Ramadzan yakin pembatalan rencana itu bukan alasan Bulan terlihat jengkel seperti ini. Bulan tidak mungkin marah, apalagi tahu alasan Ramadzan adalah sesuatu yang sangat penting. Meski bulan juga penting, Ramadzan tentu akan mendahulukan ibunya.
“Lo lagi datang bulan, ya?” Ramadzan kembali menebak kemungkinan yang bisa saja menjadi alasan memburuknya suasana hati Bulan.
Cewek yang ditanya itu hanya menjawab dengan gelengan pelan. Belum masanya Bulan kedatangan tamu bulanan. Dia hanya sedang galau karena kemunculan mantan pacar yang sulit untuk dihindari. Andai saja Bulan sudah berdamai dengan masa lalu, bekerja di perusahaan yang sama dengan Ramzy seharusnya tidak akan menjadi masalah besar. Sial sekali, hati Bulan belum sepenuhnya mampu menghapus kenangan mereka berdua.
“Terus kenapa? Lo belum makan? Gue pesenin ayam geprek yang di Jurangmangu itu, ya.” Ramadzan mengiming-imingi makanan seperti biasa.
“Nggak usah, Ram. Mama masak semur jengkol. Nanti yang ada Mama pundung kalau gue beli makan di luar. Bentar lagi gue makan, kok.” Bulan menolak penawaran Ramadzan karena tidak mau memecah perang lagi dengan penguasa rumah.
“Mama masih bawelin lo buat buru-buru nikah?” Ramadzan kembali menebak, kali ini menyangkut permasalahan yang memang sedang Bulan hadapi belakangan ini.
Bulan bungkam lagi, bibirnya manyun beberapa senti. Mama sudah tidak heboh seperti beberapa waktu lalu membahas tentang pernikahannya meskipun sekali-sekali masih menyindir setiap ada kesempatan. Lagi pula, Bulan bertekad untuk tidak akan memerangi Mama lagi tentang hal itu. Dia menganggap sebagai doa baik dari Mama supaya bisa segera bertemu dengan jodohnya. Lelah juga kalau semua omongan Mama dimasukkan ke dalam hati.
“Kalau selera lo udah nggak setinggi oppa Korea favorit lo itu, gue bisa kok memaksakan diri jadi suami yang baik buat lo,” celetuk Ramadzan, bermaksud menghibur.
Ucapan itu tidak ditanggapi serius oleh Bulan. Sejujurnya Bulan masih sangat tahu diri, tidak menjadikan tokoh idolanya sebagai tipe suami idaman. Dia hanya sering kali membual dengan menyebut nama idola Korea itu ketika terlalu lelah dijejali pertanyaan yang berulang, tentang alasan dirinya betah hidup melajang sampai sekarang.
Lebih dari itu, Bulan tidak ingin orang-orang menganggapnya bodoh karena gagal berpindah hati dari mantan pacar. Beberapa teman yang sempat mengetahui kisah asmara Bulan, bahkan menilainya terlalu bucin pada Ramzy sehingga enggan membuka hati pada cowok lain. Kenyataannya dia hanya takut salah jatuh cinta lagi. Bulan takut akan ditinggal pergi seperti kemarin. Trauma itu sulit dilawan apalagi dihilangkan.
“Oh, ya. Kabar ibu lo gimana?” Bulan sengaja mengalihkan pembicaraan mereka karena belum mau membahas persoalan di kantor.
Ramadzan mengangkat kedua alisnya sekilas, lalu merebahkan diri di kasur tanpa ranjang dengan seprai bergambar kuda poni dengan surai warna-warni. Dia memang suka karakter yang lucu dan imut.
“Udah baikan, kok. Untung tadi jatuhnya nggak kenceng. Jadi, semua aman-aman aja. Urut beberapa kali lagi juga bakalan sembuh,” jelas Ramadzan.