“Jan, kamu nggak bosan jadi bujangan terus? Nggak pengen punya istri biar ada yang urusin kamu gitu? Nggak kasihan sama Ibu, nih? Udah pengen gendong cucu, lho,” ucap Ibu yang sedang menikmati pijatan Ramadzan pada kedua kakinya.
Ibu memang dari dulu lebih senang memanggil Ajan, dari kata Adzan dengan logat khas, daripada Rama seperti kebanyakan orang yang mengenalnya. Kata Ibu itu panggilan istimewa. Jarang sekali orang yang memiliki nama seistimewa itu.
“Pengin banget, Bu. Tapi, jodoh katanya kan di tangan Tuhan. Adzan masih malu buat mintanya. Kalau dikasih sekarang sih, Adzan terima aja dengan senang hati.” Ramadzan mengakhiri kalimatnya dengan cengiran khas yang memamerkan deretan gigi-gigi putih dan membuat sepasang matanya tersisa segaris.
“Kamu itu.” Ibu menjewer kuping kiri Ramadzan. “Ibu serius, malah dibecandain.”
“Adzan juga serius, Bu. Kalau emang udah waktunya ketemu jodoh, nanti juga Adzan bawa mantu buat Ibu. Sabar dulu sebentar lagi, ya.” Lagi-lagi Ramadzan tersenyum lebar.
Ibu hanya bisa pasrah. Ramadzan sudah dewasa untuk memutuskan segala hal. Lagi pula, memilih perempuan untuk dijadikan pendamping seumur hidup memang tidak boleh sembarangan. Bermodalkan cinta saja tidak cukup. Banyak faktor lain yang perlu dipertimbangkan sebelum berkomitmen dalam pernikahan.
Nada dering yang nyaring menghentikan gerakan kedua tangan Ramadzan. Dia meraih telepon genggam yang berkedip-kedip di meja, lalu memeriksa tulisan yang tertera pada layar mukanya.
Om Jenderal memanggil....
“Papanya Bulan.” Ramadzan memberi tahu ibunya tanpa diminta. “Sebentar ya, Bu.”
Ramadzan kemudian beranjak menjauh dari ibunya untuk menerima panggilan tersebut.
“Halo, Om,” sapa Ramadzan segera setelah telepon tersambung.
“Rama, Rembulannya om beneran sama kamu, kan?” Suara berat ayah Bulan terdengar dari sambungan telepon.
Ramadzan mengerutkan kening. Dia yakin baru saja dijadikan tameng oleh Bulan agar bisa telat pulang. Seharusnya dia sudah curiga saat Bulan menolak dijemput dan mengaku akan lembur kerja hari ini.
“Iya, Om. Om mau bicara? Tapi, Bulan lagi ke toilet.” Ramadzan terpaksa berbohong untuk menutupi kebohongan yang Bulan lakukan, daripada membuat lelaki di seberang sambungan telepon itu menjadi khawatir.
“Oh, ya udah. Nggak usah. Om baru bisa percaya kalau dengernya dari kamu langsung. Tolong jagain Bulan, ya.”
“Siap, Om!”
Panggilan itu berakhir. Ramadzan segera menghubungi Bulan untuk mengetahui keberadaannya. Dia tidak bisa diam saja kalau Bulan pergi tanpa kabar seperti ini.
“Dia ke mana, sih? Apa lembur beneran? Tapi, tumben amat.” Ramadzan bergumam sambil menunggu panggilannya tersambung.
Ramadzan tidak yakin Bulan sengaja berlama-lama di kantor, sedangkan belakangan ini saja selalu mengeluhkan eksistensi Ramzy di sana.
Nada sambung pertama diabaikan hingga berakhir. Pada percobaan kedua, Bulan baru menerima panggilan dari Ramadzan itu.
“Lo di mana, Mbul?” tanya Ramadzan tanpa basa-basi setelah teleponnya tersambung.