“Gue ke sini sendirian. Gue nggak tau dia ada di sini juga. Gue pengin ngilangin stres karena dia. Lagian, gue nggak minta lo buat jemput. Gue bisa pulang sendiri kok. Gue udah gede,” debat Bulan, meluapkan kedongkolan yang telanjur meletup-letup.
Cairan bening mulai membayang pada kedua mata Bulan. Dia menahan kecewa sekaligus amarah yang bertumpuk.
Beberapa saat mereka sama-sama diam. Hingga Ramadzan menyadari kekeliruannya yang terlalu cepat percaya pada asumsi sendiri. “Maafin gue,” ucapnya penuh sesal.
Napas Bulan tidak beraturan, dadanya naik turun mengatur emosi. Hari ini dia dibuat jengkel oleh dua orang cowok sekaligus, Ramzy yang tiba-tiba mengaku masih cinta dan Ramadzan mendadak menuduhnya yang bukan-bukan.
“Gue anterin lo pulang, Mbul.” Ramadzan kembali merendahkan nada suara dan berusaha meraih tangan Bulan.
“Nggak usah! Makasih!” tolak Bulan tegas sambil menepis usaha Ramadzan menggapainya. Dia telanjur kecewa pada cowok itu.
“Bokap taunya lo pergi sama gue, Mbul. Kalau lo pulang nggak sama gue, bokap lo nanti nggak percaya lagi ke kita berdua. Gue anterin, ya?” bujuk Ramadzan.
“Gue bisa jelasin sendiri ke Papa. Lo nggak perlu urusin hidup gue lagi.” Bulan masih bersikeras tidak menerima tawaran Ramadzan.
“Mbul.... ”
“Kita cuma temen.” Ucapan Bulan sontak menghentikan bujukan Ramadzan. “Lo nggak perlu repot-repot tanggung jawab sama hidup gue. Maaf karena selama ini gue selalu nyusahin lo. Gue bawa-bawa nama lo terus buat bohongin Papa sama Mama. Gue nggak akan lakukan itu lagi,” imbuhnya panjang lebar bersama emosi yang terurai.
Kosa kata Ramadzan tercuri, tidak bisa berucap apa pun lagi. Dia merasakan hantaman tak kasatmata mengenai hatinya dengan telak. Apalagi setelah Bulan berbalik dan berjalan berlawanan arah, menjauh dengan langkah kaki mengentak keras.
***
Ramadzan memenuhi ajakan Ramzy untuk bertemu di salah satu kafe, masih terletak di bilangan Bintaro sektor 9. Nuansa kafe itu terkesan sederhana, tetapi memiliki konsep kekinian. Cocok untuk kaum milenial menikmati waktu luang sambil menghabiskan uang.
Dua cowok yang merupakan teman lama itu duduk saling berhadapan. Meja kayu berbentuk bundar berada di tengah-tengah mereka. Beberapa pengunjung di sekitar asyik berbincang sendiri-sendiri. Alunan musik jaz melantun syahdu dari pengeras suara memenuhi penjuru ruangan.
“Ada apa lo ngajakin kopdar gini?” tanya Ramadzan tanpa basa-basi. “Eh, kok kopdar, sih? Tua banget gue. Meet up maksud gue.”
Ramzy terkekeh pelan. Ramadzan masih sama seperti dulu, berbicara semaunya saja. Meskipun mereka tidak terlalu akrab, Ramzy cukup tahu bagaimana Ramadzan saat di kelas.
“Lo nggak mau basa-basi nanyain kabar gue dulu, Ram? Kita udah lama loh nggak ketemu dan ngobrol kayak gini.” Ramzy menyimpul senyum tipis.