Rambu-Rambu Masa Lalu

Lovaerina
Chapter #17

Bab 17 - Lingkar Luar Kenangan

“Jadi, di sini memang tempat persembunyian favorit kamu, ya?” tanya Ramzy sambil menarik kursi di sebelah kanan Bulan, lalu duduk di sana tanpa perlu meminta izin lebih dulu.

Balkon rukan di lantai dua yang menghadap ke halaman belakang masih menjadi tempat pilihan Bulan menyendiri sambil menyelesaikan pekerjaan. Hal itu bukan karena dirinya tidak dekat dengan rekan kerja yang lain, dia hanya tidak ingin mengganggu. Mereka masih tetap berinteraksi saat pagi hari atau jam makan siang. Menjelang pulang pun mereka saling bertegur sapa. Setiap akhir bulan juga selalu ada rapat yang membuat mereka saling mengenal satu sama lain. 

“Aku kira kamu lagi ketemu klien di luar. Ternyata lagi asyik fangirling,” imbuh Ramzy, menggeser kursinya lebih dekat ke arah Bulan.

Ucapan Ramzy tidak Bulan tanggapi meskipun rasanya ingin mengelak. Sudah jelas Bulan sedang bekerja, bukan sekedar mendengarkan musik tanpa menyentuh pekerjaannya. Lagu-lagu boyband kesayangan memang masih setia menemaninya. Dia hanya menggemari boyband itu meskipun banyak grup idola lain yang katanya mendunia. Pada dasarnya Bulan memang tipikal yang sulit berpaling ketika sudah jatuh hati.

Bulan masih mengumpulkan sisa-sisa pertahanan diri untuk mengabaikan keberadaan Ramzy. Dia akui getaran dalam hatinya masih ada setiap berdekatan dengan sang mantan seperti sekarang. Apalagi ketika mata mereka saling bertemu pandang. Namun, kali ini Bulan enggan takluk dengan gampang. Dia tidak mau rasa sakit di masa lalu akan terulang.

Ramzy menopang pipi kanan dengan kepalan tangan, lengannya menekuk di atas meja sebagai tumpuan. Dia terus memandangi wajah Bulan dari sisi kanan. Bulan tidak berubah. Riasan yang dikenakan masih sama seperti saat kuliah, tanpa perona merah pada pipi, shading, ataupun bulu mata palsu anti huru-hara. Dia yakin Bulan hanya memoles bibir dengan lipbalm dan menggunakan tabir surya pada wajahnya.

“Ini masih jam kerja. Kalau Bapak cuma mau memantau saya di sini, sama aja makan gaji buta, Pak,” celetuk Bulan mencibir. “Lagian saya juga kerja, kok. Nggak cuma fangirling-an seperti yang Bapak kira.”

Ramzy tersenyum. Satu perubahan yang dia rasakan adalah Bulan menjadi jutek dan bicaranya sedikit pedas. Bulan juga menghindari kontak mata, padahal Ramzy rindu tatapan lembutnya. Namun, dia akan memberi waktu kepada Bulan untuk terbiasa dengan kebersamaan mereka. Tujuh tahun sudah berlalu, tidak masalah baginya kalau menunggu sedikit lebih lama lagi.

“Aku ke sini mau periksa draf yang kamu kerjakan. Coba kamu kerjanya di dalam, kita nggak perlu berduaan kayak gini,” elak Ramzy memberikan alasan yang masuk akal.

Jemari Bulan masih lihai menari-nari, mengetik setiap huruf yang membentuk rangkaian kata. Dia memang sedang menyusun draf addendum perjanjian kerja sama dengan salah satu perusahaan penyuplai. 

“Saya nggak mau mengganggu rekan kerja lain karena lagu-lagu yang saya dengerin jauh dari selera mereka,” kilah Bulan sedikit mencibir Ramzy yang memiliki selera berbeda dengannya.

Bukan hanya Bulan yang bekerja sambil mendengarkan musik. Beberapa orang melakukan hal yang sama, tetapi dengan aliran musik berbeda. Kebanyakan dari mereka menggunakan penyuara telinga, sedangkan Bulan sudah sejak lama menghindari penggunaan aksesori tersebut untuk melindungi fungsi telinga dalam jangka panjang.

“Bapak juga kan bisa minta saya kirim via email. Nggak perlu repot-repot ke sini,” imbuh Bulan, tanpa menatap Ramzy. 

“Tapi, bagus juga kamu ada di sini, sih. Kita jadi punya banyak waktu berduaan sekarang. Nggak perlu jaga jarak kayak di depan orang-orang.” Ramzy justru memanfaatkan hal itu sebagai peluang.

Bulan menghentikan gerak jemari di atas papan ketik hanya untuk mendengkus. Dia memejamkan kedua mata sekilas, lalu kembali membukanya dan melanjutkan ketikan. 

Lihat selengkapnya