“Aku pulang aja, ya?” Bulan tidak berminat mencari hiburan bersama Ramzy.
“Ada apa, Bulan? Kita udah sampai sini, lho.” Ramzy memperhatikan raut wajah cewek di hadapannya dengan saksama.
Bulan tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia terlalu lelah untuk memberi penjelasan. Meeting tadi cukup menguras tenaga meskipun dirinya hanya mendengarkan Ramzy bicara mewakili perusahaan mereka. Mungkin karena hati Bulan yang sedang tidak baik-baik saja.
Perselisihan dengan Ramadzan belum selesai. Hal itu cukup mengganggu pikiran Bulan. Namun, dia masih belum mau menghubunginya. Ada hal mengganjal yang membuat Bulan ragu.
“Ya, udah. Kita nontonnya lain kali aja. Tapi, makan dulu, ya,” bujuk Ramzy sengaja mengulur waktu supaya bisa bersama Bulan lebih lama.
Kalau dalam kondisi baik-baik saja, Bulan pasti tidak akan berpikir ribuan kali untuk menerima penawaran Ramzy. Tawaran makan gratis adalah hal yang terlalu sayang untuk disia-siakan. Namun, kali ini dia tidak berselera sama sekali.
“Please, kasih aku satu kesempatan aja buat meyakinkan kamu. Aku bener-bener masih sayang sama kamu, Bulan.” Ramzy mengatakan kalimat itu penuh ketulusan.
Tidak dimungkiri, Bulan memang masih menyimpan nama Ramzy di hatinya. Setiap momen manis yang pernah mereka lalui bersama nyatanya melekat kuat dalam ingatan. Sekeras apa pun Bulan berusaha untuk melupakan, dia tidak pernah berhasil. Namun, dirinya ragu untuk kembali membuka hati seperti dulu. Dia takut mengulang rasa sakit yang sama untuk kedua kali.
“Kita pulang sekarang juga macet, Bulan. Aku nggak mau kamu kelaperan di jalan. Kamu capek, kan? Kamu perlu isi tenaga dulu,” tutur Ramzy berargumen.
Bulan berdesah pasrah dan membiarkan Ramzy menggandeng pergelangan tangannya yang terlapisi blazer berwarna cokelat muda. Mereka menuju salah satu restoran ternama yang menyajikan hidangan Korea. Demi meluluhkan hati Bulan, Ramzy akan melakukan apa saja termasuk menyelaraskan selera mereka. Cinta butuh perjuangan bukan?
Ramzy bahkan mulai mendengarkan musik-musik Korea meskipun tidak begitu cocok di telinganya. Dia juga menghafal nama dan wajah masing-masing anggota boy band kesayangan Bulan yang menurutnya terlihat sama semua.
“Kamu mau makan apa, Yang?” Ramzy menggeser layar sentuh pada gawai yang disediakan untuk memilih menu.
“Ram….”
“Ya?” Ramzy beralih menatap Bulan lembut.
“Manggilnya bisa biasa aja, kan?” Bulan keberatan dengan cara Ramzy menyebutnya.
“Aku biasa manggil kamu ‘sayang’ kok,” timpal Ramzy diakhiri simpulan senyum.
Bulan mati kutu. Dia mengalihkan pandangan pada layar plasma yang kebetulan menampilkan musik video teranyar dari grup favoritnya. Ramzy menahan senyuman melihat Bulan yang salah tingkah. Dia lalu kembali memilih menu.
“Kamu mau bibimbap atau beef bulgogi?” Ramzy bertanya lagi.
“Terserah.” Jawaban paling sederhana menurut Bulan, biar saja Ramzy memutuskan sendiri.
Bulan belum pernah mencoba dua menu yang Ramzy sebutkan, hanya tahu dari drama-drama Korea. Makanan Korea yang sempat Bulan cicipi adalah topokki dan rapokki. Itu dia beli di pasar malam dekat rumah.
“Oke, aku pesan dua-duanya buat kamu. Tambah yangnyeom chicken, ya,” pungkas Ramzy.
Bulan ingin protes karena itu terlalu banyak, tetapi dia memilih membiarkan. Toh Ramzy sudah telanjur menekan tombol pesan.