Ramzy baru saja memasuki ruangan khusus divisi legal dan menuju ke arah meja kerjanya. Ketika melewati meja kerja Bulan, dia meletakkan sebungkus cokelat SilverKing dengan gerak sangat cekatan. Tidak ada yang mengetahui aksi Ramzy itu selain targetnya. Dia bahkan memasang wajah datar seolah tidak terjadi apa pun, sedangkan Bulan menganga karena ulahnya.
‘Apa-apaan, sih?’ Bulan menggerutu tertahan, dan melirik ke sekitar ruangan. Inginnya protes terang-terangan.
Belum banyak karyawan yang datang karena masih ada beberapa menit sebelum jam masuk kerja. Meskipun demikian, Bulan tetap harus waspada. Dia tidak mau dianggap kecentilan, lalu tersebar gosip kalau dirinya menggoda atasan, padahal Ramzy yang nekat melakukan pendekatan dengan ugal-ugalan. Andai bisa menendang cowok itu ke Mars, Bulan pasti akan lakukan.
Lirikan tajam Bulan tertuju pada Ramzy yang telah duduk di kursi sendiri. Cowok itu membalas dengan senyuman tersungging di bibir tipisnya, cukup wajar karena dia memang terkenal ramah kepada para karyawan. Rekan-rekan Bulan bahkan memberi julukan pada Ramzy sebagai Calon Imam Idaman karena keramahannya itu. Bulan tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi mereka kalau tahu dia dan Ramzy pernah memiliki kenangan indah di masa lalu.
‘Mereka pasti mikirnya aku halu,’ tebak Bulan.
Saat ini Ramzy bahkan sedang berusaha mendapatkan hati Bulan kembali. Namun, bisa saja karyawan lain justru menganggap Bulan sengaja tebar pesona lebih dulu, mengingat Ramzy memiliki visual menawan yang rasanya terlalu sulit dijangkau. Apalagi oleh Bulan yang biasa saja dan tidak memiliki bakat mempercantik diri agar terlihat lebih ayu.
Tidak mau terlalu larut dalam pikiran buruk sendiri, Bulan mengalihkan pandangan dari sosok Ramzy. Dia sengaja menindih cokelat di atas meja kerjanya menggunakan dua tumpuk berkas rancangan proposal perjanjian kerja sama. Setelah itu, dia kembali menyibukkan diri dan berpura-pura tidak terjadi apa pun. Permintaan tulus Ramzy untuk memulai hubungan mereka dari awal, tidak cukup bagi Bulan memercayakan hatinya lagi pada sang mantan.
Ruangan mulai penuh dengan kedatangan karyawan lain satu per satu. Mereka saling menyapa ramah, berbincang basa-basi, kemudian sibuk dengan pekerjaan sendiri-sendiri. Hingga terdengar dering telepon yang nyaring.
“Halo!” sapa salah satu karyawan yang kebetulan bertugas menerima panggilan di line ruangan tersebut.
Karyawan lain masih khusyuk mengerjakan berkas sesuai tanggung jawab yang dibagikan. Termasuk Ramzy yang tampak sibuk memeriksa hasil kerja timnya meskipun sekali-sekali mencuri lirikan ke arah Bulan.
“Mbak Bulan!” panggil penerima telepon, mengagetkan seisi ruangan.
“Ya?” Bulan menyahut sambil menoleh.
“Telepon buat Mbak Bulan.”
Kening Bulan mengernyit. Jarang ada yang menghubunginya melalui nomor kantor. Papa dan Mama selalu berkomunikasi langsung ke nomor ponsel pribadinya. Beberapa klien yang sering berinteraksi pun menghubunginya melalui chat.
Ramzy diam-diam memperhatikan. Meskipun pandangannya tertuju pada deretan pasal-pasal yang tertulis dalam perjanjian, dia siaga memasang kedua telinga untuk mendengarkan.
“Dari siapa?” tanya Bulan.
Ramzy juga ingin tahu siapa yang menghubungi Bulan pada jam kerja seperti ini. Apakah klien penting atau seseorang yang berniat merebut Bulan darinya. Tentu saja Ramzy harus selalu waspada.
“Mister Park. Katanya perwakilan agensi dari Korea, tapi ngomongnya pakai bahasa Indonesia, sih.” Raut wajah rekan Bulan itu menandakan perasaan sangsi.
Bulan terkejut sekaligus bingung. Ada keperluan apa agensi itu menelepon? Dia tidak lagi muda untuk direkrut sebagai idola. Lagi pula, dirinya tidak memiliki bakat apa-apa di bidang seni. Dia hanya penikmat musik dan drama Korea.