Rambu-Rambu Masa Lalu

Lovaerina
Chapter #22

Bab 22 - Memori Usang Sepanjang Jalan

“Jadi lo beneran mau nyerah aja, nih? Lo nggak pede, Ram?” Daus menanggapi keluh kesah Ramadzan dengan antusiasme tinggi.

Kedua cowok itu sedang duduk berselonjor di teras rumah setelah mencegat seorang pedagang telur gulung yang lewat. Ramadzan lagi-lagi berkunjung ke rumah Daus pagi-pagi sekali di hari libur ini. Dia menyatakan penarikan dirinya dari medan perang perebutan takhta di hati Bulan. 

Keputusan yang sejujurnya sulit untuk diambil, tetapi menurut Ramadzan itu adalah yang terbaik bagi kebahagiaan Bulan. Dia tahu betul Ramzy dan Bulan masih saling mencintai. Sudah seharusnya dirinya menyingkir dan kembali ke posisi semula, hanya sebagai sahabat Bulan. Tidak kurang dan tidak lebih. 

“Gue bukannya nggak pede, sih, Us. Kata lo kan gue musti tau diri,” elak Ramadzan, “kalau diibaratkan nih, ya, Ramzy itu kayak perumahan Agung Sedayana dan gue cuma rumah petak modal tanah warisan. Itu juga nggak seberapa luasnya.”

“Edyan! Enak banget!” seru Daus.

“Apanya?” Ramadzan mengernyit heran atas reaksi Daus yang tidak sesuai obrolan. “Di mana enaknya nasib gue, sih, Us?”

“Bukan lo yang gue maksud! Nih, telor gulung. Gue bersyukur banget dari kecil udah kenal jajanan ginian. Pentol kuah apalagi. Beuh! Nggak ada lawan!” Distraksi paling berbahaya bagi Daus adalah makanan, dia mudah gagal fokus.

“Ck! Gue lagi serius lho, Us!” Ramadzan berdecak kesal.

“Sama! Gue juga serius!” Daus mengunyah lagi telur gulungnya.

Ramadzan ikut memakan satu tusuk telur gulung, lalu mengunyah perlahan, menikmati rasanya daripada dongkol sendiri karena diabaikan oleh teman curhat. Segala sesuatu perlu dinikmati, termasuk patah hati yang mungkin akan segera dia dapatkan ketika Ramzy berhasil meluluhkan kembali hati Bulan.

“Kalau kata gue mah mending lo ungkapin dulu ke Bulan. Siapa tau dia juga diem-diem baper sama lo, kan?” gagas Daus di sela kunyahan.

“Kok lo plin-plan, Us? Kemarin lo nyuruh gue mundur,” debat Ramadzan. 

“Ya, kan, siapa tau Bulan diem-diem naksir lo juga. Cums dia nggak nyadar aja,” ucap Daus, lalu asyik mengunyah lagi. 

“Mustahil! Gue bukan tipe Bulan. Gue nggak punya kepribadian.” Ramadzan langsung mematahkan gagasan Daus itu.

Tipe suami idaman Bulan adalah laki-laki tinggi, mapan, tampan dan memiliki kepribadian.

“Dalam arti rumah pribadi, mobil pribadi, kalau bisa pulau pribadi sekalian. Lah gue?” Ramadzan menunjuk hidung sendiri. “Gue cuma punya motor pribadi sebiji yang nggak pernah ganti-ganti dari zaman Pak SBY jadi Presiden periode kedua. Punya tabungan aja belum cukup buat ongkos haji.”

Daus ingin menertawakan Ramadzan, tetapi kasihan juga. Sebelum ini dia memang menyarankan mengalah saja karena hasilnya sudah terpampang nyata. Meskipun bukan cewek matre, peluang Bulan menerima Ramzy jauh lebih besar karena mereka pernah saling jatuh cinta.

“Gue mendadak sepaham sama Chandra, sih, Ram. Colok mata Chandra kalau di antara lo berdua nggak ada yang baper-baperan.”

Hubungan Daus dengan Chandra memang seperti tikus dan kucing. Biarpun sedang tidak bersama, tetap saja disebut namanya. Kalau bersama selalu tidak pernah akur.

“Sini gue colok lu dulu,” timpal Ramadzan bergurau. “Iya, gue yang baper. Bulan mah nggak. Masih ada Ramzy di hatinya. Gue cuma dianggap teman. Nggak akan lebih,” tandasnya.

Daus menepuk bahu cowok yang duduk tepat di sebelahnya itu. “Beneran deh, Ram. Lo jujur aja dulu ke Bulan. Biar lo nggak nebak-nebak dia bakalan nolak atau nerima. Nggak ada yang mustahil juga di dunia ini.”

Gagasan Daus itu tidak membangkitkan nyali Ramadzan sama sekali. Demi Bulan, dia lebih rela menyembunyikan patah hati.

“Daripada lo nanti nggak bisa move on terus rusuhin rumah tangga Bulan, mending sekarang aja berjuang. Selama bendera kuning belum berkibar, lo masih boleh bertindak barbar.” Daus menyemangati meskipun kalimat itu hanya bisa dipahami oleh dirinya sendiri.

Ramadzan terdiam. Apakah dirinya butuh validasi untuk sebuah penolakan?


***


Lihat selengkapnya