“Kamu masih ingat waktu kita berdua kehujanan pas pulang kampus, nggak? Padahal udah dekat rumah kamu, tapi hujannya mendadak deras. Itu hari kedua belas kita jadian,” ucap Ramzy dengan aura wajah berseri-seri. Kenangannya itu mencuatkan rasa bahagia.
Kedua pipi Bulan seketika ikut merona. Dia masih mengingat momen yang Ramzy maksud. Mereka kehujanan karena Ramzy hanya memiliki satu jas hujan. Cowok itu menawari Bulan untuk memakainya, tetapi ditolak. Dia tidak mau Ramzy kebasahan sendirian. Jadi, mereka akhirnya memutuskan hujan-hujanan bersama. Setelah itu, Ramzy membeli satu setel jas hujan lagi yang selalu disediakan di dalam jok motor.
“Bulan, maafin aku yang dulu, ya. Aku banyak kurangnya,” ujar Ramzy lagi. “Sekarang kamu nggak perlu kehujanan atau kepanasan lagi. Aku siap nemenin ke mana pun kamu pergi dengan nyaman,” imbuhnya sambil menoleh dan menatap sang mantan pacar di kursi penumpang itu.
Bulan juga menoleh dan membalas tatapan Ramzy. Sorot mata cowok itu begitu teduh, masih sama seperti dulu. Tatapan yang dulu menjadi favorit Bulan. Namun, detik ini rasanya ada yang mengganjal di hati Bulan saat mereka bertatapan. Entah apa yang membuat dirinya merasa kurang nyaman. Bisa jadi jarak dan waktu yang memisahkan mereka terlalu lama, menimbulkan perasaan asing.
Ramzy menarik senyuman, lantas mengalihkan atensi, dan kembali fokus pada jalanan. Tangan kanan cowok itu sigap mengendalikan kemudi, sedangkan yang kiri kini meraih jemari Bulan dan menggenggamnya.
Bulan melirik genggaman tangan Ramzy, rasanya masih sehangat dulu. Pada detik ini dirinya menyetujui pendapat Ramadzan tempo lalu. Mungkin Ramzy memang cinta sejati yang kembali pulang setelah pergi. Apakah tidak masalah kalau Bulan memberi kesempatan dengan memulai lagi jalinan yang sempat terjeda selama bertahun-tahun itu? Apa semua akan baik-baik saja? Apa dirinya tidak akan kembali dibuat patah hati?
Ah, lagi pula mana bisa hati Bulan patah? Karena kenyataannya hati itu sudah hancur berkeping-keping.
“Biasa aja ngeliatnya. Nanti kamu bucin, loh. Biar aku aja yang bucin ke kamu.” Celetukan Ramzy sukses membuat semburat merah muda di pipi Bulan semakin kentara.
Bulan segera mengalihkan tatapannya sambil berdeham canggung. Dia berupaya agar tidak menaruh atensi pada Ramzy.
Lagi-lagi senyum Ramzy terulas. Dia bahagia karena masih bisa menikmati momen-momen manis bersama Bulan seperti sekarang. Tuhan memang berpihak kepada dirinya.
Setelah menempuh waktu lebih dari tiga puluh menit karena jalanan lumayan padat, Ramzy akhirnya menghentikan mobil di area parkir mal. Dengan segera dia membukakan pintu mobil sebelum Bulan sempat turun.
“Nggak usah berlebihan, Ramzy,” tegur Bulan lirih. Dia celingukan ke kanan dan kiri, malu kalau ada yang memergoki.
“Aku cuma mau treat kamu dengan baik, Bulan,” sahut Ramzy.
Bulan mengabaikannya. Dia lalu berjalan mendahului. Namun, langkah Ramzy lebih lebar, sehingga sangat mudah baginya untuk mengejar tanpa perlu berlari. Bulan dan Ramzy berjalan beriringan menuju ke gedung bioskop.
“Di dalam dingin, nanti kamu bisa masuk angin kalau lehernya kelihatan kayak gini.” Ramadzan mengurai ikatan rambut Bulan setelah menukar tiket film.
Bulan sontak merebut pita rambut yang ada di genggaman tangan Ramzy. Itu hadiah ulang tahun dari Ramadzan, dipesan khusus dengan hiasan logo boyband kesukaannya.
Ramzy menyimpul senyuman tanpa menanyakan apa pun. Dia merapikan geraian rambut Bulan. Sementara itu, Bulan salah tingkah, ingin menolak perlakuan Ramzy, tetapi sejujurnya dia menyukai diperlakukan manis seperti sekarang.
“Ayo, masuk!” ajak Ramzy kembali menggandeng Bulan dan memasuki pintu teater 4 yang akan segera menayangkan film romantis terbaru.
***
Durasi sembilan puluh menit berjalan cukup lama bagi Bulan. Film yang dialihwahanakan dari novel paling laris tahun lalu itu mampu mengundang decak kagum para penonton. Bukan hanya cerita romantis pasaran, tetapi juga menuturkan nilai-nilai melalui alurnya. Cocok dinikmati oleh pasangan yang akan atau telah menikah untuk mengeratkan hubungan mereka.
“Aku ke toilet sebentar, ya,” pamit Ramzy setelah keluar dari teater 4.
Bulan mengangguk. “Aku tunggu di depan.”
Ramzy bergegas memasuki toilet khusus cowok, sedangkan Bulan menuju ke lobi bioskop. Dia duduk di sofa yang memang disediakan untuk para pengunjung bioskop menunggu waktu penayangan film dimulai.
Bulan memperhatikan sekitar. Ada rombongan remaja yang sedang mengantre tiket. Sepasang kekasih sedang memilih brondong jagung mana yang akan dibeli. Seorang ibu berjilbab merah bata tampak terkesima pada sebuah poster film, sedangkan dua orang cewek cekikikan sambil memandangi layar ponsel. Seorang anak berlari-lari kecil, dan ibunya menegur agar dia berhenti. Ramai. Seperti pikiran Bulan yang mendadak dijejali banyak hal, entah apa sebabnya.
“Bulan!”