Rambu-Rambu Masa Lalu

Lovaerina
Chapter #24

Bab 24 - Pemberhentian Terakhir

Pemandangan pertama yang Bulan lihat ketika membuka mata pagi ini adalah sebuah buket bunga pemberian Ramzy di meja rias. Beberapa kuntum mawar merah merekah itu sungguh indah dipandang meskipun sebagian sudah terlihat mulai layu. Wanginya semerbak, bahkan sampai sekarang. Sayang sekali, bunga-bunga cantik itu akan semakin layu dalam beberapa hari, kemudian mati.

“Ternyata aku nggak mimpi.” Tatapan Bulan tidak bergeser sedikit pun dari buket bunga-bunga cantik itu.

Bulan sempat mengira kejadian kemarin malam hanya bunga tidur semata. Namun, buket cantik itu masih ada di sana, menandakan bahwa apa yang dialami olehnya adalah nyata. Ramzy benar-benar melamar dirinya dengan nuansa yang sangat romantis. Momen manis itu sesuai apa yang dia harapkan selama ini.

Senyuman terulas tipis pada bibir Bulan mengingat momen manisnya dengan Ramzy. Cowok itu rela menyewa satu ruangan VIP demi menyatakan permintaan kepada Bulan agar menjadi rumah untuk pulang, setelah dulu hanya sebagai persinggahan yang ditinggal pergi. 

“Rasanya kayak gini, ya?” Sudah lama sekali Bulan ingin merasakan bagaimana ketika seseorang melamar dirinya.

Bulan merasakan jantungnya berdebar begitu kencang seperti akan menghadapi sidang. Kedua tangannya gemetaran. Bahkan, napasnya pun menjadi sedikit tersendat. Seolah persediaan oksigen di muka bumi ini hampir habis. Entah bagaimana mimik wajah Bulan ketika Ramzy menyatakan semuanya.

Tadi malam Bulan sempat meragukan keputusan yang diambil. Penyesalan di kemudian hari ikut membayang. Rasanya ingin meminta waktu beberapa hari untuk berpikir. Namun, selama apa pun dipikirkan, dia akan memberikan jawaban yang sama dan pagi ini tidak ada hal yang disesali olehnya.

Bulan menggeser arah pandang dan mengubah posisi berbaringnya menjadi terlentang. Kali ini dia menatap langit-langit kamar yang berwarna biru muda. Tampak sedikit memudar karena dicat oleh Papa dan Ramadzan sekitar empat tahun yang lalu.

“Om berasa punya anak cowok, nih, kalau ada Rama.” Bulan ingat betul celetukan Papa saat itu, yang ditimpali senyuman pongah Ramadzan. Kemudian kedua pria itu tertawa bersama.

Nyatanya, tidak hanya Bulan yang mengandalkan Ramadzan, Papa dan Mama pun percaya penuh pada cowok itu. Padahal mereka tidak memiliki hubungan keluarga sama sekali. Ramadzan bisa dibilang hanya orang asing yang kebetulan menjadi sahabat Bulan. 

Mengingat beberapa hal dalam hidupnya membuat Bulan menyadari sesuatu. Pundaknya terasa sedikit enteng. Hatinya juga lebih lega. Mungkin karena urusan dengan Ramzy telah menemui akhir yang sangat baik.

“Tinggal beresin urusan sama Rama aja,” gumam Bulan.

Hubungan Bulan dan Ramadzan belum sempat diperbaiki. Hari ini dia harus menyelesaikan semua agar langkahnya ke depan semakin ringan tanpa ganjalan. Bulan tidak mau kehilangan cowok itu.

“Aku harus samperin dia,” ucap Bulan, bangkit dari posisi berbaringnya. 

Cewek itu kemudian bergegas menuju ke kamar mandi. Biasanya Bulan paling anti mandi pagi saat hari libur. Namun, dia tidak mungkin menemui Ramadzan dalam kondisi baru bangun tidur. Mukanya pasti glowing oleh minyak. Tidak sedap dipandang. 

Hanya butuh waktu beberapa menit saja, Bulan sudah selesai membasuh diri. Dia berdandan sedikit rapi. Tidak lupa menyemprotkan minyak wangi di segala sisi.

Setelah selesai merias diri, Bulan berpamitan pada Papa dan Mama yang kebetulan sedang menikmati hari libur dengan menyirami beberapa tanaman mereka di halaman belakang rumah.

“Bulan mau pergi ya, Pa, Ma.” Itu jelas pemberitahuan, bukan meminra izin. 

“Ke mana?” tanya Mama tanpa mengalihkan tatapan dari tanaman-tanaman yang telah basah terguyur. 

“Rumah Rama,” timpal Bulan singkat. 

Belum sempat beranjak, langkah Bulan terhenti. 

“Kamu mau ke rumah Rama beneran apa ke rumah Ramzy?” tanya Papa, menghentikan aksinya membantu Mama menyiram tanaman, dan beralih menatap Bulan penuh curiga.

“Ke rumah Rama, Pa.” Bulan manyun karena Papa jadi semakin mudah curiga kepadanya. 

Mama masih asyik dengan kegiatannya, menyirami tanaman sambil bersenandung dalam gumaman. 

“Diantar Ramzy?” tanya Papa lagi, masih menaruh kecurigaan.

“Sendirian aja, Pa,” jawab Bulan, tidak berbohong.

“Dijemput Rama?” Papa belum puas bertanya.

Bulan menimpali dengan nada mulai kesal. “Ini mau pesan GoodJek, Papa.”

“Papa anterin aja, deh,” usul Papa menawarkan diri.

“Nggak mau. Bulan bukan anak TK, Pa.” Cewek dengan rambut model messy bun itu tentu saja menolak.

Meski kesal, Bulan berusaha memaklumi papanya. Wajar kalau Papa posesif pada Rembulan Bersinar karena dia merupakan satu-satunya buah hati yang dimiliki. 

Akan tetapi, Papa hanya bisa pasrah setelah Mama memberikan cubitan kecil pada pinggang berlemaknya. Itu adalah peringatan agar Papa berhenti merecoki Bulan.

Lihat selengkapnya