Rambu-Rambu Masa Lalu

Lovaerina
Chapter #26

Bab 26 - Jalan Bebas Hambatan

Bulan hanya menurut pasrah ketika Ramadzan membawanya ke dapur dan menemui Ibu yang sedang menyiapkan makanan. Dia menuntun Bulan untuk duduk pada salah satu kursi makan, lalu menghampiri ibunya.

“Ibu doain apa buat Adzan?” Pertanyaan Ramadzan membuat Ibu menghentikan aktivitasnya, sedangkan Bulan awas mencermati interaksi pasangan anak dan ibu itu. 

Ibu kaget karena tiba-tiba saja ditodong pertanyaan seperti itu. Apa ada yang keliru?

“Ibu doain apa buat Adzan?” Ramadzan mengulangi pertanyaannya. 

“Semoga Ajan jadi anak yang saleh.” Doa itu tidak pernah Ibu lewatkan bahkan sebelum Ramadzan lahir ke dunia.

“Terus?” tanya Ramadzan lagi.

“Semoga Ajan diberi banyak rejeki yang berkah.”

“Selain itu?” Ramadzan belum puas dengan jawaban Ibu.

“Semoga Ajan selalu sehat dan bahagia.”

“Apa lagi?” Ramadzan semakin antusias menunggu jawaban Ibu berikutnya. 

“Semoga Ajan dapat jodoh yang baik dunia dan akhirat.”

“Itu!” Ramadzan menunjuk Bulan. “Doa Ibu terkabul.”

Bulan mengangkat kedua alis. Matanya memelotot. Apa yang sedang direncakan oleh Ramadzan?

Sementara itu, Ibu menyimpul senyum manis sambil mengucapkan syukur. “Alhamdulillah … ini beneran? Ajan nggak lagi bohongin Ibu, kan?”

Sejak awal Ibu memang menyukai Bulan. Jadi, dia merasa seperti kejatuhan durian runtuh. Namun, Ibu butuh kepastian. Siapa tahu keusilan Ramadzan sedang kambuh. 

Ibu meninggalkan racikan sayurnya, kemudian duduk berhadapan dengan Bulan dan bertanya, “Kamu beneran mau jadi istrinya Ajan? Kamu nggak keberatan jadi menantu Ibu?”

Bulan menatap Ibu dengan senyuman canggung, lalu beralih ke arah Ramadzan.

Ibu bersabar menunggu jawaban dari Bulan. 

“Anak Ibu belum bilang apa-apa sama aku. Gimana aku mau kasih jawaban ke Ibu?” Bulan mengatakan kejujuran.

Ramadzan memang belum menyatakan perasaan dan menanyakan kesedian Bulan menjadi pendamping hidupnya. Dia bahkan tidak menjawab pernyataan Bulan sebelumnya.

Ibu menoleh ke arah Ramadzan dan menatapnya dengan sengit. “Sini kamu!”

Ramadzan memenuhi panggilan Ibu. Dia waspada melihat tatapan Ibu yang seperti itu. Entah apa yang akan Ibu lakukan padanya. Ramadzan merasa berada di ujung tanduk. 

Tanpa aba-aba Ibumencubit lengan Ramadzan yang berdiri di sampingnya. Cowok itu terkajeut dan mengaduh keras, lalu meringis sambil mengusap-usap bekas cubitan tersebut.

“Bisa-bisanya kamu bohongin Ibu! Dasar usil!” Ibu beralih mencubit pinggang anak tunggalnya itu. Kesal jadi korban kejahilannya. 

“Sakit, Bu,” keluh Ramadzan, “Adzan nggak bohong, Bu. Adzan beneran mau nikah sama Bulan,” sangkalnya membela diri. 

Ibu mendelik tajam, tidak percaya pada ucapan Ramadzan. Ibu lebih pro ke Bulan. 

Lihat selengkapnya