Satu minggu telah berlalu, Tiara belum juga memberi kabar tentang hubungan kami. Dia meminta waktu tujuh hari untuk berbicara kepada ayahnya mengenai cinta kami yang belum direstui.
Keluargaku dan keluarga Mahendra selalu bermusuhan. Aku tidak tahu sebab permusuhan terjadi. Ayahku selalu bilang, "Keluarga Mahendra selalu membuat kita menderita." Matanya menyorot tajam menatapku. Kebenciannya sudah mirip gunung api yang membara mengeluarkan lahar panas.
Namun, mata Ayah berkaca-kaca dan bergetar. Aku tidak berani bertanya tatkala dalam kondisi tidak kondusif. Ayah selalu sentimen jika menyinggung keluarga Mahendra. Dia juga tahu hubunganku dengan Tiara. Bersikeras untuk tidak menyetujui hubungan kami, tapi aku juga berkeras hati tetap menjalin cinta dengan putri dari Dahlan Mahendra.
Setiap kumpul keluarga, Ayah selalu menanyakan, "Kamu masih berhubungan dengan Tiara?" Bola mata menajam setiap menanyakan itu. Aku mengangguk dan Ayah menggebrak meja menunjukkan kekesalannya. Dia memberiku petuah kalau keluarga Mahendra akan kembali menghancurkan keluarga kami. Setiap kali aku menanyakan, "Apa yang diributkan? Kenapa harus ada permusuhan antar keluarga?" Pertanyaanku selalu tak dijawab. Ayah menghindar, selalu pergi ke kamarnya.
Tiara tidak menjawab teleponku. Berulang kali mencoba menghubunginya, tapi nihil.
Nomor tak kukenal meneleponku.
"Hallo."
"Di mana anakku!" Suara pria dewasa membentak.
"Anda siapa?"
"Dahlan Mahendra. Di mana anakku? Di mana Tiara!" Dia kembali membentak.
"Apa maksud Anda? Tiara tidak di sini."
"Bohong!" teriaknya. Aku menjauhkan ponsel dari telinga.
Kembali menempelkan ponsel. "Satu minggu kami tidak bertemu. Oh … bukannya dia ingin berbicara sesuatu denganmu. Berbicara tentang sesuatu."
"Apa maksudmu? Tiara tidak kembali setelah pergi denganmu dan aku rasa kamu menculiknya." Dia menuduhku.
"Tunggu! Dia tak pernah kembali?" tanyaku memastikan. Yang kudengar hanya geraman Dahlan. "Dan Anda menuduhku menculiknya? Aku tidak pernah melakukan tindakan bodoh itu. Kami bertemu, tapi setelah selesai, dia tidak mau diantar pulang. Dia ada janji dengan temannya."
"Kamu jangan berkilah, Rangga Firmansyah." Suara seperti tertahan, seperti amarah yang ditahan. Dia melanjutkan ucapannya, "Anak buahku mengawasimu. Kamu membawa Tiara ke sebuah rumah tua."
"Anak buah Anda salah orang. Setelah bertemu Tiara, aku kembali ke kantor."
"Aku akan mempenjarakkanmu!" Telepon ditutup.
Pernyataan Dahlan membuatku terkejut karena membawa kabar buruk. Tiara tidak pernah pulang setelah bertemu denganku.
Ini aneh dan tidak masuk akal. Telepon aktif, tapi tidak ada jawaban. Aku gusar dan pengar.
Hilangnya Tiara membuatku mercusuar yang tidak bisa menjaga laut. Tidak becus menjaga kekasih yang kucintai. Perasaan sesal tak bisa melindunginya. Dalam benakku ada dua kemungkinan. Musuh keluarga Mahendra atau musuhku, tapi selama ini tak ada yang berselisih denganku. Dalam pekerjaan merangkul beberapa kontraktor untuk bekerja sama atau keluarga Mahendra mempunyai musuh yang tak kuketahui. Dahlan Mahendra memang terkenal sombong kepada orang lain karena kekayaan yang melimpah. Kadang iri dengan kesuksesan pesaingnya.
Rey memiringkan kepala tatkala aku duduk di kursi seraya menatap kosong. Dia berdiri di samping meja. "Hari ini ada meeting dengan Karya Mahesa membahas tentang proyek jembatan di Rawa Buntu."
"Oke. Jam berapa?"
"Siang ini."
Aku melangkah mendekati pintu hendak keluar dari ruang kerjaku. Rey memanggil, "Ngga, kamu mau ke mana? Meeting satu jam lagi." Aku tak mengacuhkan ucapannya, dia malah berteriak, "Kamu harus menghadiri meeting!"