Di cafetaria kampus, terlihat tak sepadat dari biasanya. Hanya segelintir mahasiswa di sini. Tiara berada di meja ujung. Raut wajahnya murung sambil jemari lentiknya mengaduk-aduk lemon tea yang hampir habis. Ia menghela napas kasar, masih kepikiran kejadian semalam. Diam-diam ia mengintip percakapan ayahnya dengan Rangga. Dirinya tak habis pikir ayahnya tega melakukan itu. Memberi amplop berisi uang, tapi dengan catatan, Rangga harus meninggalkannya. Sangat picik memang. Tiara tidak bisa menerima sikap ayahnya.
"Woy!" tegur Monica berteriak. Menepuk bahu Tiara agak kencang hingga gelas tertelungkup. "Ngelamun aja dari tadi."
Tiara ternanap menatap sahabatnya. "Bisa enggak sih lo kalo kagak ngagetin gue!"
Monica duduk di depannya seraya memperhatikan lekat-lekat lalu berkata, "Tiga tahun kita kenalan, tiga tahun kita bersama, baru kali ini lo marah dan bentak gue."
"Rese lo ah!" rajuknya cemberut. Sementara Monica tertawa tak bersuara.
"Ada apa sih? Sampe lo ngelamun dan marah gitu?" tanya Monica sambil menjentikkan jari memberi kode pelayan cafetaria untuk mendekatinya.
"Gue bingung," keluh Tiara masih bermain dengan sedotan pada gelas kosong.
"Bingung kenapa, Ra?" tanya Monica penasaran.
Hendak mulutnya menganga, Monica menahannya. "Stop, jangan dijawab dulu." Matanya beralih ke ibu cafetaria. "Ice Coffe with Jelly Grass satu, Bu."
"Siap," jawab Bu Ratih kemudian berlalu.
Monica kembali menatap Tiara. "Sekarang jawab."
Tiara menghela napas pelan. "Gue bingung dengan sikap ayah kepada cowok gue yang seme—"
"Kenapa?" tanya Monica memotong.
"Ih, jangan dipotong dulu. Gue belom kelar ngomong," rajuk Tiara kesal.
Monica tertawa lagi. "Maaf, lanjutkan.
"Gue bingung dengan sikap ayah gue. Tega banget mau misahin gue sama cowok gue. Masa cowok gue dikasih duit untuk jauhin gue. Itu cara konyol, Mon." Tiara geleng-geleng kepala masih tak percaya.
"Masa sih bokap lo kayak gitu?" tanya Monica ikut tak percaya.
"Gue enggak tau, Mon. Apa sih salah Rangga sampe ayah gue keukeuh mau misahin gue?" Mukanya semakin ditekuk
Monica tak menjawab malah balik bertanya, "Cowok lo kayak gimana sih orangnya?"
"Dia baik, tipe cowok pekerja keras, tampan dan selalu memberi kenyamanan buat gue." Tiara menatap langit-langit sambil membayangkan wajah Rangga.
"Terus, kenapa Bokap lo ngasih duit dia buat ngejauhin lo?" tanyanya Monica lagi seraya mengaduk-aduk minumannya.
Tiara menghembuskan napas lemah. "Cowok gue bukan cowok tajir. Ekonominya rendah. Dia tulang punggung keluarga setelah ayahnya sakit."
Tak ada sahutan dari Monica. Dia tampak melamun. Ada yang mengusik hatinya. Sesekali melirik Tiara yang sedang menopang dagu pada meja.
"Gue merasa hidup gue enggak adil," celetuk Tiara lalu melenguh.
"Ra." Monica memegang bahu Tiara. "Jangan bilang hidup ini tak adil buat lo. Mungkin ini ujian cinta lo dengan dia. Memang harus sabar menghadapi orangtua yang tak menyetujui hubungan kita dengan seseorang. Satu hal yang harus lo tau, semua indah pada waktunya. Lo jangan nyerah gitu aja. Meski gue enggak tau situasi percintaan lo, tapi gue bisa ngerti. Gue pernah ngerasain apa yang lo rasain dulu."
Tiara menatap Monica sambil senyum. "Makasih, Mon. Udah nasihatin gue. Maafin gue curhat kayak gitu. Lo jadi teringat masa lalu deh." Tiara ternyata menyadari perubahan mimik wajah Monica yang berubah sedikit murung.
"Enggak apa-apa, tenang aja," balas Monica sambil tersenyum berusaha tegar meski hatinya kembali terusik dengan masa lalu.
Monica sudah bersahabat dengan Tiara selama tiga tahun. Selama itu mereka selalu bersama. Ke mana dan di mana pun, mereka akan tetap bersama. Kedekatan mereka bisa dikatakan melebihi sahabat. Keluarga mereka juga dekat. Terkadang Tiara menginap di rumah Monica, begitu sebaliknya Monica menginap di rumah Tiara. Mereka seperti sahabat yang tak bisa dipisahkan. Tiara dan Monica selalu terbuka bila memiliki masalah. Seperti masalah asmara Monica di masa lalu yang tak direstui oleh orangtua Monica. Waktu itu Tiara menjadi sandaran kesedihan Monica. Sekarang, gilirannya yang mengalami masalah yang sama. Memang benar yang dikatakan Monica, hanya waktu yang bisa menjawab. Ia harus tetap bersabar.
∆∆∆∆
Rangga melihat adiknya, Vania melamun di kursi depan kamar pasien. Perlahan ia mendekati Vania. Rangga menangkap kemurungan dan kesedihan adiknya. Vania yang biasanya memasang wajah jutek, saat ini tak menampakkan ekspresi seperti itu. Dia sangat murung dan terdengar isakan tangis kecil. Baru kali ini Rangga melihat adiknya seperti itu. Dirinya memaklumi dengan kondisi seperti sekarang. Tak bisa dipungkiri, terbaringnya ayah mereka membuat semua terpukul. Bukan hanya Rangga dan adiknya, ibunya juga terpukul. Ia mendapati ibu menangis di samping ayah. Tak tega, Rangga menyuruh ibunya pulang untuk beristirahat di rumah. Biar ia yang menjaga ayah.
"Dek," panggil Rangga. Vania menatap lalu meringkuk memeluknya.
Getiran ini sangat terasa mendalam. Rangga mengalami hal yang sama. Ia hanya bisa berdoa supaya masalah ini cepat berlalu. Ia masih menggenggam secarik kertas putih berisi nominal biaya rumah sakit. Rangga harus memutar otak untuk bisa menebus itu. Biaya yang tak sedikit membuatnya harus bekerja keras mencari uang. Rangga berpikir butuh waktu lama ia bisa mendapatkan uang itu karena penghasilan sebagai ojol tak menentu, stagnan.
"Kakak cari orderan lagi ya," ucap Rangga meregangkan pelukan. "Kamu jaga Ayah ya?"
Vania mengangguk lemah. Tanpa banyak kata, ia masuk kembali ke dalam kamar perawatan. Sementara Rangga menghela napas lemah. Menatap lagi kertas tagihan rumah sakit sambil menggeleng kepala. Tak percaya dengan nominal biaya yang begitu besar. Lenguhan kecil mengirinya menuju pintu keluar rumah sakit.