Tokyo, Musim Semi 1938
"Kono renai wa tsuzuke rarenai (Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini)."
Kata-kata itu menusuk hati Yamaguchi Ryu. Ucapan Saotome Asuka itu layaknya kilat yang menyambar di siang yang cerah. Ryu berusaha mencerna perlahan setiap kata yang terlontar dari bibir merah gadis berkimono sutra itu.
"Dōiu imidesu ka (Apa maksudmu)?" tanya Ryu dengan nada bergetar.
"Apakah kurang jelas? Kita harus mengakhiri hubungan ini, Ryu-Kun!" Nada Asuka meningkat satu oktaf, meyakinkan Ryu bahwa yang diungkapkan gadis itu adalah sesuatu yang memang diinginkannya.
"Do ... shite (Ke ... napa)?" tanya Ryu masih belum terima dengan keputusan sepihak Asuka. Bagaimana bisa perjalanan cintanya kandas begitu saja di musim semi di saat cintanya selalu bersemi di hati?
"Aku akan dijodohkan dengan salah satu perwira yang baru saja lulus dari Rikugun Shikan Gakkō[1]. Tanaka Hayate ...." Asuka duduk dengan wajah sendu.
Sekali lagi jantung Ryu seperti ditumbuk palu. Tanaka Hayate adalah sahabat baiknya. Ia hanya bisa mengeratkan rahangnya, tak percaya dengan yang didengar.
"Kenapa harus Hayate? Tidak bisakah pertunangan itu batal?"
Gelengan kepala Asuka menandakan bahwa memang sudah saatnya ia mengakhiri hubungan mereka. Sebuah kata "maaf" yang terlontar dari bibir mungil Asuka tersampaikan ke liang pendengaran Ryu. Membuat Ryu hanya bisa mengepalkan tangannya erat.
Ryu paham, bahkan sangat paham bahwa keluarga Saotome dan Yamaguchi memang sangat berbeda status sosialnya. Keluarga Saotome adalah keluarga yang terpandang. Mereka mempunyai hubungan dengan kekaisaran. Dua kakak laki-laki Asuka adalah seorang perwira tinggi di Angkatan Darat Kekaisaran Nippon. Orangtua Asuka akhirnya menjodohkan anak gadis bungsunya dengan anak seorang Letnan Kolonel dari keluarga kaya, Tanaka Hayate, yang tak lain adalah sahabatnya.
"Maaf ...," kata Asuka lagi. "seandainya dulu kamu bersekolah di Akademi militer, mungkin hubungan kita akan bertahan." Ia lantas bangkit, dan sebelum berlalu dari hadapan Ryu, gadis berkimono sutra berwarna biru itu membungkuk dalam.
Dengan tatapan kosong, Ryu membalas Asuka dengan membungkuk. Dia tidak bisa membayangkan hubungan yang ia bina dalam waktu tiga tahun akhirnya kandas. Ryu hanya bisa menatap nanar punggung Asuka yang menjauh. Hatinya berteriak ingin mengejar tapi raganya masih terpaku di kursi kayu yang catnya sudah terkelupas.
Desahan keras keluar dari mulutnya. Terlahir dari keluarga biasa, membuat Ryu tak bisa mendapatkan cintanya. Bukan menjadi perwira membuat Ryu harus melepas gadis pujaannya. Seandainya Asuka ingin mempertahankan hubungan mereka, Ryu akan dengan senang hati berjuang. Namun, apa yang akan diperjuangkannya bila Asuka sendiri memilih pinangan Tanaka Hayate, sahabatnya sendiri.
Melewati beberapa purnama, Ryu masih terpuruk dengan hatinya yang patah. Rasa sakit itu tak terucap. Ia memendam dan hanya menghabiskan waktu dengan meminum minuman keras di kedai minuman setiap harinya. Pulang larut malam sudah menjadi kebiasaan lelaki itu.
"Tadaima (Aku pulang)!" Seruan itu membuat Ayako, ibu Ryu segera menyambut putra sulungnya.
"Okaeri nasai (Selamat datang)!" Ayako membalas sapaan putranya.
Namun, saat Ryu berada di ujung genkan[2] dan melihat wajah merah Ryu dengan tubuh sempoyongan, hati Ayako terasa nyeri.
Ryu memberi cengiran kepada ibunya. "Belum tidur, Oka-san?" tanya Ryu mendudukkan pantatnya kasar di atas permukaan lantai genkan. Ia melepas sepatu yang membalut kakinya. Meninggalkan sepatuya begitu saja, Ryu merangkak karena keseimbangan tubuhnya tak bisa ia kendalikan.
"Ryu-Chan, kenapa kamu seperti ini? Hanya karena wanita setiap hari kamu mabuk-mabukan!" Ayako mencoba mengangkat tubuh kekar anaknya.
Ketika Ryu berhasil bangkit, ia memberikan tarikan bibir di wajah yang memerah layaknya terbakar. Ia menepuk pipi ibunya dengan tawa tak jelas.
"Oka-san tidak perlu khawatir! Aku baik-baik saja! Siapa bilang aku mabuk karena patah hati? Aku hanya menghabiskan waktu bersama teman-teman saja," kilah Ryu.
Ayako mengesah panjang. Ia tak mau berdebat dengan anak lelaki sulungnya yang nalarnya kini entah kemana. Ayako hanya mengunci bibirnya, menunggu saat yang tepat untuk berbicara dengan anaknya. Ryu yang berjalan limbung akhirnya dituntun ke dalam kamar. Dengan tubuh renta seorang wanita paruh baya, ia menopang Ryu, sambil membuka fusuma[3].
Ryu merubuhkan badannya begitu saja, sambil meracau tak jelas, sementara sang ibu menggelar futon[4] untuk tidur anaknya.
"Hoekkk!" Suara keras terdengar saat desakan lambung Ryu berusaha mengeluarkan isinya.
Belum selesai menggelar futon, lagi-lagi malam itu Ayako harus membersihkan muntahan anaknya. Ia hanya menghela napas panjang dan setelah memosisikan futon pada tempatnya, wanita yang melahirkan Ryu itu menghampiri anaknya yang telah dewasa.
"Selalu seperti ini!" Wanita berkimono itu mendesah dan memukul lengan kekar pemuda yang tak sadar lagi.
***
Mata Ryu mengerjap-kerjap karena silau matahari musim semi menyapanya. Kepalanya terasa pening ketika ia bangun. Alih-alih merasakan kesegaran karena energinya pulih setelah beristirahat malam, tetapi justru badan Ryu terasa lunglai tak ada tenaga.
Bau asam menguar di kamarnya. Ryu yakin semalam ia memuntahkan isi lambungnya lagi. Lelaki berumur dua puluh tiga tahun itu, menutup mata dengan lengannya. Bulir bening yang diproduksi oleh kelenjar air matanya itu tidak bisa dia tahan lagi dan mengalir di pelipisnya.