Ryu hanya mengangguk saja. Ia masih mencerna hal baru yang ia hadapi sekarang. Hidup di negara baru dengan iklim yang jauh berbeda, makanan baru yang sangat asing di lidah, orang-orang baru, serta pekerjaan baru, membuat ia harus menangkap semua informasi dengan cepat dalam sekali waktu.
"Tidak perlu bingung. Di sana akan ada banyak pengalaman baru. Nantinya kamu akan enggan pulang bila sudah minum dari air Hindia Belanda. Seperti orang-orang Kerajaan Belanda itu," ujar Kenji.
"Jadi, apa yang harus saya kerjakan dahulu?" tanya Ryu.
"Berdiskusilah dengan Yoshizumi-san. Kamu akan tahu apa yang akan kamu lakukan," ujar Kenji. "Dia juga akan menceritakan seluk beluk tentang surat kabar kita." Lelaki itu menepuk punggung Ryu yang termangu.
Ryu hanya menuruti arahan Kenji. Begitu perkenalan selesai, ia melangkah mendekati TomegorÅ Yoshizumi. "Tomegoro-san, apa yang harus saya lakukan? Terus terang semua masih terasa asing bagi saya."
Tomegoro yang tadi duduk di sudut meja, akhirnya bangkit, lalu menarik kursi untuk mempersilakan jurnalis muda itu duduk. Lelaki yang selisih usianya empat tahun dari Ryu itu pun ikut duduk di belakang meja yang sudah banyak tumpukan kertas tak beraturan.
Ryu duduk dengan punggung tegak sambil mempersiapkan telinga untuk mendengarkan instruksi dari seniornya. Pandangannya terpaku pada sosok lelaki di depannya. Tomegoro terlihat mempunyai wajah yang dewasa dan serius. Seandainya Kenji tidak memberitahu usia Tomegoro, Ryu tidak akan menduga, lelaki itu mempunyai umur yang tidak terlalu jauh dari dia. Aura kepemimpinan yang menguar di sekeliling tubuh Tomegoro membuat Ryu tunduk takzim.
"Dakara (Jadi), Yamaguchi-san ...." Tomegoro berhenti sejenak, memandang Ryu yang tampak tegang. "Jadi, yang akan kamu kerjakan di sini nanti adalah menjadi jurnalis di bidang hiburan. Sebenarnya, pada awalnya harian ini merupakan sebuah harian bisnis, tapi kami sering menyelipkan propaganda untuk kejayaan Dai Nippon. Setelah fusi tahun lalu, harian ini sekarang mempunyai nama baru. Tohindo Nippo. Melalui harian ini, aku ingin kita menggalang persatuan orang-orang Jepang yang ada di sini."
Alis Ryu mengerut, berusaha mengingat informasi penting ini. Sesekali kepalanya mengangguk-angguk.
"Tapi, sepertinya pemerintah Hindia Belanda mulai mencium pergerakan kita yang ingin menguasai negara ini," tambah lelaki itu.
Tomegoro kemudian membungkuk, mencari-cari sesuatu di lemari bawah meja. Saat ia menemukan apa yang dicari, mata sipit itu bersinar terang. Lelaki itu meniupkan debu yang tebal dari permukaan gulungan kertas. Kepulan debu itu beterbangan membuat Ryu harus menarik tubuh dan menutup hidungnya agar tidak terbatuk.
Tomegoro membuka gulungan kertas yang tidak terlalu besar di atas meja. DI dalam lembarannya tertoreh gambar sebuah peta. Ryu paham peta itu adalah peta sebuah negara kepulauan, layaknya negaranya.
"Ini adalah Hindia Belanda! Indonesia. Bayangkan Belanda menguasai dan mengeksploitasi negara ini selama tiga abad lamanya!" Alis mata tebal Tomegoro naik ke atas mencetak guratan di dahinya. Mata sipit itu memancarkan suatu semangat seolah yang digelarnya adalah sebuah peta harta karun. "Dari barat hingga timur, ada minyak, nikel, timah, batubara." Jari Tomegoro menunjuk tempat-tempat potensial tambang yang ada di peta.
"Tak hanya itu. Di sini ..." Mata Tomegoro memicing saat jarinya mengetuk-ngetuk peta Borneo. "ada intan, emas dan aneka satwa yang membuatmu berdecak kagum. Belum lagi di sini ..." Tomegoro melingkari daerah Maluku. "Bayangkan kalau kita menjual rempah-rempah berupa lada, dan cengkeh pada orang-orang Eropa itu. Berapa keuntungan yang akan diraup Dai Nippon?"
Ryu mengerucutkan bibirnya, ikut berpikir walau sebenarnya ia tidak terlalu paham. Ia semata-mata mengimbangi antusiasme Tomegoro saja. Dan, ternyata pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Tomegoro yang menangkap sinyal ketidakpahaman Ryu.
"Dai Nippon akan jaya!" Suara itu dalam, dan rendah. Nadanya penuh penegasan membuat Ryu tahu bahwa negara ini benar-benar seperti yang dikatakan oleh pamannya. Zamrud Khatulistiwa.
"Jadi, untuk menyamarkan propaganda kita, saya harus mencari berita tentang artis debut itu?" Ryu menyimpulkan, yang kemudian dijawab anggukan Tomegoro.
"Selain itu, saya harus membujuk artis baru itu agar mau menjadi artis propaganda kita?"
Kali ini Tomegoro menggeleng. Dia tak langsung menjawab, karena masih sibuk menyalakan sebatang rokok dengan pemantik apinya. Begitu batang rokok terbakar, Tomegoro mengembuskan asapnya melalui lubang hidung. "Kamu harus membuatnya jatuh cinta!"