Kedatangan Ryu sangat tepat waktu. Bila selisih sehari saja kapal berlabuh, atau bila ada halangan dalam perjalanan dari Dumai ke Pekanbaru, Ryu yakin ia akan benar-benar kehilangan momen penting debut seorang artis yang bernama Farida Ainur.
Ryu dan Ichiro tiba di kediaman Segawa di Pekanbaru pada pagi hari sebelum malam debut. Ichiro mempersilakan Ryu beristirahat di sebuah kamar yang cukup luas. Di sudut kamar, terdapat bilik kecil sebagai ruang gelap ketika nantinya Ryu melakukan proses pencucian dan mencetak film. Ruang itu sengaja dibuat sesuai permintaan Ryu.
Begitu melihat ranjang, seketika rasa lelah mendera Ryu. Bahkan untuk membasuh badan saja, Ryu enggan. Ia hanya ingin membaringkan badannya setelah lelah terguncang di atas mobil yang melintasi jalanan yang tak rata selama sehari semalam.
"Hah, semua rasanya asing!" gumam Ryu saat membaringkan raga lelahnya di tempat tidur bersprei putih.
Ranjang yang empuk dan harum itu terasa begitu nyaman. Belum lagi semilir angin dari jendela kamar yang membuainya, sehingga tak sampai lima menit, Ryu pun akhirnya terlelap.
***
Di tempat lain, Farida Ainur duduk di depan meja rias di kamarnya dengan mulut komat kamit. Tangannya memegang buku skrip yang akan diperankan untuk debut malam nanti.
"Ain, beristirahatlah dulu," ujar Hafizah saat mendapati sang putri masih menekuri naskah. Melihat wajah Ainur yang tegang, Hafizah datang menghampiri putrinya. Ia tahu pasti Ainur sangat gugup, mengingat malam nanti adalah kali pertama ia tampil di depan publik.
Ainur yang duduk di bibir ranjang itu tak terdistraksi oleh apapun. Ia memejamkan mata dengan erat, membuat kerutan di pangkal hidungnya. Mulut Ainur bergerak-gerak memastikan dialog yang akan dibawakannya diingat oleh otak. Gadis itu tidak ingin terlalu banyak berimprovisasi karena melupakan hafalan naskah yang dilakoninya..
Hafizah hanya tersenyum mendapati putrinya yang selalu mengusahakan yang terbaik dalam hal sekecil apapun. Wanita itu menyibak anak rambut yang menjuntai di pipi Ainur, membuat fokus Ainur akhirnya tercerai berai. "Ibu, ada apa?" desahnya kesal.
Bibir Hafizah masih melengkung saat menangkap kegundahan sang putri. "Kamu cemas?" tanya Hafizah degan kedua alis terangkat.
Pertanyaan itu terdengar aneh di telinga Ainur. Bagaimana ia tidak cemas dengan debutnya? Bagaimana kalau nanti malam ternyata banyak yang sengaja datang, hanya karena penasaran siapa Farida Ainur, putri tunggal pasangan pemain opera terkenal Syamsurizal dan Hafizah? Ainur mencebik, tak mampu menyembunyikan kecemasannya.
"Kenapa gundah?" tanya Hafizah dengan senyuman yang masih terukir di wajah. "Darah seni mengalir di pembuluhmu. Tak perlu takut."
"Aku merasa tidak akan bisa menyamai Ibu," keluh Ainur dengan halus. "Aku tidak sempurna seperti ibu."
"Tapi, suaramu adalah suara emas," hibur Hafizah, "bahkan Ibu tak bisa menyamai jangkauan nada suaramu."
"Bukan, aku tidak secantik dan secemerlang ibu," cicit Ainur lirih. Tak dipungkiri Wajah ayu Hafizah masih melekat erat tak lekang dimakan usia yang semakin menua. Wajah tirus dengan hidung mancung itu selalu mengundang decak kagum siapa pun yang melihat Hafizah.
Hafizah terkekeh mendapati kekhawatiran Ainur. "Kamu pasti bisa!" Hafizah memberi semangat pada putri semata wayangnya. "Istirahatkan badanmu sebentar agar kamu terlihat segar malam nanti." Hafizah bangkit memberi kesempatan Ainur untuk beristirahat.
Ainur hanya memandang kosong ibunya yang berlalu dari bilik peristirahatannya. Gadis itu mengembuskan napas kasar, seolah berusaha membebaskan penat di bahunya. Ia meletakkan begitu saja skrip yang sudah sekusut wajahnya karena sering dibuka.
Ainur bergelung di atas ranjang, berusaha memejamkan mata. Dalam hati, ingin rasanya ia melarikan diri dari debut itu. Rasa khawatir menggelayut, cemas kalau ia tidak bisa memenuhi harapan orang-orang. Gadis itu merasa tertekan karena ia menyandang nama besar bapak ibunya.
Walau matanya terpejam, tetap saja rangkaian kalimat hafalan dalam skrip bermunculan di otak. Masih enam jam lagi pertunjukan akan dimulai, tetapi jantung Ainur sudah tak bisa diajak untuk bekerja sama. Detakannya begitu tak terkendali membuat dada kembang kempis. Ujung jari Ainur terasa dingin dan pucat. Sekali lagi ia menegakkan tubuh.
Menengok ke arah cermin di lemari, ia mendapati bayangan wajah kuyu dengan lingkaran hitam di sekitar mata. Lingkaran hitam? Mataku seperti hewan khas Negeri Tirai Bambu yang ada di buku!
Ainur mendesah kesal. Ia merasa orang-orang di kelompok itu terlalu berharap padanya. Terlebih Syamsurizal, bapaknya ingin membesarkan kelompok kecil yang bisa menyaingi Orions seperti ibunya dulu bisa menyaingi kepiawaian Miss Riboet dengan bergabung di Dardanella.
Ainur menggigit bibir. Kebiasaannya saat gelisah kembali muncul. Bagaimana kalau ia lupa? Bagaimana kalau ia tidak bisa sesuai harapan. Pertanyaan di benaknya itu membuat ia tidak percaya dengan kemampuannya sendiri.
***
Tak terasa waktu sudah hampir menunjukkan pukul 16.00. Pertunjukan akan dilaksanakan tiga jam lagi. Para pengunjung yang hendak menonton debut putri tunggal pasangan artis Syamsurizal dan Hafizah memang belum tampak. Namun, tiket yang disediakan oleh kelompok The Shining Star itu sudah terjual habis.
"Bu, bangunkan Ain. Kita akan segera berangkat, dan melakukan pemantapan terakhir," ujar Rizal yang duduk di ruang tamu begitu ia datang dari sebuah gedung balai desa yang disulap menjadi gedung pertunjukan kecil. Ia baru saja selesai memeriksa semua persiapan.