Rana Cinta

Dee_ane
Chapter #6

5. Cahaya Yang Bersembunyi

Ryu sudah duduk di tempat duduk barisan depan bersebelahan dengan Ichiro. Suasana di dalam gedung sudah cukup ramai dipadati oleh penonton. Gemerlap tata lampu disemarakkan dengan alunan musik dari nada-nada yang digubah oleh sang sutradara.

Ryu sudah tidak sabar melihat penampilan artis yang namanya sudah digaungkan bahkan sebelum debut berlangsung. Melihat foto yang ada di selebaran yang ia bawa, Ryu tahu gadis itu sangat cantik. Gadis berusia delapan belas tahun terlihat bersinar dan fotogenik. Ryu berpikir bila gadis itu berangkat ke ibukota, banyak kelompok opera yang menginginkannya. Bahkan bisa-bisa dia juga bisa menjadi artis film. Seperti mantan kekasihnya.

Lampu minyak yang tertempel di bagian kursi penonton dipadamkan. Semua orang yang ada di situ menahan napas, saat tabuhan alat musik mulai berkumandang menjadi pengantar babak pertama kisah cinta tragis Sampek dan Engtay. Dengungan para penonton seketika terhapus. Mereka diam, sambil melayangkan pandang ke arah panggung sederhana.

"Ryu-kun, siapkan hatimu! Kamu akan terpesona dengan gadis itu! Aku pernah melihat dia saat berbelanja di pasar bersama ibunya," bisik Ichiro tepat di telinga Ryu.

"Aku menjadi penasaran seberapa cantiknya gadis itu." Ryu menggosok dagunya yang licin sambil menatap panggung yang sudah terbuka tabirnya. Seorang lelaki yang menjadi dalang memberikan pengantar cerita.

Dari tempatnya duduk, Ryu mudah sekali untuk mengambil gambar. Beberapa adegan ditangkap oleh lensa kamera Ryu, sampai akhirnya babak di mana Ainur sebagai Engtay dimulai.

Semua pasang mata menatap dan memperhatikan gerak tarian Engtay dan Peyeum. Mereka menyanyi dengan irama riang yang mampu memukau penonton.

Mata Ryu masih memaku pandangan pada tokoh utama yang berdandan layaknya pantomim. Ekspresinya betul-betul bagus tersorot oleh pencahayaan panggung yang sederhana, sedangkan suaranya lantang masih bisa didengar oleh para penonton walaupun tanpa bantuan pengeras suara.

Hebat teknik vokalnya! Ruangan ini bukan diperuntukkan untuk gedung pertunjukan tetapi suara gadis itu bisa dengan jelas dan jernih terdengar. Belum lagi ekspresinya, gerakannya. Pasti dia sudah ditempa oleh orangtuanya untuk menjadi seorang artis berbakat.

Ryu mengerjap. Ia membandingkan wajah ayu itu tampak lain di panggung. Pribadi Ainur tersapu oleh peran Engtay yang dilakoninya. Lelaki itu memicingkan mata, berusaha menangkup pesona menyilaukan gadis manis itu. Tangannya terangkat lagi memegang kamera hendak memotret akting sang bintang utama.

Cekrek! Cekrek!

Kilatan sinar kamera itu berkali-kali terlihat di kegelapan. Ryu tak mau kehilangan babak ini. Ia harus menangkap dua ekspresi Ainur yang mampu memukaunya.

"Kawaii (Imut)," gumam Ryu yang terpukau dengan ekspresi serta aksi panggung Ainur.

"Heh? Kenapa tiba-tiba ada penari latar!" Dengkusan Ichiro yang belum puas melihat Ainur terdengar. Setelah kehilangan beberapa saat, penari latar masuk dan sang tokoh utama masuk ke belakang panggung.

Ryu terkekeh mendengar teman barunya yang menggerutu. "Babak satu sudah selesai mungkin," jawab Ryu yang tidak melihat terjadinya kejanggalan karena terlalu terpesona dengan Ainur.

***

Kasak-kusuk orang terdengar karena jeda antara babak yang cenderung lama. Matanya memicing dan memandang berkeliling melihat apakah ada yang salah. Sama seperti yang lain, ia mencium ketidakberesan yang terjadi di belakang panggung. Akhirnya Ryu bangkit dan bergegas ke belakang panggung untuk memeriksa siapa tahu ada sesuatu yang bisa ia jadikan bahan berita.

Pekerjaannya sebagai jurnalis muda selama di Tokyo membuat insting mencari berita itu selalu aktif. Bila ada sesuatu yang tidak beres, Ryu akan mengorek hingga akhirnya ia mendapatkan berita yang bisa menjadi tajuk utama di harian tempat ia bekerja dulu.

Ryu pun akhirnya beringsut ke luar. Di pelataran gedung, suasana terlihat sepi. Hanya beberapa pedagang kacang rebus dan jagung yang masih setia menunggu dagangannya yang hampir habis. Beberapa lentara diletakkan di halaman menerangi kegelapan malam. Ryu melihat ada beberapa orang lalu lalang memanggil Ainur. Rasa penasaran lelaki Jepang itu sebagai pencari berita pun akhirnya tergelitik. Ia menghampiri laki-laki yang tampak tergesa jalannya.

"Selamat malam." Ryu menunduk membuat langkah laki-laki itu terhenti.

"Ada apa? Aku tergesa-gesa!" Pemuda itu masih mengedarkan pandangan dengan mata menyipit mengatur ketajaman.

"Anda mencari Ainur-san ? Bukannya ia artis utama kita malam ini?" tanya Ryu dengan bahasa Indonesia terbata.

Lelaki itu mendengkus. "Artis yang hanya mengandalkan nama orang tua itu bukanlah seorang artis! Kini ia menghilang setelah melupakan dialognya."

Ryu terpaku. Otaknya mencatat dua topik penting : Ainur melupakan dialog dan Ainur—sang bintang debut—menghilang. Lelaki yang ditemui di depan gedung itu telah berlalu, tetapi Ryu masih termangu di tempatnya.

Lupa dialog? Bagian mana? Ryu bahkan tak menyadarinya.

***

Lihat selengkapnya